"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Tampilkan postingan dengan label otonomis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label otonomis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Mei 2009

REPORTASE: Merayakan Kehancuran

MERAYAKAN KEHANCURAN
Sebuah Pameran, Workshop, & Pementasan Mini.
Malang, 23-24 April 2009.


PRAKATA
Terus terang latar belakang dari diorganisirnya acara ‘berbau punx’ ini macam-macam. Masing-masing individu yang terlibat sedari awal mempunyai alasan serta ekspektasi yang berbeda. Yang jelas bahwa acara yang dirancang ini nantinya bukan berupa acara gebrak-gebruk musikal belaka, melainkan akan lebih menampilkan sisi atau sudut-sudut lain dari aktifitas komunitas minor yang selama ini banyak diidentifikasi dengan istilah punx, meskipun secara langsung maupun tidak juga muncul keinginan melepas label-label tersebut. Maka menu utama yang akan disajikan nantinya adalah berupa aksi transfer kreatifitas, adu spontanitas, dan bagi-bagi semangat, yang dikemas dalam sebuah workshop bersama, dengan pameran dan pementasan mini sebagai pancingnya. Tujuan singkatnya adalah kami ingin membuka ruang-ruang ekspresi di tengah berkecamuknya kehancuran global, dimana setiap orang semakin nampak menjadi mesin dan kehilangan hasrat kemanusiawiannya. Maka dipilihlah judul: Merayakan Kehancuran.

Lalu disusunlah draf acara lengkap beserta kemungkinan siapa para peserta yang nantinya akan berpartisipasi. Untuk tempat, setelah melakukan sekian survey dan pertimbangan, dipilihlah sebuah galeri sederhana bernama MAMIPO (Malang Meeting Point) yang berada di jalan Kediri 04 Malang dengan kesepakatan antara teman-teman dan pemilik tempat mengenai sewa sebesar rp. 100.000,- untuk dua hari pemakaian tempat. Sebuah lokasi yang terhitung baru di Malang dan sebenarnya lebih difokuskan untuk pameran-pameran atau kegiatan berbau fotografi. Sayangnya, baru diketahui kemudian setelah pameran berlangsung bahwa banyak orang tidak tahu dimana letak Jalan Kediri ini karena memang tidak ada papan tulisan jalan tersebut, hingga banyak teman yang rencananya langsung menuju ke MAMIPO harus tersesat dan berkali-kali harus bertanya.

Untuk publikasi acara sendiri sebenarnya terhitung terlambat, berhubung sangat kurangnya koordinasi dari panitia yang bersangkutan. Belum lagi tentang masalah teknis pembuatan pamflet/flyer. Misalnya tentang perlu atau tidaknya pencantuman logo atau simbol dari pihak-pihak yang berpartisipasi. Menurut saya walaupun sebuah acara diorganisir secara DIY bukan berati segala output publikasinya harus bersih dari segala ‘simbol-simbol dagang’. Yang terpenting sebenarnya adalah kesadaran dengan siapa kita berhubungan dan bagaimana sistem yang kita atau mereka pakai. Akhirnya setelah melalui pembenahan disana dan disini sebuah cetak biru flyer-pun dianggap layak edar, yang disampaikan melalui tempelan, sms, friendster, facebook, atau juga myspace meskipun sangat terlambat. Satu hal lagi disamping banyak hal lain yang seharusnya bisa menjadi koreksi teman-teman jika melakukan pengorganisiran apapun memang harus dipersiapkan dengan matang dan dilakukan dengan serapi mungkin hingga tidak perlu lagi kedodoran seperti kali ini. Proses belajar biasanya memang baru dimulai saat individu-individu yang terlibat sudah terbentur dengan realitas yang mesti dihadapi, dan semoga kenyataan yang terjadi selama menjelang dan saat pameran bisa menjadi pengalaman dan pelajaran yang bisa diambil hikmahnya untuk berubah esok hari. Semoga….


HARI PERTAMA : Kamis, 23 April 2009
Pagi hari sewaktu mulai memasang display hasil karya woodcut ternyata sudah menunggu beberapa orang tamu pertama: serombongan orang-orang dari Jakarta. Tepatnya dari Lembaga Litbang, Depdikbud, Jakarta yang malam sebelumnya sudah konfirmasi untuk mampir di pameran kali ini. Iya, ini adalah orang-orang utusan pemerintah yang sebelumnya sudah mampir ke teman-teman di Surabaya dan Sidoarjo. Nampaknya mereka mendapat informasi mengenai pameran ini dari teman di Surabaya hingga akhirnya mampir ke Malang. Katanya sih mereka sedang dalam rangka penyusunan buku mengenai budaya kontemporer berikut pertahanan komunitas yang terlibat di dalamnya secara ekonomi. Ah saya tak terlalu ambil pusing, ribet banget istilahnya. Di sela-sela liputan mereka saya sempat iseng bertanya, “kok nggak meneliti komunitas dangdut aja misalnya..?!,” tapi jawaban singkat mereka cukup membuat saya terpana, “ah, dangdut nggak punya ideologi!” Whuooww.. tapi saya jadi mikir lagi: emang punk punya ideologi ya?!! Trus rhomairama-isme bukankah itu ideologinya dangdut? Hehee.. gimana menurut kamu?

Hari pertama yang digelar adalah pameran karya dan workshop woodcut, grafis, artwork/drawing, bubur kertas, dan zine. Agak siang menyusul karya fotografi yang dibawa oleh Abi dan beberapa temannya dari studio Kedai Digital Blitar.

Untuk workshop sendiri pengunjung yang datang dan tertarik langsung bisa belajar dan membuat karya sendiri dengan dipandu oleh instruktur-instruktur yang terlatih menangani gajah, dengan suasana yang informal, nyantai banget, dan terasa setara, karena sama-sama ngesot di bawah dan semuanya GRAATTTIIISSSSS…….

Agak sorean datang pasukan dari Garum, Blitar yang naik kereta. Pepeng yang sebelumnya telah didapuk untuk meng-handle workshop gambar/drawing langsung menggelar karya-karya artworknya, mengeluarkan alat-alat perangnya, dan mengajak orang di sekitarnya untuk menggambar bersama. Menyusul kemudian datang Simbah dari Garum naik sepeda motor ke pameran di Malang, yang datang langsung menanyakan alat-alat musik. Akhirnya beberapa teman berinisiatif untuk mengambil gitar akustik dan jimbe untuk dibawa ke venue. Segera saja begitu alat musik berkumpul, Simbah dan beberapa teman-teman yang lain gila-gilaan bernyanyi tanpa kenal lelah. Setelah adzan Maghrib, Kang Semut dan Fajar Babi datang dari Surabaya dengan sepeda motornya. Ah, kangen-kangenan lagi, cerita ngalor ngidul seru.

Hari pertama ditutup secara tidak resmi dengan acara makan bersama di atas baliho vinyl ukuran jumbo hasil colongan kampanye pilleg kemaren, dengan menu nasi bungkus mak nyuusss sambil membuat rencana-rencana terusan dari pameran kali ini.

HARI KEDUA : Jumat, 24 April 2009
Hari kedua efektif berjalan seusai waktu sholat jumat. Ini sebenarnya adalah hal yang luput dari perhatian panitia, soalnya kebanyakan panitianya berlagak sok atheis. Setelah kondisi memungkinkan, Kang Semut segera beraksi, mengeluarkan jurusnya, sekaligus menggelar dua buah gulungan kertas yang panjangnya tak terkira ujungnya, dengan tujuan mengajak semua orang yang ada untuk berani menampilkan ekspresinya dalam bentuk gambar dan coretan. Inilah komik ala Kang Semut. Menyusul berikutnya, baru datang dari Surabaya, rombongan X-Go, Komik Bunuh Diri, langsung mendisplay karya artwork, poster, lukisan, ada juga instalasi yang disusun dari kepingan CD-CD bekas dan kaleng-kaleng pylox yang telah dimodif. Sangat inspiratif.

Hari kedua ini pengunjung yang datang lebih banyak dari sebelumnya. Dan ada satu insiden kecil terjadi: sebuah pigura foto berukuran 1x2m terdorong oleh angin dan jatuh hingga kacanya pecah berkeping-keping, untung seorang mbak yang lagi asik membaca zine di depan pigura itu mampu terhindar dari bencana, padahal jaraknya dekat sekali dengan arah jatuhnya pigura itu. Mungkin si mbak ini adalah seorang avatar pembaca zine.. Dan mbak ini pula yang sempat memberi sebuah komentar: “acara ini aura perlawanannya kentel banget yawh..!!” Iya, sebenernya kita juga ada rencana mendisplay aura kasih tapi orangnya gak mau, dan acara ini hampir saja berdarah-darah, untung si mbaknya punya ilmu menggeser tubuh meraba angin.

Tak lupa sesuai jadwal sore hari itu akan digelar juga workshop sablon sekaligus sablonase gratis. Bagian ini dikomandani oleh Zen dibantu dengan budak-budak dari Malang dan Surabaya: Salman, Arip, Babi. Reza dari garasi337 yg dijadwalkan hadir ternyata lagi berhalangan. Maka berebutanlah para fashionista untuk menistakan kaos-kaosnya dengan desain-desain nista yang telah dipersiapkan di atas screen. Bagi yang lupa membawa kaos kosong telah disediakan kaos kosong dari panitia dengan harga murah-meriah.

Acara hari itu ditutup dengan tiba-tiba oleh trio Salman, Habib, Cecep yang menampilkan musikalisasi puisi. Tak lupa Kang Semut yang jebolan teater didaulat untuk membacakan sebuah karya. Aksinya mampu membius dan memukau hadirin. Saya pun takjub, gak tau karena intonasi Kang Semut atau karena itu puisi tulisan saya yang dibacakan.. Hehe.. puisi saya serasa punya roh dan bangkit dari kubur soalnya itu nulisnya sekitar th.2003 lalu. Tak ketinggalan kawan Jibril yang sedari siang sudah nongkrong di venue secara spontan bersedia membacakan karya puisinya yang agak-agak komedi satir namun menggugah.

Dan akhirnya acarapun berakhir sudah. Diiringi dengan obrolan singkat dan ringan dan disusul dengan keberangkatan kontingen Surabaya kembali ke asalnya. Wah ternyata masih ada saja orang-orang yang datang berkunjung tapi sayang semua karya sudah diturunkan dari display. Jadi ya panitia menemani ngobrol-ngobrol aja.

Pas mau bubaran datang lagi kontingen dari scene Karang Kates: Chandra & Kawoxxx CS. Karena tak tega kedatangan mereka sia-sia, panitia berinisiatif untuk membagi karya-karya sebagai oleh-oleh sembari ngobrol banyak tentang aksi lokal, khususnya tentang aksi sepeda santai anti polusi dan penolakan pembangunan pabrik semen gresik di Pagak, Malang Selatan.

YANG TEREKAM (TAK PERNAH MATI)
Yah pada akhirnya yang patut disyukuri adalah bahwa sebuah acara dimana banyak orang terlibat dan melibatkan diri, dengan model pengaturan venue yang begitu terbuka ternyata tidak ada terdengar keluhan atau pengumuman adanya barang-barang yang hilang atau dihilangkan, dan juga tidak ada komplain dari ibu penjaga warung di dalam venue tentang tagihan-tagihan kopi atau makanan yang tak terbayar. Ini membuktikan bahwa sebenarnya setiap orang bisa bergerak, berpartisipasi, dan bertanggungjawab secara aktif apabila dia diberikan sebuah ruang bernama kebebasan!

Dan tak lupa untuk ke depan acara-acara yang mengatasnamakan sebuah scene/komunitas masih sangat perlu untuk mencoba bersinggungan langsung dan membuka ruang interaksi untuk orang, komunitas, atau ide-ide di luar komunitas itu. Terimakasih teman-teman.

Rabu, 29 April 2009

REVIEW BUKU: In Defense Of Anarchism

REVIEW BUKU

Judul: In Defense Of Anarchism (Menuju Dunia Tanpa Negara)
Penulis: Robert Paul Wolff
Download PDF nya: disini


Otoritas adalah hak untuk memberi perintah, atau juga berarti hak untuk dipatuhi. Istilah ini harus dibedakan dengan ‘kekuasaan’, yang berarti kemampuan untuk memaksakan ketertundukan, baik dengan kekuatan (kekerasan) ataupun berupa ancaman. Mengklaim otoritas sama dengan mengklaim hak untuk dipatuhi. Sedangkan asumsi mendasar dari filsafat moral adalah bahwa manusia bertanggung jawab terhadap segala tindakannya sendiri, maka secara metafisika manusia berada dalam kondisi bebas. Artinya dalam sejumlah hal manusia mampu menentukan bagaimana seharusnya dirinya bertindak, atau dengan kata lain dia akan mencanangkan hukum-hukum untuk mengatur dirinya sendiri. Singkatnya dia memiliki otonomi.

Penanda yang menegaskan keberadaan negara, dimanapun, adalah otoritas: hak untuk mengatur/memerintah. Sedangkan karakter utama manusia adalah otonomi: penolakan untuk dikuasai. Dengan dua hal yang bertentangan ini, dalam hubungan antara negara dengan rakyat, maka tampaknya tidak akan ada cara untuk menyelesaikan pertentangan antara otonomi individual dengan negara sebagai lembaga yang selalu bersifat otoritatif.

Dan buku ini menggambarkan analisis klasik RPW (baca: Robert Paul Wolff), seorang profesor pada studi filsafat dan afro-amerika di univ. massachusetts, terhadap landasan otoritas negara serta persoalan antara otoritas pollitik dan otonomi moral. Intinya, bagaimana otonomi moral individu dapat bersesuaian dengan otoritas negara secara sah.

Dimulai dengan sebuah prolog/kata pengantar cukup panjang tentang sejarah penulisan buku ini yang telah dimulai sejak lebih dari seperempat abad yang lalu (tahun 70-an), RPW mengajak kita untuk berangkat dari premis yang sulit dibantahkan: setiap orang memiliki keharusan yang mutlak untuk untuk menjadi otonom secara moral, dan berakhir dengan kesimpulan yang menyenangkan: sebuah negara yang memiliki keabsahan secara moral adalah sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.

Menjawab persoalan pertentangan mendasar di atas, RPW mengajukan argumen bahwa satu-satunya cara untuk melindungi otonomi dalam upaya mencapai pemerintahan kolektif yang mandiri adalah melalui demokrasi langsung dengan suara bulat. Dengan kata lain, otonomi dapat benar-benar dilindungi dalam proses legislatif hanya jika setiap orang yang terikat oleh hukum dapat berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan undang-undang, dan lebih jauh lagi, jika setiap orang hanya terikat oleh undang-undang yang mereka setujui. Betapa anarkisnya!

Bagi RPW hanya ada satu bentuk komunitas politik yang menawarkan harapan bagi penyelesaian pertentangan antara otoritas dan otonomi, yakni demokrasi. Namun jangan dibayangkan demokrasi seperti demokrasi yang digembar-gemborkan oleh partai-partai yang mengklaim demokrasi dengan embel-embel parlementariat, terpimpin, perwakilan, liberal, mayoritarian, kontraktual, ato pancasila, dan lain-lain embel-embel simplifikasi, yang penuh dilema, pembodohan-pembodohan, dan paradoks, yang malah makin mereduksi hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang ditawarkan RPW adalah demokrasi yang total, mensyaratkan partisipasi langsung tanpa perantara dalam proses legislasi/pengambilan kebijakan dan keputusan, dengan suara bulat. Ketika seseorang yang benar-benar bertanggung jawab menerapkan hukum bagi dirinya sendiri, dan dengan cara tersebut berarti dia mengikatkan dirinya pada apa yang menurut pendapatnya benar, maka suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab dapat mengikatkan diri mereka secara kolektif pada undang-undang yang telah mereka susun secara kolektif pula, dan dengan cara tersebut berarti mereka telah mengikatkan diri pada sesuatu yang secara bersama-sama mereka anggap benar.

Dengan demikian, dalam pengertiannya yang ketat, pemerintahan dari suatu negara demokratis sebenarnya tidak lebih dari pelayan bagi seluruh rakyat, yang diserahi tugas untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui bersama. Dalam kata-kata Rousseau, "setiap orang yang menyatukan dirinya dengan semua orang... hanya taat pada dirinya sendiri dan tetap saja bebas seperti sebelumnya". Pemerintahan untuk rakyat hanya merupakan perbudakan semu, sedangkan pemerintahan oleh rakyat merupakan kebebasan yang sesungguhnya. Selama seseorang berpartisipasi dalam urusan-urusan negara, maka dirinya merupakan si pemberi perintah sekaligus yang diperintah. Kewajibannya untuk tunduk pada undang-undang bukanlah berasal dari hak ilahiah yang terdapat dalam diri seorang raja, bukan pula dari otoritas turun-temurun dalam suatu kelas bangsawan, melainkan berdasarkan fakta bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber dari undang-undang yang mengatur dirinya. Ini berarti pengembalian kedaulatan pada individu.

Dan hari ini, menjelang pemilu 2009, walaupun ketidakpercayaan serta kecurigaan terhadap otoritas (negara) memang telah mewabah, namun pemahaman terhadap dasar-dasar teori serta praksis demokrasi dan masalah mendasar dalam pemerintahan perwakilan masih sama terbatasnya dengan saat pertama kali buku ini ditulis. Menjadi jelas bahwa hanya sedikit sekali individu yang benar-benar memahami pemerintahan oleh rakyat

Kegagalan kita dalam menemukan suatu bentuk asosiasi politik yang dapat mengkombinasikan otonomi moral dengan otoritas yang absah bukanlah akibat dari ketidaksempurnaan rasionalitas manusia, juga bukan karena nafsu dan kepentingan pribadi yang membelokkan manusia dari upayanya mencapai keadilan dan kebaikan bersama.

Mungkin akan banyak yang akan menganggap ini utopis, lebih karena alasan-alasan bersifat teknis. Tapi ini kan jaman modern. Ruang dan waktu seakan tak berjarak, iya kan?! Ada contoh-contoh solusi yang bisa diambil di buku ini. Bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi dan perangkat-perangkat komputer, televisi, perekam sidik jari, sampai internet untuk memperbesar kemungkinan kita untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut kolektifitas. Bab II & III ditujukan khusus untuk mencoba memecahkan hambatan teknis ini dan mengajukan kombinasi-kombinasi yang ideal tentang bentuk-bentuk asosiasi politik.

Semua itu jelas masih jauh sekali dari suatu proyeksi yang koheren mengenai masyarakat anarkis, tetapi mungkin dapat membuat yang ideal tidak begitu tampak seperti khayalan filsafat politik yang bersifat utopis. Daripada teriak-teriak anarki gak jelas…

Buku ini memang bukan tentang bagaimana aplikasi praktis dari anarki/anarkisme dalam keseharian, tapi lebih kepada sebuah paparan mendasar tentang politik sehingga kita akan tiba pada cara berpikir anarki/anarkisme itu sendiri, khususnya dalam kaitannya dengan apa yang selama ini sering kita sebut sebagai negara dan demokrasi. Dengan bahasa dan cara tutur dan nalar yang sangat mendasar (dengan kalimat panjang) memang tidak disarankan untuk sekali baca, apalagi baca sekali-sekali dan tak runtut.

Dan walaupun isinya bukan isu-isu yang menarik seperti halnya isu-isu tentang gitar merek apa yang digunakan kangen band untuk menghasilkan kocokan-kocokan mautnya dalam sebuah tembang berjudul d.o.y, tapi paling tidak bisa diterapkan untuk mereview kembali cara atau sistem kerja bersama yang selama ini coba kita terapkan dalam scene/kolektif.

Buku ini bagus buat yang tergila-gila dengan nasionalisme buta ala paskibraka atau patriotisme ala menwa. Dan sangat direkomendasikan bagi yang percaya dan kecanduan pemilu dengan sistem yang kita sendiri sebenarnya juga tak pernah paham, apalagi untuk mengajukan sejumlah alternatif sistem pemilihan yang lebih beradab dan mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk mengelola hidupnya sendiri.

Ah, seandainya orang-orang partai yang hobi kampanye, yang membual dan berdebat tentang program-program dan segala mitosnya, mau mencoba untuk memahami buku seperti ini.


planetmungil@hotmail.com