"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Jumat, 01 Agustus 2008

Pasar Malam dan Sejarah Yang Tak Runtut

Pasar Malam dan Sejarah Yang Tak Runtut (Semacam Catatan Sana-sini dari Festival Malang Kembali 2008)

Festival Malang Kembali (FMK), sebuah acara yang mungkin menjadi khas bagi kota Malang pada tahun-tahun terakhir ini. Khas bukan karena tidak bisa digelar di luar daerah Malang, tapi lebih karena muatan acaranya yang sepertinya memang harus ber-‘bau-bau’ Malang-an. Acara dengan format serupa ini bisa saja digeber dimanapun, dan namanya juga bisa berubah-ubah, misal Festival Surabaya Kembali, Festival Dorce Gamalama Kembali, apapun. Dengan slogannya: Sedjoeta Tradisi Satoe Aksi, digelar mulai tgl. 22-25 Mei di seantero Djalan Idjen, dari pagi sampai tengah malam, FMK 2008 menampilkan banyak sub-acara: Panggung Rakjat, menampilkan wayang (topeng, kulit, orang), ludruk, ketoprak, tari, musik (gambus, qasidah, mocopat, kerontjong); Workshop tari malangan dan klasik, topeng, batik, keramik, gerabah, wayang, kaligrafi, keris; Pameran benda purbakala, artefak, keris dan benda pusaka; Oepatjara Adat, ruwatan akbar, petik panen, jamasan keris; dan pastinya ada Pasar Rakjat, menyuguhkan aneka kuliner, jajanan lawas (bukan basi!), mainan, arsip, kerajinan, keterampilan nudjum, ramalan, pijat dan pengobatan tradisi. Dan jangan lupa hubungi saya kalo kapan-kapan kamu mau berlibur ke Malang, saya bersedia jadi guide untuk tour kamu.. :p

Mungkin ini ada hubungannya dengan rangkaian ritual perayaan HUT kota Malang, yang jelas pas bulan-bulan April/Mei/Juni tiba-tiba berhamburan sekali acara-acara yang sifatnya massal. Liat saja, hanya selang satu-dua hari sebelum FMK, di lokasi yang masih satu area, tepatnya di seputaran kompleks Perpustakaan Umum Kota Malang, ada (Festival) Malang Membaca, Pameran Buku yang Exotic & Dahsyattt..! (begitu kata brosurnya). Sub-acaranya tipikal acara-acara festival buku. Kemudian, acara serupa digelar lagi dengan lokasi berbeda, kali ini dengan judul Islamic Book Fair 2008, kalo gak salah ini tahun ke-empat acara tersebut eksis. Masih ada juga, Malang Hi-Tech Show. Dari judulnya saja kita sudah bisa membayangkan bentuk dan format acaranya, lokasinya ada di Kompleks Pasar/Mall di tengah kota. Dan masih banyak lagi. Banyak tema, banyak format, baik yang rutin maupun temporal.

Tapi kali ini kita gak ngomongin banyak acara tersebut, kita lebih khusus menginjakkan kaki pada FMK. Apa coba kesan pertama kali? Ampuun, antriannya itu lho. Mungkin karena saya dan kawan-kawan datang tepat pada saat peak seasonnya. Parkiran penuh, jalan di area dengan kecepatan ala kura-kura. Bergerombol serasa di Mekkah, tapi dengan Ka’bah-Ka’bah yang justru berjejer rapi dengan penuh logo sponsor menawarkan berbagai komoditas berbau ‘sejarah’ di pinggir-pinggir jalan utama. Sementara pada lingkaran taman kota dimana arus pusaran massa berputar telah dibangun panggung-panggung untuk menampilkan banyak atraksi seni/budaya. Untung arus itu tak perlu berputar tujuh kali seperti Thawaf pada ritual Haji. Secara umum pemandangan masih seperti tahun kemarin. Adakah kerinduan yang diam-diam menyelinap? Ah, sepertinya tidak. Saya sebenarnya juga gak tau kenapa saya datang ke sana. Mungkin panitia secara diam-diam pernah menanamkan semacam software di kepala saya, dan lalu mereka tinggal ’klik’ mengaktifkannya melalui iklan-iklan di koran, pamflet, dan poster, serta lewat kabar dari mulut ke mulut, sehingga saya mau tidak mau harus datang ke sana memenuhi panggilan. Entah mau ngapain nantinya, yang penting masuk dan menjejal-jejalkan diri ke arena.

Pasar dan Sejarah. Dua hal yang menonjol di venue serta dua hal yang jelas berbeda. Dan Dinas Pariwisata Kota Malang, ya kalau tidak salah dengar ini adalah proyek rutin mereka, secara inovatif dan mengagumkan telah menggabungkan kedua dunia itu pada sepanjang jalan yang memang memiliki ‘pasar’ dan ‘sejarah’ tersendiri di kota Malang. Luar biasa. Dan ini sudah berjalan pada tahun ke-tiga semenjak pementasan yang pertama pada 2006 yang lalu.

Pasar Malam
Berjejal-jejal dengan banyak sekali manusia, membuat saya agak sedikit heran sekaligus miris. Apa coba yang dicari orang-orang itu di sini? Mungkin banyak yang seperti saya, mau gak mau akan datang jua, karena entah.. Dan saya sebenarnya juga tidak terlalu tahu apa ekspektasi saya sebelumnya. Duh, software itu mungkin sejenis virus ajaib ya, benar-benar tak bisa dihindari. Hingga akhirnya saya sadar: hei ini kan pasar! Kenapa tiba-tiba saya bilang FMK adalah pasar? Lha kalo terlihat ada lapak-lapak dengan aneka barang dan ada banderol harganya kan berarti mereka sedang berjualan dan kalo kemudian setiap orang yang interest terhadap barang-barang tersebut harus melakukan pembelian, melakukan transaksi, apa coba namanya kalo bukan pasar? Dan ya, ternyata FMK tepatnya adalah sebuah pasar malam! Pasar yang menu utamanya digelar di malam hari. Saya baru nyadar! Tapi, pasar, tak peduli siang atau malam, tetap saja adalah pasar. Kalaupun ada kemasan dan wujud yang berbeda, itu kan hanya bungkusnya saja. Pasar toh bisa berdinding apapun: gedhek anyaman bambu, triplek, styrofoam, bahkan beton, dan.. bukan seperti itu maksud saya. Pasar bisa dikemas dengan bungkus apapun: musik, sex, pendidikan, agama. Atau juga seni, dan revolusi, apapun. Dan kali ini kita punya sebuah pasar dengan bungkus serta dekorasi berupa sejarah.

Menarik sebenarnya, untuk bicara tentang pasar sejak kemunculannya ribuan tahun silam. Sejak era barter mulai terkikis dengan adanya standar mata uang, hingga pasar bukan lagi semata arena bertukar komoditas. Banyak hal bisa bermain di dalamnya. Dalam sebuah sistem modern yang kita sebut pasar, masing-masing bagian dari produksi, distribusi, konsumsi, adalah bagian-bagian yang bisa dikatakan terpisah dan tak perlu saling kenal satu sama lain.

Pasar hari ini bukan semata aktivitas pertukaran kebutuhan ekonomis. Pasar adalah tentang arus. Tentang trend, mode, kegemaran, kecenderungan. Tentang rating, tentang gerombolan-gerombolan, dengan segala terminologi ‘life style’ semu nan absurd yang sanggup membuat kita kehilangan harga dan kontrol atas diri. Segala hal harus dijual, dan terutama dibeli, atas nama trendy, ‘want’ mengesampingkan ‘need’. Keinginan melampaui kebutuhan. Di dalam pasar jangan mengharapkan segala hal yang sakral, spesial, dan membangkitkan hasrat personal. Karena yang substansial, kalaupun itu pernah ada, di sana akan berujung pada entitas yang namanya duit.

Kalaupun acara kemarin nampak rame dan terjadi antrian disana-sini, antrian yang terjadi jelas berbeda sama sekali dengan antrian semacam antrian sembako, minyak, bahkan BLT. Ada perbedaan antara ‘want’ dengan ‘need’ itu tadi. Lalu, masih adakah interaksi yang manusiawi? Semacam interaksi sederhana yang bermula dari sebuah antusiasme untuk berkenalan dengan seorang gadis, hanya karena merasa sama-sama manusia –kan wajar manusia tertarik dengan sesama manusia,-- bukan seperti antara gadis berlabel spg yang sibuk berbasa-basi belaka dengan calon konsumen produknya, bukan interaksi seperti calon pembeli yang antusias pada sewujud barang dagangan belaka.

Ah, pasar adalah tentang jual dan beli. Manusia dan pihak-pihak yang ada bertemu untuk aktivitas jual dan beli. Hampir tak ada yang namanya interaksi humanis antar manusia. Apalagi dari kacamata produsen. Segala hal harus dipermak di dalam salon dengan biaya serendah-rendahnya untuk kemudian dikemas menjadi komoditas siap jual dengan harga setinggi-tingginya. Bukannya apa-apa, memang seperti itulah bisnis yang dijalankan secara efektif. Walaupun para pekerja, staf, karyawan, segala macam buruh, selalu ada di dalam lingkaran ‘biaya yang serendah-rendahnya’ itu, sedangkan pihak investor akan selalu menuntut ‘jual dengan harga yang setinggi-tingginya’. Masalah klasik memang.

Pasar hari ini tidak butuh spontanitas atau antusiasme. Hanya butuh konsumer yang hanya mau mengerti tentang bagaimana membeli, penggemar dan pengikut fanatik mendekati fasis serta penikmat pasif sejati. Kita terjerembab pada budaya konsumtivisme. Bukankah sebenarnya ini bisa dibilang sebagai pemerkosaan, beratasnamakan cinta..!

Dan, saya belum tahu apa hal ini masuk dalam kurikulum materi pelajaran ekonomi di sekolah-sekolah, kita berada dalam suatu wujud pasar yang melampaui ruang dan waktu: pasar mutakhir beralaskan liberalisme, kebebasan! Wujud pasar yang bernama neo-liberalisme, benar-benar dihadirkan lewat jargonnya: pasar bebas! Dan liberty, kebebasan, cuma milik mereka yang mampu mengakses modal. Modal yang entah ada di belahan bumi yang mana. Dan kita menjadi terlalu sibuk melarikan diri, melupakan diri, melepaskan diri, melenyapkan diri, ajeb-ajeb, mabuk alkohol di dalam club, berserakan di trotoar.

Sejarah Yang Tak Runtut
Hei, di acara FMK yang sama tahun 2007 lalu, Pak Walikota Malang pake kostum tuan tanah! Tahu kan, baju semacam safari dengan banyak saku gombong di depannya, dengan topi bulatnya yang khas dan berkelas itu. Saya secara tak sengaja melihat itu di salah satu sudut lokasi acara. Mungkin saja itu dimaksudkan untuk sekedar menunjukkan model pakaian dinas tempo doeloe pada masa kolonial dulu, sekedar berpartisipasi dalam acara. Tapi rasanya kita juga gak terlalu bodoh untuk tahu siapa pada tempo doeloe itu yang berdinas dengan model seragam seperti itu! Atau kita terlupa? Lupa, seperti Pak Walikota Malang yang sering nampak terobsesi pada Ken Arok, sosok jaman feodal yang membangun sistem sosial politik beraroma merah belepotan darah, sehingga datang di acara dengan berkostum dan bergaya seperti tuan tanah. Masa sih kita lupa seperti apakah makhluk yang kita sebut tuan tanah dalam sejarah panjang pertempuran demi pertempuran di indonesia?

Jasmerah!, sabda Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, untuk bisa mengarifi sejarah, belajar banyak dari sejarah. Jika sedikit mengulik metode marxian, sejarah adalah tentang kenyataan hari ini, bagaimana proses kekinian dinyatakan. Tentang bagaimana percaturan dan pembagian ekonomi terjadi. Bagaimana ekonomi diproduksi, didistribusikan, serta digunakan dalam masyarakat. Sehingga sejarah bisa dilihat dari motif-motif politis-ekonomis. Feodalisme-kolonialisme-imperialisme-developmentalisme-postmodernisme, etc, dan bahkan peperangan fisik dengan senjata-senjata berat modern serta naiknya harga BBM di Indonesia hari ini memiliki pondasi sejarah yang sama. Kenapa kita selalu gagal menganalisa sejarah. Kawan saya bilang, sejarah hari ini bukan untuk dianalisa, tapi untuk dijual sebagai barang kenang-kenangan belaka. Mungkin beberapa puluh tahun lagi, mayat hidup orang-orang korban lumpur Lapindo di Sidoarjo akan laku dijual, semata sebagai artefak dan barang kenang-kenangan yang eksotis. Ya, kenyataan sosial di seantero negeri ini seakan menegaskan penggalan-penggalan tragedi, sebuah episode sejarah yang sebenarnya sama sekali belum cukup usai. Kita bisa bilang, secara kasat mata Indonesia tak pernah benar-benar jadi tuan di atas tanah dan airnya sendiri. Tanah, air, dan bahkan udara di sini adalah komoditas milik entah siapa.

Mungkin Bung Karno sudah menyadari sejak awal tentang negeri yang pernah dibangunnya ini, bahwa akan ada rantai-rantai sejarah yang terpenggal, disia-siakan, dan nampaknya lebih banyak lagi yang memang sengaja dihilangkan. Sejarah yang tak pernah tuntas, dan cepat membuat kita lupa. Benar-benar lupa!

Dan sejarah, jangan harap bisa bangkit dari kubur untuk menggugat. Dengan halaman-halaman sejarah yang berserakan tak beraturan, dengan versi dan blok-blok episodenya masing-masing. Dari gumpalan sejarah yang tak runtut, apa yang nantinya akan bisa kita harapkan untuk dibaca? Apalagi, semata sejarah berupa cinderamata hasil berburu di pasar liberal berbau korporasi.

Pasar Malam dan Sejarah Yang Tak Runtut
Festival-festival semacam FMK, pasar-pasar yang dihadirkan secara sepotong-sepotong, jarang-jarang, sehingga seakan kita dipaksa untuk mencintai dan merindukan, selalu menunggu-nunggunya tahun depan, entah cinta dan kerinduan seperti apa. Tentang hal seperti ini Camelia Malik dengan genit akan langsung menyerang lewat ‘Rekayasa Cinta’nya: Cinta/Kini sudah direkayasa/Diolah-alih/Semanis madu/Hei, tapi berbisa! Tak lupa liat juga pada bagian Bridge: Nuansanya tak lagi melukiskan/Pesona indahnya kemesraan/Jalinannya tak lagi menjanjikan/Masa depan kebahagiaan. Ya, pasar yang dihadirkan sepotong-sepotong, sporadis dan temporal memang tidak benar-benar berhasrat untuk menjanjikan masa depan kebahagiaan. Bukankah cinta yang kita temui di pasar adalah cinta hasil rekayasa. Cinta yang artifisial, tiruan belaka. Semu. Cuma kemasan.

Sama seperti FMK, lewat diorama dan setting artifisial yang dibangun, panitia FMK mencoba menghadirkan sejarah yang runtut (walaupun sebenarnya enggak juga, mengingat dua event sebelumnya di 2006 dan 2007 yang menampilkan visualisasi masa perebutan kekuasaan dengan perangnya yang modern, dan pada 2008 ini seakan tiba-tiba kita terjerembab pada masa dimana Ken Arok sedang membangun dinastinya), dengan maksud untuk memberikan pengetahuan dan pengajaran tentang sejarah kepada para pengunjung serta menanamkan kecintaan akan sejarah dan budaya, paling tidak sejarah dan budaya lokal khas Kota Malang. Malah dengan waktu yang hampir bersamaan, pada 19-23 Mei, di Taman Krida Budaya Jatim sedang digelar event yang juga mencoba menghadirkan sejarah. Merupakan rangkaian kegiatan berjudul Budhaya Adhikara, proyek Dinas P&K Prop. Jatim, acara tersebut salah satunya juga memamerkan benda-benda purbakala, seperti kapak perimbas, beliung, mata panah, fosil-fosil, dan mumi. Suasananya memang tak se-heroik seperti FMK, berhubung acara di TKB tadi memang disegmentasikan dengan format lomba seni/budaya bagi kalangan pelajar.

Tapi apa coba yang bisa kita dapat dari metode pengajaran singkat, instant, bahkan gak sampe satu minggu dalam ruang yang pengap dan gegap-gempita seperti itu? Meskipun toh itu akan diulangi terus setiap tahun sekali? Apalagi kalo aktifitas ’belajar’ itu sendiri sudah jadi komoditas, apa yang kita harapkan? Sedang Museum Brawijaya, yang jelas-jelas merupakan sebuah ruang, dimana jauh semenjak awal sepenggal waktu bernama sejarah memang sengaja dihadirkan bersanding dengan kehidupan kita hari ini, tetap saja menjadi sebuah museum militeris yang kokoh dan menyeramkan.

Hei, liat bagian Reffrainnya: Kalo cinta sudah direkayasa/Dengan gaya canggih luar biasa/Rindu buatan, rindu sungguhan/Susah dibedakan. Lalu bagian ke-duanya: Budi yang kaya/Adat budaya/Tak lagi terjaga. Haha.. sebuah lagu, dengan komposisi dan lirik yang dahsyat!

Mencintai dan menghargai sejarah adalah dengan membuat proyek-proyek pembangunan patung atau tugu-tugu berbalut heroisme atau kepahlawanan. Yah, karena saking banyaknya proyek, ngoyek sana-sini, sampe lupa ada banyak artefak yang ketinggalan, seperti di Blitar: Istana Gebang, rumah kediaman Bung Karno pada masa kecilnya, atau juga Museum dr. Soetomo yang terlantar di Kab. Nganjuk, juga kondisi para pejuang veteran yang cuma ‘disentuh’ untuk event hura-hura nasionalisme pas agustusan. Ngomong-ngomong, Bung Tomo, yang berjasa menjejakkan sebuah hari bertajuk Hari Pahlawan dimana kita berkesempatan mempunyai tambahan satu hari libur nasional itu, makamnya ada di lokasi pemakaman umum biasa lho, bukan di taman makam pahlawan. Sangat menyenangkan sepertinya, hidup dan mati dekat dengan rakyatnya. Mengenang dan menghargai sejarah adalah dengan menjual foto-foto dan posternya dengan harga jauuuuh di atas rata-rata harga produksi, dan membuat perayaan hura-hura berbalut ‘sejarah’ tiap tahunnya. Kita benar-benar meng-harga-i sejarah!

Yang banyak terjadi adalah adanya proses komodifikasi sejarah. Walaupun entah bagian atau versi sejarah seperti apa dan yang mana, tapi tampak ada usaha-usaha untuk membawa sejarah ke dalam pasar. Dan upaya untuk menghadirkan sejarah pada pasar, ya akan cuma jadi barang dagangan belaka. Memang, bisa saja untuk semacam kegiatan ekspresi ’menghias’ arsitektur pasar dengan dekorasi berupa artefak-artefak sejarah. Tapi yang banyak terjadi malah sebenarnya sejarah sedang dimasukkan ke dalam pasar untuk benar-benar diperdagangkan, semacam kasus perdagangan artefak dan benda-benda yang dicuri dari museum di Solo dan dari candi-candi.

Lalu apa coba sebenarnya yang salah dengan hal menjual sejarah? Saya juga tak terlalu paham, tapi sepertinya ada sesuatu yang hilang, itu saja. Memang, seperti banyak subkultur-subkultur urban yang sekarat karena membenturkan diri pada tembok pasar, mengungkit-ungkit sejarah toh juga gak akan menghasilkan apa-apa selain jual-beli semata. Menggelar budaya adiluhung, nanggap wayang, gelar ludruk semalam suntuk sepanjang tahun juga gak menghasilkan ‘apa-apa’, jika yang dimaksud dengan ‘apa-apa’ itu adalah kesejahteraan dan kehidupan layak selayaknya hidup itu sendiri. Tak beda dengan aktivitas puasa yang cuma meninggalkan jejak fisik berupa lapar dan dahaga. Tak akan ada esensi, yang ironisnya, justru hasil-hasil komodifikasi kering seperti itulah yang sebenarnya sedang banyak ditawarkan dan dijual. Belajar banyak babagan sejarah sedari SD sampai ubanan, sepertinya tidak menghasilkan apa-apa, selain dendam kesumat turun-temurun. Sejarah memang menjadi hal yang selalu terperangkap begitu saja dalam kertas-kertas ujian di sekolah-sekolah, menjadi usang di dalam museum, dan cuma terselip pada buku panduan soal-soal ujian CPNS. Coba, bunyi teks Pancasila ada lima saja ternyata tak sedikit yang terlupa. Mungkin ini juga gara-gara trauma indoktrinasi model Penataran P4 ala Orde Baru, sampe kita merasa mual, skeptis, dan sinis setiap memperbincangkan Pancasila.

Mungkin berangkat dari sinilah sehingga panitia menggelar FMK. Seakan ada hasrat tuk kembali ke kampung halaman yang murni dan naif: ada kompleks persawahan, candi-candi, dokar, lampu ublik, sepeda onthel, udheng, gadis desa berkebaya manis sekali, gulali, aroma wedang rondhe anget, wayang-wayangan, sarung dan kaos oblong, penyiar radio di depan mic –sepertinya sedang siaran, nokia, coca-cola, converse, inspired, lho kok ada satgas parpol, dan eh.. ada yang makan burger juga! Ya, hehee.. pengunjung (konsumen) sepertinya memang pihak yang paling susah diatur dalam hal kostum, mungkin sedang jenuh saja dengan aturan dress code yang seperti dipaksakan (sebenernya enggak juga lho..) dan panitia juga tak bisa menghindarkan diri dari sekedar membuat sebuah acara berupa pasar malam! Padahal sudah ada Andjoeran: Hormati Boedaja Sendiri, Pake Boesana Tradisi. Haha.. Anjuran yang aneh..

Mirip seperti ‘fenomena’ ritual mudik, pulang kampung waktu lebaran, dan gak ada perubahan apa-apa setelah balik ke kota, tentu selain tiket yang harganya lebih mahal, kendaraan transportasi yang semakin usang, pohon-pohon yang hilang, polusi menjadi-jadi, polisi yang semakin garang, dan oh.. endonesa negri ngeri, kalo kata Marjinal.

Memakai kostum seperti model eyang-eyang kita toh tak akan menghasilkan sesuatu yang esensial selain sensasi semacam katakanlah ’back to nature’. Kita hanya akan mengalami sebuah jalan-jalan berputar-putar pada setting yang sama yang kita sebut ber-rekreasi, untuk lantas nanti kembali mengeluhkan realitas dengan harga-harganya yang mahal, jalanan macet karena kecelakaan atau banjir dan lumpur yang meluap, polusi dan polisi dimana-mana. Ah.. dan kita meng-amini saja bahwa ternyata kita tidak bisa ber-rekreasi setiap hari, karena sistem yang ada memang tidak menghendaki terbangunnya kreativitas dan segala yang sakral.

Di dalam pasar kiranya sudah sangat radikal dan subversif cukup dengan mengenakan kaos oblong bergambar kepala Che Guevara, dengan berhiaskan taburan pin-pin dan patches beraroma molotov. Sudah cukup adiluhung, hanya dengan mengenakan kostum tradisional berupa beskap dan kebaya, lengkap dengan jarik dan sanggul dan blangkon dan sandal selop dan keris dan apa itu namanya yang disematkan di dada seperti bros. Aroma sakral nan mistis cukup dibangun dengan menyemprotkan parfum beraroma kemenyan atau dupa cendana, lalu mulut komat-kamit, seperti Joko Bodho yang malah membuatnya memang nampak semakin bodho. Orang bodho yang dibesarkan oleh pasar bernama TV. Atau sebenarnya adalah orang yang sangat pintar sekali membaca wolak-walik-nya jaman, melu ngedan biar keduman. Oh, jangan lupa rambut mohawk warna-warni atau potongan dreadlock (gimbal) penuh variasi sekarang bisa dipesan lengkap dengan layanan delivery order. Sangat cepat dan trengginas. Bahkan Mahatma Gandhi yang terkenal itu sebenarnya sering juga terpergok sedang asik menikmati beefburger di dalam McD. Hanya saja kru-kru acara gosip itu pura-pura saja dalam perahu, dasar kura-kura tidak tahu!, sehingga mereka tak pernah meliput dan membahasnya mati-matian di acara gosip mereka yang konyol itu.

Sepertinya antara segala subkultur urban hari ini dengan budaya-budaya warisan dan sejarah, masing-masing berdiam di ruangan yang berbeda. Dan jika kebetulan kita berada di salah satu ruangan itu, kita akan cuma bisa menonton ruangan yang lain seperti kita menontoni ikan berenang dan mengambang di balik kaca aquarium tebal. Serasa ada keterpisahan akut antara apa yang kita sebut budaya dengan kelakuan konyol sehari-hari. Untungnya, (atau sialnya?) itu terjadi tidak hanya di sini, liat saja misalnya, kenapa Amrik yang punya banyak sekali hero, mulai jamannya Rambo, Captain America, Superman, sampe jaman SUM 41 sudah jadi rockstar dan ketika Barack Obama dengan Hillary Clinton sedang berebut tiket sejarah USA, tetap tidak bisa mencegah lebih dari 4000 (versi birokrasi) warga negaranya, yang dipaksa jadi serdadu membela keyakinan sekelompok orang berkostum bendera di White House, meregang nyawa di !raq.

Buku sejarah dengan pijakan kapan saja dan dari mana saja selalu menceritakan kisah-kisah yang sama, cuma tekstur adonan, detail-detail dan variannya yang berbeda, kita tetap ada pada pusaran yang sama. Mulai jaman nenek moyang dan kakek-kakek kita, dari ayah kita dan kita sendiri hari ini, gagal mencari celah untuk keluar.

20 Mei 2008, tepat 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Saya rasa saya tak harus bicara tentang apa yang terjadi seabad yang lalu, yang jelas di masa lalu Kebangkitan Nasional bisa digerakkan secara menyeluruh karena berbagai unsur dalam masyarakat secara massif mampu bersatu untuk mewujudkan kemerdekaan. Tapi kini sebagian unsur itu justru dipinggirkan, bahkan dianggap sebagai beban atas nama Pembangunan Nasional. “Demokrasi itu berbicara, bukan tutup jalan. Kalau menghalangi jalan, tangkap. Itu perintah Presiden”, itu kutipan dari Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menanggapi aksi penolakan kenaikan harga BBM yang kemudian bentrok dengan ratusan aparat yang menyerbu masuk ke dalam Kampus Universitas Nasional Jakarta, 24 Mei kemarin. Sayangnya saya kehilangan hasrat untuk mencatat kutipan dari orang yang sama tentang aksi serbuan sepihak fasis FPI pada massa AKKBB pas acara apel akbar di kompleks Monas, 1 Juni kemaren.

Ya, kita gagal menarik pelajaran dari sejarah! Dan akibat tak pernah benar-benar bisa mengaca dan belajar dari sejarah, kita menjadi bangsa yang bebal, selalu terperosok dengan mudahnya pada lubang-lubang yang sama, berkali-kali mengunyah jarum yang sama. Atau kita bukan lagi bebal? Mungkin kita sudah kebal! Selalu menduduki peringkat-peringkat teratas sebagai negara dengan tingkat korupsi paling parah, tak cukup untuk menegaskan bahwa bangsa ini butuh untuk diformat ulang. Dan sialnya, kita selalu terjebak pada romantisme sejarah sebagai bangsa yang besar. Romantisme kebesaran yang saat ini coba ditunjukkan dengan wujud pasar mutakhirnya: mall-mall dengan fisiknya yang modern dan berkelas, yang dibangun lewat hutang-hutangnya yang besar, yang harus ditanggung oleh semua orang, padahal cuma segelintir blok yang bisa turut mengunyahnya. Banyak pasar dibangun di atas struktur dan hukum yang sama, yang tak menghendaki kesempatan pembagian aset. Sehingga ruang pasar hanya dimiliki oleh segelintir blok, yang menuntut profit setinggi-tingginya, apapun caranya, bagaimanapun prosesnya. Dan dalam praktiknya memang hukum pasar itu sendiri yang diterapkan. Kalau kita bukan bagian dari pemilik atau peserta pasar, ya berarti kita adalah pihak di luar kuasa hukum. Bisa jadi cuma sekedar korban. Ya, korban perasaan lebih seringnya.

Lihat saja, tanpa pernah benar-benar tahu tentang apa yang terjadi pada bursa saham Dow Jones di belahan bumi lain sana, tiba-tiba saja kita ditimpa satu jenis bahasa baru: Krisis Moneter! Dan bagaimana coba kita akan menjelaskan pada diri sendiri kenapa harga tempe yang sekian abad sudah akrab dengan sistem pencernaan perut kita, bisa tiba-tiba harganya tak terjangkau. Belum lagi geliat harga-harga komoditas bahan bakar. Atau, sementara salah satu pemilik dari Bakrie Group bahkan selain terdaftar menjadi menteri dalam pemerintahan SBY-JK, juga merupakan orang terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara –di sini terlihat bagaimana berbahayanya ekonomi yang berkelit-kelindan dengan kekuasaan!,– ribuan korban bencana luapan lumpur di Sidoarjo tak pernah jelas nasibnya. Bisa saja sedetik, sehari lagi, tiba-tiba kita sendiri yang akan lebih terkejut lagi dengan kenyataan-kenyataan menyebalkan yang justru akan terjadi di depan rumah kita, pada diri kita sendiri.

Seorang penyair dan budayawan, D. Zawawi Imron, pernah mengatakan ‘..kita hanya akan mendapatkan abunya sejarah, bukan apinya sejarah’. Sedang kita cukup tahu abu sejarah di negeri ini rasanya pedih dan perih! Sialan memang..
***
Btw, ngomong dan nulis nyinyir seperti ini rasa-rasanya memang sangat mengasyikkan sekali. Cobalah! Biasanya tulisan seperti ini bisa dijual, harganya mahal! Hahaa..

Terakhir, namanya itu lho: Festival Malang Kembali. Duh, ngerti maksud saya kan?! Seakan kita sedang merayakan kemalangan bertubi-tubi..

Sepertinya kita butuh sharing untuk bisa bikin semacam ‘acara-acara’ atau sistem alternatif. Sedikit meredakan abu, kata kawan saya, dan mencoba lagi menyalakan api itu. Mungkin gak perlu yang terlalu masal dan muluk. Paling tidak, ayolah kita menjadi bagian dari sejarah. Mungkin akan lebih asik kalo kita lompat dulu dari sini.. dan, hup.. ya, kita sudah keluar dari arena FMK dengan menghirup nafas panjang, dan menghempaskannya keras-keras. Kita masuk ke level selanjutnya: kembali ke peradaban! Peradaban yang tetap saja keras, dengan pasarnya yang nyata lebih buas: neo-liberal, pasar bebas! Wah, abunya ternyata sudah menyebar kemana-mana!

oleh : Azwin
email : planetmungil@hotmail.com