"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Rabu, 13 Mei 2009

REPORTASE: Merayakan Kehancuran

MERAYAKAN KEHANCURAN
Sebuah Pameran, Workshop, & Pementasan Mini.
Malang, 23-24 April 2009.


PRAKATA
Terus terang latar belakang dari diorganisirnya acara ‘berbau punx’ ini macam-macam. Masing-masing individu yang terlibat sedari awal mempunyai alasan serta ekspektasi yang berbeda. Yang jelas bahwa acara yang dirancang ini nantinya bukan berupa acara gebrak-gebruk musikal belaka, melainkan akan lebih menampilkan sisi atau sudut-sudut lain dari aktifitas komunitas minor yang selama ini banyak diidentifikasi dengan istilah punx, meskipun secara langsung maupun tidak juga muncul keinginan melepas label-label tersebut. Maka menu utama yang akan disajikan nantinya adalah berupa aksi transfer kreatifitas, adu spontanitas, dan bagi-bagi semangat, yang dikemas dalam sebuah workshop bersama, dengan pameran dan pementasan mini sebagai pancingnya. Tujuan singkatnya adalah kami ingin membuka ruang-ruang ekspresi di tengah berkecamuknya kehancuran global, dimana setiap orang semakin nampak menjadi mesin dan kehilangan hasrat kemanusiawiannya. Maka dipilihlah judul: Merayakan Kehancuran.

Lalu disusunlah draf acara lengkap beserta kemungkinan siapa para peserta yang nantinya akan berpartisipasi. Untuk tempat, setelah melakukan sekian survey dan pertimbangan, dipilihlah sebuah galeri sederhana bernama MAMIPO (Malang Meeting Point) yang berada di jalan Kediri 04 Malang dengan kesepakatan antara teman-teman dan pemilik tempat mengenai sewa sebesar rp. 100.000,- untuk dua hari pemakaian tempat. Sebuah lokasi yang terhitung baru di Malang dan sebenarnya lebih difokuskan untuk pameran-pameran atau kegiatan berbau fotografi. Sayangnya, baru diketahui kemudian setelah pameran berlangsung bahwa banyak orang tidak tahu dimana letak Jalan Kediri ini karena memang tidak ada papan tulisan jalan tersebut, hingga banyak teman yang rencananya langsung menuju ke MAMIPO harus tersesat dan berkali-kali harus bertanya.

Untuk publikasi acara sendiri sebenarnya terhitung terlambat, berhubung sangat kurangnya koordinasi dari panitia yang bersangkutan. Belum lagi tentang masalah teknis pembuatan pamflet/flyer. Misalnya tentang perlu atau tidaknya pencantuman logo atau simbol dari pihak-pihak yang berpartisipasi. Menurut saya walaupun sebuah acara diorganisir secara DIY bukan berati segala output publikasinya harus bersih dari segala ‘simbol-simbol dagang’. Yang terpenting sebenarnya adalah kesadaran dengan siapa kita berhubungan dan bagaimana sistem yang kita atau mereka pakai. Akhirnya setelah melalui pembenahan disana dan disini sebuah cetak biru flyer-pun dianggap layak edar, yang disampaikan melalui tempelan, sms, friendster, facebook, atau juga myspace meskipun sangat terlambat. Satu hal lagi disamping banyak hal lain yang seharusnya bisa menjadi koreksi teman-teman jika melakukan pengorganisiran apapun memang harus dipersiapkan dengan matang dan dilakukan dengan serapi mungkin hingga tidak perlu lagi kedodoran seperti kali ini. Proses belajar biasanya memang baru dimulai saat individu-individu yang terlibat sudah terbentur dengan realitas yang mesti dihadapi, dan semoga kenyataan yang terjadi selama menjelang dan saat pameran bisa menjadi pengalaman dan pelajaran yang bisa diambil hikmahnya untuk berubah esok hari. Semoga….


HARI PERTAMA : Kamis, 23 April 2009
Pagi hari sewaktu mulai memasang display hasil karya woodcut ternyata sudah menunggu beberapa orang tamu pertama: serombongan orang-orang dari Jakarta. Tepatnya dari Lembaga Litbang, Depdikbud, Jakarta yang malam sebelumnya sudah konfirmasi untuk mampir di pameran kali ini. Iya, ini adalah orang-orang utusan pemerintah yang sebelumnya sudah mampir ke teman-teman di Surabaya dan Sidoarjo. Nampaknya mereka mendapat informasi mengenai pameran ini dari teman di Surabaya hingga akhirnya mampir ke Malang. Katanya sih mereka sedang dalam rangka penyusunan buku mengenai budaya kontemporer berikut pertahanan komunitas yang terlibat di dalamnya secara ekonomi. Ah saya tak terlalu ambil pusing, ribet banget istilahnya. Di sela-sela liputan mereka saya sempat iseng bertanya, “kok nggak meneliti komunitas dangdut aja misalnya..?!,” tapi jawaban singkat mereka cukup membuat saya terpana, “ah, dangdut nggak punya ideologi!” Whuooww.. tapi saya jadi mikir lagi: emang punk punya ideologi ya?!! Trus rhomairama-isme bukankah itu ideologinya dangdut? Hehee.. gimana menurut kamu?

Hari pertama yang digelar adalah pameran karya dan workshop woodcut, grafis, artwork/drawing, bubur kertas, dan zine. Agak siang menyusul karya fotografi yang dibawa oleh Abi dan beberapa temannya dari studio Kedai Digital Blitar.

Untuk workshop sendiri pengunjung yang datang dan tertarik langsung bisa belajar dan membuat karya sendiri dengan dipandu oleh instruktur-instruktur yang terlatih menangani gajah, dengan suasana yang informal, nyantai banget, dan terasa setara, karena sama-sama ngesot di bawah dan semuanya GRAATTTIIISSSSS…….

Agak sorean datang pasukan dari Garum, Blitar yang naik kereta. Pepeng yang sebelumnya telah didapuk untuk meng-handle workshop gambar/drawing langsung menggelar karya-karya artworknya, mengeluarkan alat-alat perangnya, dan mengajak orang di sekitarnya untuk menggambar bersama. Menyusul kemudian datang Simbah dari Garum naik sepeda motor ke pameran di Malang, yang datang langsung menanyakan alat-alat musik. Akhirnya beberapa teman berinisiatif untuk mengambil gitar akustik dan jimbe untuk dibawa ke venue. Segera saja begitu alat musik berkumpul, Simbah dan beberapa teman-teman yang lain gila-gilaan bernyanyi tanpa kenal lelah. Setelah adzan Maghrib, Kang Semut dan Fajar Babi datang dari Surabaya dengan sepeda motornya. Ah, kangen-kangenan lagi, cerita ngalor ngidul seru.

Hari pertama ditutup secara tidak resmi dengan acara makan bersama di atas baliho vinyl ukuran jumbo hasil colongan kampanye pilleg kemaren, dengan menu nasi bungkus mak nyuusss sambil membuat rencana-rencana terusan dari pameran kali ini.

HARI KEDUA : Jumat, 24 April 2009
Hari kedua efektif berjalan seusai waktu sholat jumat. Ini sebenarnya adalah hal yang luput dari perhatian panitia, soalnya kebanyakan panitianya berlagak sok atheis. Setelah kondisi memungkinkan, Kang Semut segera beraksi, mengeluarkan jurusnya, sekaligus menggelar dua buah gulungan kertas yang panjangnya tak terkira ujungnya, dengan tujuan mengajak semua orang yang ada untuk berani menampilkan ekspresinya dalam bentuk gambar dan coretan. Inilah komik ala Kang Semut. Menyusul berikutnya, baru datang dari Surabaya, rombongan X-Go, Komik Bunuh Diri, langsung mendisplay karya artwork, poster, lukisan, ada juga instalasi yang disusun dari kepingan CD-CD bekas dan kaleng-kaleng pylox yang telah dimodif. Sangat inspiratif.

Hari kedua ini pengunjung yang datang lebih banyak dari sebelumnya. Dan ada satu insiden kecil terjadi: sebuah pigura foto berukuran 1x2m terdorong oleh angin dan jatuh hingga kacanya pecah berkeping-keping, untung seorang mbak yang lagi asik membaca zine di depan pigura itu mampu terhindar dari bencana, padahal jaraknya dekat sekali dengan arah jatuhnya pigura itu. Mungkin si mbak ini adalah seorang avatar pembaca zine.. Dan mbak ini pula yang sempat memberi sebuah komentar: “acara ini aura perlawanannya kentel banget yawh..!!” Iya, sebenernya kita juga ada rencana mendisplay aura kasih tapi orangnya gak mau, dan acara ini hampir saja berdarah-darah, untung si mbaknya punya ilmu menggeser tubuh meraba angin.

Tak lupa sesuai jadwal sore hari itu akan digelar juga workshop sablon sekaligus sablonase gratis. Bagian ini dikomandani oleh Zen dibantu dengan budak-budak dari Malang dan Surabaya: Salman, Arip, Babi. Reza dari garasi337 yg dijadwalkan hadir ternyata lagi berhalangan. Maka berebutanlah para fashionista untuk menistakan kaos-kaosnya dengan desain-desain nista yang telah dipersiapkan di atas screen. Bagi yang lupa membawa kaos kosong telah disediakan kaos kosong dari panitia dengan harga murah-meriah.

Acara hari itu ditutup dengan tiba-tiba oleh trio Salman, Habib, Cecep yang menampilkan musikalisasi puisi. Tak lupa Kang Semut yang jebolan teater didaulat untuk membacakan sebuah karya. Aksinya mampu membius dan memukau hadirin. Saya pun takjub, gak tau karena intonasi Kang Semut atau karena itu puisi tulisan saya yang dibacakan.. Hehe.. puisi saya serasa punya roh dan bangkit dari kubur soalnya itu nulisnya sekitar th.2003 lalu. Tak ketinggalan kawan Jibril yang sedari siang sudah nongkrong di venue secara spontan bersedia membacakan karya puisinya yang agak-agak komedi satir namun menggugah.

Dan akhirnya acarapun berakhir sudah. Diiringi dengan obrolan singkat dan ringan dan disusul dengan keberangkatan kontingen Surabaya kembali ke asalnya. Wah ternyata masih ada saja orang-orang yang datang berkunjung tapi sayang semua karya sudah diturunkan dari display. Jadi ya panitia menemani ngobrol-ngobrol aja.

Pas mau bubaran datang lagi kontingen dari scene Karang Kates: Chandra & Kawoxxx CS. Karena tak tega kedatangan mereka sia-sia, panitia berinisiatif untuk membagi karya-karya sebagai oleh-oleh sembari ngobrol banyak tentang aksi lokal, khususnya tentang aksi sepeda santai anti polusi dan penolakan pembangunan pabrik semen gresik di Pagak, Malang Selatan.

YANG TEREKAM (TAK PERNAH MATI)
Yah pada akhirnya yang patut disyukuri adalah bahwa sebuah acara dimana banyak orang terlibat dan melibatkan diri, dengan model pengaturan venue yang begitu terbuka ternyata tidak ada terdengar keluhan atau pengumuman adanya barang-barang yang hilang atau dihilangkan, dan juga tidak ada komplain dari ibu penjaga warung di dalam venue tentang tagihan-tagihan kopi atau makanan yang tak terbayar. Ini membuktikan bahwa sebenarnya setiap orang bisa bergerak, berpartisipasi, dan bertanggungjawab secara aktif apabila dia diberikan sebuah ruang bernama kebebasan!

Dan tak lupa untuk ke depan acara-acara yang mengatasnamakan sebuah scene/komunitas masih sangat perlu untuk mencoba bersinggungan langsung dan membuka ruang interaksi untuk orang, komunitas, atau ide-ide di luar komunitas itu. Terimakasih teman-teman.

Rabu, 29 April 2009

REVIEW BUKU: In Defense Of Anarchism

REVIEW BUKU

Judul: In Defense Of Anarchism (Menuju Dunia Tanpa Negara)
Penulis: Robert Paul Wolff
Download PDF nya: disini


Otoritas adalah hak untuk memberi perintah, atau juga berarti hak untuk dipatuhi. Istilah ini harus dibedakan dengan ‘kekuasaan’, yang berarti kemampuan untuk memaksakan ketertundukan, baik dengan kekuatan (kekerasan) ataupun berupa ancaman. Mengklaim otoritas sama dengan mengklaim hak untuk dipatuhi. Sedangkan asumsi mendasar dari filsafat moral adalah bahwa manusia bertanggung jawab terhadap segala tindakannya sendiri, maka secara metafisika manusia berada dalam kondisi bebas. Artinya dalam sejumlah hal manusia mampu menentukan bagaimana seharusnya dirinya bertindak, atau dengan kata lain dia akan mencanangkan hukum-hukum untuk mengatur dirinya sendiri. Singkatnya dia memiliki otonomi.

Penanda yang menegaskan keberadaan negara, dimanapun, adalah otoritas: hak untuk mengatur/memerintah. Sedangkan karakter utama manusia adalah otonomi: penolakan untuk dikuasai. Dengan dua hal yang bertentangan ini, dalam hubungan antara negara dengan rakyat, maka tampaknya tidak akan ada cara untuk menyelesaikan pertentangan antara otonomi individual dengan negara sebagai lembaga yang selalu bersifat otoritatif.

Dan buku ini menggambarkan analisis klasik RPW (baca: Robert Paul Wolff), seorang profesor pada studi filsafat dan afro-amerika di univ. massachusetts, terhadap landasan otoritas negara serta persoalan antara otoritas pollitik dan otonomi moral. Intinya, bagaimana otonomi moral individu dapat bersesuaian dengan otoritas negara secara sah.

Dimulai dengan sebuah prolog/kata pengantar cukup panjang tentang sejarah penulisan buku ini yang telah dimulai sejak lebih dari seperempat abad yang lalu (tahun 70-an), RPW mengajak kita untuk berangkat dari premis yang sulit dibantahkan: setiap orang memiliki keharusan yang mutlak untuk untuk menjadi otonom secara moral, dan berakhir dengan kesimpulan yang menyenangkan: sebuah negara yang memiliki keabsahan secara moral adalah sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.

Menjawab persoalan pertentangan mendasar di atas, RPW mengajukan argumen bahwa satu-satunya cara untuk melindungi otonomi dalam upaya mencapai pemerintahan kolektif yang mandiri adalah melalui demokrasi langsung dengan suara bulat. Dengan kata lain, otonomi dapat benar-benar dilindungi dalam proses legislatif hanya jika setiap orang yang terikat oleh hukum dapat berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan undang-undang, dan lebih jauh lagi, jika setiap orang hanya terikat oleh undang-undang yang mereka setujui. Betapa anarkisnya!

Bagi RPW hanya ada satu bentuk komunitas politik yang menawarkan harapan bagi penyelesaian pertentangan antara otoritas dan otonomi, yakni demokrasi. Namun jangan dibayangkan demokrasi seperti demokrasi yang digembar-gemborkan oleh partai-partai yang mengklaim demokrasi dengan embel-embel parlementariat, terpimpin, perwakilan, liberal, mayoritarian, kontraktual, ato pancasila, dan lain-lain embel-embel simplifikasi, yang penuh dilema, pembodohan-pembodohan, dan paradoks, yang malah makin mereduksi hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang ditawarkan RPW adalah demokrasi yang total, mensyaratkan partisipasi langsung tanpa perantara dalam proses legislasi/pengambilan kebijakan dan keputusan, dengan suara bulat. Ketika seseorang yang benar-benar bertanggung jawab menerapkan hukum bagi dirinya sendiri, dan dengan cara tersebut berarti dia mengikatkan dirinya pada apa yang menurut pendapatnya benar, maka suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab dapat mengikatkan diri mereka secara kolektif pada undang-undang yang telah mereka susun secara kolektif pula, dan dengan cara tersebut berarti mereka telah mengikatkan diri pada sesuatu yang secara bersama-sama mereka anggap benar.

Dengan demikian, dalam pengertiannya yang ketat, pemerintahan dari suatu negara demokratis sebenarnya tidak lebih dari pelayan bagi seluruh rakyat, yang diserahi tugas untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui bersama. Dalam kata-kata Rousseau, "setiap orang yang menyatukan dirinya dengan semua orang... hanya taat pada dirinya sendiri dan tetap saja bebas seperti sebelumnya". Pemerintahan untuk rakyat hanya merupakan perbudakan semu, sedangkan pemerintahan oleh rakyat merupakan kebebasan yang sesungguhnya. Selama seseorang berpartisipasi dalam urusan-urusan negara, maka dirinya merupakan si pemberi perintah sekaligus yang diperintah. Kewajibannya untuk tunduk pada undang-undang bukanlah berasal dari hak ilahiah yang terdapat dalam diri seorang raja, bukan pula dari otoritas turun-temurun dalam suatu kelas bangsawan, melainkan berdasarkan fakta bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber dari undang-undang yang mengatur dirinya. Ini berarti pengembalian kedaulatan pada individu.

Dan hari ini, menjelang pemilu 2009, walaupun ketidakpercayaan serta kecurigaan terhadap otoritas (negara) memang telah mewabah, namun pemahaman terhadap dasar-dasar teori serta praksis demokrasi dan masalah mendasar dalam pemerintahan perwakilan masih sama terbatasnya dengan saat pertama kali buku ini ditulis. Menjadi jelas bahwa hanya sedikit sekali individu yang benar-benar memahami pemerintahan oleh rakyat

Kegagalan kita dalam menemukan suatu bentuk asosiasi politik yang dapat mengkombinasikan otonomi moral dengan otoritas yang absah bukanlah akibat dari ketidaksempurnaan rasionalitas manusia, juga bukan karena nafsu dan kepentingan pribadi yang membelokkan manusia dari upayanya mencapai keadilan dan kebaikan bersama.

Mungkin akan banyak yang akan menganggap ini utopis, lebih karena alasan-alasan bersifat teknis. Tapi ini kan jaman modern. Ruang dan waktu seakan tak berjarak, iya kan?! Ada contoh-contoh solusi yang bisa diambil di buku ini. Bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi dan perangkat-perangkat komputer, televisi, perekam sidik jari, sampai internet untuk memperbesar kemungkinan kita untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut kolektifitas. Bab II & III ditujukan khusus untuk mencoba memecahkan hambatan teknis ini dan mengajukan kombinasi-kombinasi yang ideal tentang bentuk-bentuk asosiasi politik.

Semua itu jelas masih jauh sekali dari suatu proyeksi yang koheren mengenai masyarakat anarkis, tetapi mungkin dapat membuat yang ideal tidak begitu tampak seperti khayalan filsafat politik yang bersifat utopis. Daripada teriak-teriak anarki gak jelas…

Buku ini memang bukan tentang bagaimana aplikasi praktis dari anarki/anarkisme dalam keseharian, tapi lebih kepada sebuah paparan mendasar tentang politik sehingga kita akan tiba pada cara berpikir anarki/anarkisme itu sendiri, khususnya dalam kaitannya dengan apa yang selama ini sering kita sebut sebagai negara dan demokrasi. Dengan bahasa dan cara tutur dan nalar yang sangat mendasar (dengan kalimat panjang) memang tidak disarankan untuk sekali baca, apalagi baca sekali-sekali dan tak runtut.

Dan walaupun isinya bukan isu-isu yang menarik seperti halnya isu-isu tentang gitar merek apa yang digunakan kangen band untuk menghasilkan kocokan-kocokan mautnya dalam sebuah tembang berjudul d.o.y, tapi paling tidak bisa diterapkan untuk mereview kembali cara atau sistem kerja bersama yang selama ini coba kita terapkan dalam scene/kolektif.

Buku ini bagus buat yang tergila-gila dengan nasionalisme buta ala paskibraka atau patriotisme ala menwa. Dan sangat direkomendasikan bagi yang percaya dan kecanduan pemilu dengan sistem yang kita sendiri sebenarnya juga tak pernah paham, apalagi untuk mengajukan sejumlah alternatif sistem pemilihan yang lebih beradab dan mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk mengelola hidupnya sendiri.

Ah, seandainya orang-orang partai yang hobi kampanye, yang membual dan berdebat tentang program-program dan segala mitosnya, mau mencoba untuk memahami buku seperti ini.


planetmungil@hotmail.com


Kamis, 05 Maret 2009

Jangan Hanya Golput, Organisasikan Komunitasmu !

Dalam demokrasi, harus ada yang menang dan kalah—Hillary Clinton, Program Musik Dahsyat di RCTI 19 Feb 09

Semua revolusi modern telah berakhir dengan kembalinya kekuatan negara—Albert Camus

Dewasa ini, “demokrasi” menguasai dunia. Runtuhnya rezim komunis Rusia, pendudukan di Afghanistan dan Irak yang mengatasnamakan demokrasi, sistem Pemilu multipartai yang semakin dipopulerkan di berbagai negara-negara miskin Dunia Ketiga, pertemuan-pertemuan tingkat dunia yang membahas persoalan demokrasi ekonomi, pembantaian warga sipil palestina di Jalur Gaza dan serangan balas dendam pada warga Israel yang tidak bersalah demi kekuasaan modal, juga jadwal Pemilu pada bulan April 2009 di Indonesia—yang selalu diklaim dan digembar-gemborkan sebagai pesta demokrasi. Lalu kenapa kita tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala masalah kita dan dunia? Kenyataannya dunia masih juga berjalan di antara kemiskinan, pengangguran, penghancuran ekologi, penghancuran hak-hak warga oleh korporasi, dan masalah-masalah lainnya. Lebih dari itu, kemandirian komunitas telah menjadi sesuatu yang benar-benar langka. Apakah ada yang salah dengan “demokrasi”? Apakah ada alternatif yang lebih memungkinkan dari “demokrasi”?


Setiap Anak Kecil Dapat Tumbuh Menjadi Seorang Presiden

Bohong. Menjadi seorang Presiden berarti memegang sebuah kekuatan dalam posisi yang hierarkis, sama halnya dengan menjadi seorang milyuner: untuk ada satu orang Presiden, harus ada milyaran orang yang memiliki kekuatan lebih rendah dari dirinya. Dan seperti halnya dengan milyuner, hal yang sama berlaku juga dengan keberadaan seorang Presiden: bukan sebuah kebetulan bahwa kedua tipe tersebut saling menguntungkan, semenjak keduanya datang dari dunia yang memiliki banyak hak-hak istimewa dengan cara membatasi hak-hak kita sebagai orang-orang yang bukan bagian dari mereka. Sistem ekonomi kita, juga sebenarnya tidaklah demokratis, kita semua sudah tahu bahwa sumber kekayaan didistribusikan dengan proporsi yang secara absurd sangatlah tidak adil. Untuk menjadi seorang Presiden engkau harus memulainya dengan memiliki sumber kekayaan, atau setidaknya memiliki kedudukan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sumber kekayaan. Walaupun apabila memang benar bahwa setiap orang dapat tumbuh menjadi seorang Presiden, hal tersebut tidaklah akan menolong milyaran dari kita yang kebetulan tidak menjadi seorang Presiden—yang masih harus hidup dalam bayang-bayang kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi kesulitan mendasar, yang intrinsik, dalam sistem demokrasi representatif[1]—di mana kesulitan tersebut terjadi dalam level paling bawah maupun dalam level teratas. Sebagai contoh: Walikota, bersama beberapa orang politisi profesional, dapat mengagendakan pertemuan-pertemuan yang mendiskusikan masalah-masalah yang dialami oleh warga kota tersebut. Kemudian mereka menghasilkan berbagai keputusan setiap harinya untuk ditaati oleh setiap warga kota, tanpa sekalipun pernah mengkonsultasikannya dengan para warganya. Masalahnya, masalah yang dialami oleh tiap warga pasti berbeda-beda, sehingga mereka yang tidak mengalami masalah yang sama jelas akan merasa keberatan dengan diberlakukannya keputusan sepihak dari Walikota. Tidak perlu heran apabila ketidakpuasan akan terus terjadi. Para warga kota dapat memilih Walikota yang lain, walaupun pilihannya hanya akan kembali ke lingkaran yang itu-itu saja: mereka yang telah disediakan dalam daftar politisi atau calon politisi yang sudah dipilihkan untuk warga kota. Dari pilihan itu, tetap saja kepentingan dan kekuatan kelas dari para politisi tersebut akan selalu bertentangan dengan kepentingan warga kota. Lagipula, para loyalis partai politik selalu saja hanya melakukan hal-hal yang dianggap baik demi mendapatkan kursi kekuasaan dan bagaimana caranya mempertahankan kursi tersebut. Apabila tidak ada Presiden, maka bukan berarti bahwa “demokrasi” kita tersebut kurang demokratis. Masalah mendasarnya adalah korupsi, kepemilikan hak-hak istimewa dan hierarki tidak akan pernah lenyap walaupun kita telah memilih jutaan Presiden; karena cacat tersebut tidak terletak secara personal pada siapa yang menjadi Presiden, melainkan bahwa hal-hal tersebut merupakan metode-metode pemerintahan yang telah melekat erat dalam bentuk pemerintahan apa pun.

Tirani Mayoritas

Apabila anda pernah mengalami suatu masa di mana anda menjadi bagian dari kelompok minoritas yang tidak masuk hitungan sama sekali, sementara kelompok mayoritas memutuskan bahwa anda harus kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi diri anda sendiri tapi dianggap tidak penting oleh kelompok mayoritas, akankah anda hanya menurut demi kepentingan mayoritas? Saat hal tersebut terjadi, benarkah seseorang akan menyadari bahwa kekuasaan sekelompok orang ada karena mereka telah menyingkirkan hak-hak orang lainnya? Kita menerima kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita—dan biasanya mereka, para minoritas yang telah terancam kepentingannya, telah ditutup dulu mulutnya sebelum kita sempat mendengar langsung tentang kondisi yang mereka alami. Tak ada “masyarakat biasa” yang mengakui bahwa dirinya terancam oleh aturan mayoritas, karena setiap orang berpikir ada sebuah “kekuasaan moral” yang menyatakan bahwa kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya: sesuatu yang di dalam kenyataan disebut sebagai fakta dengan merujuk pada standarisasi nilai-nilai yang tidak pernah ditanyakan terlebih dahulu, apakah kita sepakat atau tidak dengan aturan tersebut. Kalaupun hal tersebut tidak disebut sebagai fakta, setidaknya kita begitu sering mendengar hal tersebut dari berbagai teori, yang menyatakan bahwa ide tentang kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya. Dari demokrasi tersentral ala negara-negara Komunis, demokrasi Pancasila, sampai dengan demokrasi pasar yang eksis sekarang ini, kesemuanya tidak pernah mengakomodir kepentingan yang berbeda dari kepentingan mayoritas[2], bahkan jika itu adalah sesuatu yang keliru. Demokrasi dengan aturan mayoritas selalu berakhir dengan keputusan bahwa, apabila segala fakta telah terbukti benar, maka semua orang akan dibuat melihat bahwa hanya ada satu macam cara melakukan sesuatu yang bisa dikatakan benar alias hanya ada satu macam kebenaran. Tak heran jika pola demokrasi seperti demikian tak ada bedanya dengan kediktatoran. Masalahnya, dalam banyak kasus bahkan apabila “fakta” dapat dihadirkan secara jelas pada semua orang (yang jelas tak akan mungkin) beberapa hal tak dapat disetujui begitu saja, yang merupakan bukti bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya satu macam saja. Ada begitu banyak kebenaran di dunia ini, karena masing-masing individu dan lingkungan yang membentuknya punya keunikannya sendiri. Memaksa kebenaran yang bervariatif menjadi kebenaran tunggal akan menghilangkan keindahan yang mewarnai hidup ini. Kita semua membutuhkan bentuk-bentuk demokrasi yang mampu menghitung peristiwa-peristiwa tentang perbedaan kebenaran, di mana kita juga bebas dari sebuah sistem kediktatoran mayoritas sebagaimana kediktatoran kelas yang memiliki hak-hak istimewa.

Aturan Hukum

Perlindungan yang disediakan oleh institusi-institusi legal yang kita miliki sama sekali tidak cukup. “Aturan dan hukum yang adil”, yang dewasa ini diberhalakan oleh mereka yang memang memerlukan perlindungan atas kepentingannya (misalnya tuan tanah atau direktur bank), tidak dapat melindungi setiap orang dari kekacauan atau ketidakadilan; hal tersebut hanya menciptakan arena spesialisasi baru, di mana potensi dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh komunitas akan direduksi ke dalam sebuah arena jual beli yang mahal untuk membayar hakim atau pengacara. Masyarakat yang miskin, lemah, dan tidak berdaya, adalah kelompok yang paling akhir diperhatikan oleh aturan hukum yang ada. Di bawah kondisi demikian, potensi mandiri dan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat akan disibukkan pada persoalan pemenuhan kemampuan finansial untuk membiayai institusi pengadilan, bukan digunakan untuk merebut kembali hidup yang telah dirampas. Memapankan keadilan dalam masyarakat melalui penguatan dan pemaksaan kontrol oleh hukum tidak akan pernah berhasil: beberapa hukum hanya dapat menginstitusionalkan apa yang telah menjadi aturan dalam masyarakat. Apa yang kita butuhkan adalah meninggalkan demokrasi representatif, untuk sebuah demokrasi partisipatoris[3] sepenuhnya.

Bukan Sebuah Kebetulan Apabila “Kebebasan” Tak Ada Dalam Kotak Pemilu

Kebebasan bukanlah sebuah kondisi—melainkan sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai sebuah sensasi—dan hal tersebut bukanlah sebuah konsep akan janji kesetiaan untuk dituju, sebuah sebab yang mendasari tindakan, ataupun sebuah standar yang mengharuskan kita berbaris di bawah satu bendera; melainkan sebuah pengalaman yang harus anda alami sehari-hari yang bila tidak dialami, maka kebebasan tersebut akan meninggalkan anda. Kebebasan bukanlah saat kita beraksi ketika bendera dikibarkan dan bom-bom dijatuhkan hanya demi “membuat dunia aman untuk demokrasi”, tak peduli apa pun warna bendera yang dikibarkan (bahkan juga bendera hitam). Kebebasan tak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan ataupun doktrin filosofis apa pun. Memberikan kebebasan pada orang lain tak akan mampu memperkuat kebebasan, selain hanya mengekang kemampuan orang tersebut untuk menemukan kebebasannya sendiri. Kebebasan muncul pada saat-saat yang sederhana; saat membuat anak kecil percaya pada sesuatu yang dilakukannya, pada momen-momen bersama dengan beberapa teman dekat dan kerabat, ataupun pada saat para pekerja menolak perintah pimpinan serikat buruhnya, dan kemudian mengorganisir pemogokan mandiri tanpa pemimpin. Apabila kita memang memperjuangkan kebebasan kita, maka kita harus mulai berjanji pada diri kita sendiri untuk selalu mengejar dan menghargai momen-momen tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkannya. Hal ini jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu kita untuk melayani kepentingan partai atau ideologi (apa pun). Kebebasan yang nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak Pemilu. Kebebasan bukan sekedar kemampuan untuk memilih satu dari beberapa pilihan, melainkan berpartisipasi aktif untuk membuat pilihan sendiri: membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana pilihan-pilihan tersebut dapat terbentuk. Tanpa hal ini, kita tak akan memiliki apa pun, selain hanya menerima pilihan yang telah ada berulang-ulang kali—membuat keputusan yang hasil akhirnya juga akan selalu sama. Apabila pilihan ada di tangan kita, maka segala sesuatu berarti kemungkinan baru. Dan ketika telah tiba saatnya untuk mengambilalih kekuatan dan kekuasaan atas diri kita sendiri, maka tak akan ada seorang pun yang dapat merepresentasikan diri kita—hal itu adalah sesuatu yang harus kita lakukan secara mandiri. Kedaulatan tak akan pernah bisa direpresentasikan, bukan?!

“Lihat, Kotak Suara Pemilu—Demokrasi!”

Apabila kebebasan adalah sesuatu yang berharga di mana telah banyak generasi yang berjuang dan mati untuknya, maka kotak suara Pemilu adalah sebuah pereduksian makna atas kebebasan itu sendiri; seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah kotak, kemudian kembali ke tempat kerjanya di mana dirinya tak lagi memiliki kontrol atas hidupnya, yang juga berarti hal tersebut justru tidak dapat dibilang sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan demi kebebasan yang telah dilakukan lebih dulu oleh generasi-generasi sebelum kita. Untuk gambaran yang lebih mudah mengenai kebebasan, lihatlah musisi yang sedang melakukan improvisasi musikal bersama beberapa partnernya; ia melakukannya dalam suasana yang menyenangkan, dengan kerjasama yang benar-benar tanpa paksaan, sehingga mereka dapat aktif mencari nada, tempo, dan suasana yang nyaman di mana mereka dapat eksis—semua berpartisipasi untuk mentransformasikan dunia yang sebaliknya juga mentransformasikan diri mereka. Ambil model tersebut dan terapkan pada setiap interaksi kita dengan orang lain, maka anda akan memiliki sesuatu yang secara kualitas jadi lebih baik daripada sistem yang ada saat ini: sebuah harmoni dalam hubungan dan kehidupan manusia—sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk mencapai titik tersebut, kita harus mulai menganggap Pemilu sebagai sebuah ekspresi kebebasan dan partisipasi yang telah ketinggalan zaman dan tak layak dilakukan untuk merengkuh kebebasan yang lebih nyata.

Demokrasi Representatif Memiliki Kontradiksi Dalam Istilahnya Sendiri

Tak ada seorang pun yang dapat merepresentasikan kekuatan dan ketertarikan yang anda miliki—anda hanya akan mendapat kekuatan dengan melakukan sesuatu, dan anda hanya akan dapat tahu apa ketertarikan anda dengan cara melibatkan diri secara langsung. Para politisi telah mengembangkan karirnya dengan mengklaim bahwa mereka merepresentasikan orang lain seolah-olah kebebasan dan kekuatan politis dapat diselenggarakan oleh seorang wakil. Sejujurnya, para politisi yang sering disebut sebagai wakil rakyat, hanya orang-orang yang mewakili kepentingannya sendiri—dan kepentingan kelasnya yang berbeda dengan kita, masyarakat kebanyakan. Kepentingan para politisi yang mencari suara kita adalah mempertahankan sistem yang membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas sosial, sehingga mereka dapat menikmati hak istimewa yang hanya tersentral di sekitar mereka saja. Kepentingan kita adalah menghancurkan tersentralnya akses-akses atas hak-hak hidup dan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial, di samping memberdayakan dan memandirikan diri kita sendiri. Pemilu adalah ekspresi dari ketidakberdayaan dan ketidakmandirian kita: sebuah ijin yang kita berikan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengerti kemampuan masyarakat kita melalui orang lain yang nantinya akan mewakili kita. Saat kita membiarkan para politisi tersebut menyediakan pilihan bagi kita, maka hal tersebut tak ada bedanya dengan saat kita menyerahkan urusan teknologi pada para teknokrat, urusan kesehatan pada dokter, tata kota yang kita tinggali pada ahli planologi; kita akan berakhir dengan terus hidup di sebuah dunia yang asing bagi diri kita sendiri, yang walaupun tenaga kita yang menciptakannya, kita tetap tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan selain hanya menunggu diberitahu oleh para pemimpin dan para spesialis tentang apa saja kemungkinan yang kita miliki. Faktanya adalah kita tak perlu memilih satu di antara beberapa kandidat Presiden, merk soft-drink, channel televisi, koran, ataupun ideologi politik. Kita dapat membuat keputusan kita sendiri sebagai individu dan komunitas, kita dapat membuat makanan yang enak dengan tangan kita sendiri, membuat koalisi sendiri, media sendiri, hiburan sendiri: kita dapat menciptakan pendekatan individual kita sendiri pada hidup yang memberi kita semua keunikan masing-masing.

Konsensus

Secara radikal, demokrasi partisipatoris juga dikenal sebagai demokrasi konsensus, sesuatu yang di belahan dunia lain telah dikenal cukup akrab dan bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, dari komunitas adat di Amerika Latin sampai pada sel-sel aksi politis posmodern (grup affiniti atau kelompok affinitas[4]) di berbagai negara Dunia Pertama ataupun pertanian organik yang dioperasikan secara kooperatif di Australia. Demokrasi konsensus juga telah berlangsung selama sekian waktu dalam komunitas Sedulur Sikep[5] sampai pada aksi gotong-royong para petani di Kulon Progo yang menolak penambangan pasir besi. Demokrasi konsensus adalah sebuah bentuk demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representatif: para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas, nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan setiap individu secara setara; apabila ada satu saja orang yang tidak setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka adalah tugas semuanya untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua. Demokrasi konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain; walaupun dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri.

Otonomi

Agar demokrasi langsung dapat menjadi berarti, orang-orang harus memiliki kontrol atas hidup yang berkaitan dengan dirinya maupun sekelilingnya. Otonomi adalah ide di mana pilihan untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri kita masing-masing ada di tangan kita, dan bukan orang lain—apalagi orang yang hanya kita kenal dari poster atau baliho yang dipasang menjelang Pemilu. Otonomi juga berarti bahwa tak ada seorang pun yang dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus anda lakukan untuk mengisi waktu dan potensi yang anda miliki—ataupun menentukan bagaimana lingkungan sekitarmu harus dibentuk. Jangan kacaukan hal tersebut dengan “kemerdekaan” individual yang sempit—dalam kenyataannya tak ada seorang pun yang benar-benar merdeka dan mandiri sejak banyak hal dalam kehidupan kita saling terhubung dan tergantung dengan sesama kita (kita terbiasa bekerja dan menyebut diri kita mandiri, padahal kita tetap membutuhkan peran orang lain untuk membuat kita dapat hidup mandiri[6])—kedua hal tersebut hanyalah sebuah mitos individualis sempit yang membuat kita menolak mengakui perlunya keberadaan komunitas. Pemujaan yang berlebih terhadap istilah “mandiri” dalam masyarakat kompetitif menegaskan sebuah penyerangan terhadap siapa pun yang tak mau melakukan pengeksploitasian atas orang lain demi kepentingannya sendiri. Contoh jelasnya terdapat pada istilah otonomi dan mandiri seperti yang sering disebut-sebut oleh media massa dan pemerintah (seperti dalam kata “Otonomi Daerah”[7]). Otonomi yang kita tekankan adalah sebuah hubungan saling ketergantungan yang bebas di antara sesama kita yang berbagi konsensus, seperti pilihan dengan siapa kita bertindak secara bebas demi pembangunan swakelola atas seluruh aspek kehidupan, dll. Otonomi adalah sebuah antitesis dari birokrasi (sebuah hal yang jelas membuat kata “Otonomi Daerah” tampak sebagai sebuah lelucon). Agar otonomi dapat terwujud, segala aspek komunitas, dari teknologi hingga sejarah harus diorganisir ulang agar dapat diakses oleh siapa pun. Agar perjuangan ini menemui titik terang, semua orang harus menggunakan kesempatan akan akses tersebut. Grup-grup otonomis dapat dibentuk tanpa perlu sebuah agenda yang jelas, selama sesama anggotanya mendapat keuntungan dari partisipasi anggota lainnya. Beberapa grup dapat mengandung kontradiksinya sendiri, sebagaimana secara individu kita semua juga seperti itu, tetapi masih tetap dapat bekerja bersama-sama.

Momen-momen di mana kita semua harus diseragamkan di bawah satu bendera, satu model dan satu pola, sudah tak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan kita akan kebebasan yang setara. Kita harus mencoba memasuki dunia baru. Grup-grup otonomis harus mengambil sikap yang jelas untuk melawan tekanan dari luar (maupun dari dalam) yang menyatakan bahwa tak ada hak bagi individu untuk menentukan hidupnya sendiri, atau mereka yang berusaha mengilfiltrasi otonomi dan konsensus dengan melakukan penghancuran struktur. Kekuasaan atas otonomi harus dilakukan dengan cara apa pun, termasuk penghancuran struktur status quo dan menggantikannya dengan struktur yang lebih demokratis secara radikal. Sangat tidak cukup saat kita menghancurkan jalanan karena menganggap pembangunan jalan hanya menimbulkan lebih banyak lagi polusi. Kita harus mampu mencari cara seperti menyediakan transportasi gratis, misalnya. Atau contoh lainnya, kita tak cukup sekedar mengkritik pola pendidikan di Indonesia tanpa mencoba membentuk sebuah sekolah dengan pola pendidikan yang berbeda. Tak perlu sekolah besar, cukup sekolah kecil non-formal yang menggunakan pola pengajaran yang progresif.

Aksi Langsung

Otonomi juga berarti aksi langsung, tidak menunggu proposal untuk disetujui oleh “jalur legal” yang selalu memakan waktu yang berkepanjangan dan dana yang mengalir terus menerus tanpa jelas ke mana akhirnya. Mari bangun jalur kita sendiri. Kalau kita ingin orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, jangan berikan uangmu pada institusi legal yang biasanya membutuhkan biaya-biaya administrasi yang akhirnya uangmu akan habis untuk keperluan birokratis mereka—cari di mana sumber makanan murah dan cukup bergizi, kumpulkan, dan bagikan langsung pada mereka yang mengalami kelaparan. Kalau kamu membutuhkan makanan murah, jangan tunggu sampai ada orang kaya memberimu makanan ataupun mencari tanah kosong dan meminta ijin pada insitusi legal untuk menggunakan lahan tersebut—hal itu hanya akan memakan waktu bertahun-tahun dan jalur berbelit-belit yang malahan akan menghabiskan dana yang kamu miliki. Cari lahan-lahan kosong, tanami dengan tanaman pangan yang mampu tumbuh di tempat tersebut. Langkah berikutnya adalah memelihara dan menjaganya agar dapat tumbuh subur. Akan lebih baik jika dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut secara gotong-royong dengan lebih banyak orang. Kita akan mampu untuk memelihara dan menikmati hasilnya bersama-sama. Apabila ada tuan tanah berusaha meratakan lahan panganmu karena kamu dianggap menggunakan lahan kosongnya tanpa izin, pertahankanlah bersama-sama. Para tuan tanah tersebut terlihat benar hanya karena mereka memiliki uang yang jauh lebih banyak daripada dirimu dan hukum memang melindungi mereka, bukan kalian. Jangan tunggu sebuah ijin legal disahkan untukmu, jangan tunggu mereka yang memegang kekuasaan memberitahu padamu apa yang harus dilakukan dengan hidupmu. Lakukan sesuatu. Saat ini juga.

Federasi Tanpa Pemimpin

Grup-grup otonomis independen dapat bekerjasama dalam sebuah federasi tanpa satu kelompok pun yang memiliki hak lebih untuk memutuskan sesuatu yang merupakan kepentingan semua kelompok. Beberapa struktur sosial seperti demikian tampak seperti sebuah utopia. Tapi sebenarnya hal-hal seperti itu mampu direalisasikan—tak perlu berharap akan terjadi dalam skala besar, cukup kita lakukan dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal-hal besar sendiri selalu lahir dari hal-hal kecil yang terus terakumulasi dan berkelanjutan. Individu-individu yang merasa setuju sepenuhnya dengan keputusan sebuah grup tidak boleh menutup dirinya untuk bergabung juga dengan grup lainnya untuk mengembangkan keinginannya. Agar hal-hal seperti itu dapat berjalan dalam jangka panjang, kita semua perlu untuk tetap mengembangkan sikap kooperatif, saling membutuhkan dan toleransi terhadap generasi yang muncul berikutnya—hal-hal seperti itulah yang kami usulkan saat ini.

Bagaimana Menyelesaikan Perbedaan Masalah Tanpa Perlu Keberadaan Pemerintah Ataupun Pemimpin?

Dalam struktur sosial di mana partisipasi tiap individu diutamakan, maka harus ada sebuah tekanan untuk mendorong pereduksian kebiasaan-kebiasaan yang merusak dan penuh kekerasan. Dibutuhkan sebuah pendekatan yang humanis, bukan yang penuh paksaan dan tekanan seperti yang selama ini pemerintah lakukan dengan ancaman penjara dan aparat keamanannya yang terkenal penuh kekerasan—yang hanya memupuk korupsi di antara para petugas hukum dan membenarkan tindakan kriminal yang ada. Mereka yang menolak untuk berintegrasi dengan komunitas manapun, serta menolak bantuan atau masukan dari yang lain, jelas akan menemukan kenyataan bahwa diri mereka akan tersisihkan dari interaksi manusia; tetapi hal tersebut pun lebih baik daripada pengasingan di penjara, seperti yang selama ini selalu berlaku dalam sistem sosial kita. Kekerasan seharusnya hanya dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan diri bagi sebuah komunitas, bukannya sebagai alasan untuk menghancurkan komunitas lainnya atas pembenaran superioritas diri seperti yang selama ini juga selalu terjadi dalam sistem sosial kita. Hal ini juga diaplikasikan bagi kelompok masyarakat ataupun grup otonomis yang belum menjalin hubungan baik dengan komunitas kita. Ketidaksetujuan yang memasuki tahapan sangat serius dapat diselesaikan dengan berbagai cara seperti reorganisasi grup ataupun pembubaran. Seringkali individu-individu yang tidak dapat lagi mendapatkan kata setuju dalam sebuah grup ataupun komunitas, justru dapat lebih banyak meraih sukses dalam melakukan pola kooperatif yang dilakukan bersama individu lain di luar komunitasnya yang pertama. Apabila dalam konsensus tak dapat ditemukan kata setuju pada sebuah komunitas, maka grup tersebut perlu untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dan saling setuju dalam beberapa aktifitasnya. Hal tersebut memang kadang membuat frustrasi, tetapi hal itu tetap lebih baik daripada akhirnya keputusan dipaksakan oleh sebagian individu yang merasa memiliki kekuatan lebih dari yang lainnya. Semua komunitas independen harus selalu berurusan dengan hal tersebut, suka atau tidak suka, apabila memang tetap ingin membangun sebuah komunitas yang sehat dan terbuka.

Hidup (Ternyata) Tak Memerlukan Ijin

Ini adalah bagian tersulit, tentu saja. Tetapi bukankah kita tidak sedang membicarakan sebuah aturan sosial yang adil? Kita sedang mendiskusikan mengenai sebuah revolusi total atas hubungan manusia sehari-hari—sebuah solusi yang perlu dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh spesies kita dewasa ini. Mari hadapi kenyataan—bahwa sebelum kita semua mampu menerapkan hal tersebut, maka tak perlu heran saat kekerasan yang terjadi dalam interaksi kita sehari-hari akan terus berlanjut, dan tak ada sistem ataupun hukum yang dapat menghentikannya dan melindungi kita. Alasan terbaik untuk menggantikan demokrasi representatif adalah dengan cara membangun demokrasi konsensus di mana tak akan ada lagi solusi palsu. Memang tak ada cara yang mudah untuk menekan angka konflik tanpa mencari akar konflik itu sendiri. Mereka semua yang terlibat harus mulai belajar untuk menjadi eksis tanpa harus merendahkan yang lain, serta mengeliminir kebiasaan-kebiasaan menyebalkan kita sendiri yang justru membuat kita lelah untuk membuat sesuatu yang lebih baik di dunia ini. Perkembangan pertama yang dapat diraih dalam dunia baru ini dapat ditemukan dalam hubungan pertemanan dan cinta kita. Saat kita semua terbebaskan dari hubungan yang dipaksakan, hubungan akan menjadi lebih nyaman. Ambil contoh ini, dan terapkan dalam seluruh masyarakat—ini arti yang dimaksud dengan kalimat “melampaui demokrasi”. Adalah sebuah prospek yang menantang untuk mencapai hal tersebut dari tempat kita berada saat ini… tetapi apa yang menjadi menarik dan indah dari konsensus dan otonomi adalah bahwa kita tidak perlu menunggu terpilihnya sebuah pemerintahan yang adil dan mengerti keinginan kita semua untuk mengaplikasikan konsep di atas—kita dapat mempraktekkannya saat ini juga, dengan orang-orang di sekitar kita dan secara langsung menerima keuntungan dari hal tersebut. Sekali saja hal tersebut dipraktekkan, maka akan terbuka jelas pola hidup tersebut bagi orang lainnya; tak perlu ada khotbah mengenai mana yang baik dan mana yang buruk saat kita menghidupi aktifitas-aktifitas secara langsung. Bentuk grup otonomismu sendiri untuk menjawab tantangan bahwa penguasa tak diperlukan untuk menentukan jalan hidupmu, dan untuk membentuk lingkungan di sekitarmu yang berarti juga hidupmu sendiri. Tak ada seorang wakil pun yang dapat melakukannya untukmu—seperti juga bahwa sejak dulu tak pernah ada seorang wakil pun yang mampu melakukan sesuatu untuk hidup kita. Dari hal-hal kecil seperti yang kita lakukanlah maka demokrasi yang sesungguhnya akan terbentuk. Maka, saat seseorang berkata kepada kita di suatu waktu, “Berterimakasihlah bahwa kamu telah hidup di dalam alam yang lebih demokratis dibanding masa lalu,” kita akan menjawabnya: “Tidak cukup sampai di situ! Kita harus mengetahui dengan lebih jelas apa yang kita inginkan dan apa yang harus kita lakukan, lewat pengalaman langsung kita sendiri.”


Aksi Langsung Versus Pemilu
Panduan Bagi Komunitas-Masyarakat Non-Partai

Di Indonesia, Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi di mana “masyarakat umum” akan memilih calon pemimpin mereka—yang diharapkan akan menciptakan perubahan—telah kehilangan pamornya. Ini bukan berarti bahwa masyarakat itu sendiri telah memiliki kesadaran bahwa sistem demokrasi elit ini sudah busuk dan sepatutnya diganti. Buktinya rutinitas ajang popularitas politisi dan elit borjuis terus saja berlangsung. Mengapa seperti ini? Jawaban yang mungkin paling mudah dan sederhana adalah bahwa, meskipun masyarakat “tidak percaya lagi” terhadap pemilu, mereka tidak punya pilihan lain mengenai pilihan macam apa yang dapat menciptakan perubahan yang berarti, selain memilih politisi.

Inilah mengapa banyak masyarakat merasa tak berdaya. Apalagi menimbang mentalitas budaya dominan masyarakat Indonesia di mana ketergantungan dan pendambaan akan pemimpin politik masih sangat kental. Artinya, rasa percaya diri masyarakat terhadap potensi diri mereka sendiri untuk membuat perubahan sangatlah rendah. Meski begitu, budaya sendiri merupakan sesuatu yang dibuat oleh relasi antar manusia, oleh aktivitas manusia itu sendiri, yang berarti mentalitas yang dihasilkan oleh budaya itu sendiri sangat mungkin untuk dirubah. Untuk merubahnya, kita harus terbiasa untuk melakukan aksi langsung.

Bila memang benar bahwa pemilu hanya akan memperbesar kantong para politisi dan elit borjuis, maka, adakah cara yang lebih efisien dan efektif untuk dapat merubah kehidupan kita? Jawaban yang paling mungkin dan berarti adalah bagaimana kita mewakilkan diri kita sendiri untuk memengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat mengenai kehidupan kita. Bagi sebagian orang, pilihan semacam ini disebut sebagai aksi langsung.

Untuk lebih menjelaskannya, aksi langsung bukanlah cara-cara melobi atau kembali memilih kandidat untuk partisipasi politik, sama sekali bukan. Aksi langsung adalah bagaimana kita membangun suatu cara di mana kita sendiri secara langsung berpartisipasi aktif dalam perencanaan hidup kita. Ini berarti kita memotong peranan para penengah. Aksi langsung adalah juga bagaimana kita menyelesaikan permasalahan tanpa harus kompromi atau mempercayai peranan para elit politik di DPR, kepanjangan tangan korporasi, atau siapa pun yang mengklaim memiliki kekuasaan di atas kita. Contoh konkrit aksi langsung ada di mana-mana. Ketika sekelompok orang mendistribusikan pangan secara cuma-cuma bagi tunawisma tanpa harus menunggu kucuran dana atau izin pemerintah, mereka telah melakukan aksi langsung. Ketika seseorang membuat dan mendistribusikan medianya sendiri tanpa harus tergantung pada media-media milik borjuis untuk memuatnya, dia telah melakukan aksi langsung. Ketika komunitas kampung membangun sekolah mandirinya sendiri dan menginisiatifkan pelajarnya untuk membuat kurikulum pelajaran menurut kebutuhan mereka masing-masing tanpa harus bersandar atau tergantung pada lembaga pendidikan resmi, itu adalah aksi langsung. Aksi langsung merupakan fondasi perjuangan masyarakat yang sebenarnya, ketika mereka ingin melakukan perubahan yang berarti. Artinya, aksi langsung adalah ketika kita tidak lagi menuntut atau mengemis agar perubahan dapat dilakukan oleh seseorang yang berada di luar dari kita dan komunitas kita—tapi bagaimana kita dan komunitas kita sendiri yang mengupayakan perubahan tersebut sekarang juga.

Dalam banyak hal, aksi langsung jelas lebih efektif dibandingkan pemilu. Pemilu itu seperti judi, bila salah satu kandidat tidak terpilih, maka energi yang telah diupayakan oleh komunitas-masyarakat untuk menggolkan kandidatnya akan terbuang sia-sia. Dengan aksi langsung, komunitas-masyarakat akan lebih yakin dengan kerjasama serta energi yang mereka keluarkan. Dan manfaat yang didapat dari aksi langsung akan membuat infrastruktur dalam masing-masing komunitas semakin kuat. Hubungan antar komunitas pun akan lebih hidup—serta manfaat-manfaat lainnya yang tidak akan sia-sia.

Pemilu memusatkan seluruh kekuatan masyarakat ke tangan segelintir politisi. Semua itu dilakukan dengan berbagai intrik, manipulasi politik, serta kongkalikong dengan para pengusaha. Mereka memaksa setiap masyarakat untuk tunduk dan tidak punya partisipasi apa-apa, selain apa yang mereka perintahkan lewat mobilisasi massa dan bayaran yang sangat kecil dibanding keuntungan yang mereka dapatkan. Dengan aksi langsung, engkau akan lebih mengenal kemampuan, inisiatif, serta sumber daya-sumber daya yang ada di sekitarmu, dan memahami sejauh mana kau bisa melakukan perubahan yang sebenarnya.

Pemilu juga memaksa semua orang agar menyepakati suatu landasan yang belum tentu cocok dengan kita. Berbagai bentuk koalisi akan dibangun untuk membuat kompromi—setiap faksi bersikukuh bahwa landasan merekalah yang paling benar dan faksi yang lainnya hanya menjadi perusak semenjak tidak dapat mengikuti landasan faksi tersebut. Namun dari kesemuanya, tak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan kita. Akan ada banyak energi yang terbuang sia-sia dalam rutinitas tuding-menuding ini. Dengan aksi langsung, kita tidak membutuhkan dagelan semacam itu: berbagai kelompok yang berbeda dapat menggunakan cara yang berbeda juga—semua itu dilakukan menurut apa yang mereka percayai dan mereka butuhkan. Berikutnya, yang lebih penting, mereka merasa nyaman melakukannya. Dengan demikian, kemungkinan untuk membangun kerjasama yang saling mengisi dapat terjadi. Masyarakat yang menggunakan aksi langsung yang berbeda-beda tidak perlu berdebat sengit, kecuali mereka memang sedang mencari konflik (mungkin karena ekses pengalaman pemilu bertahun-tahun yang membuat mereka sulit untuk menerima pendapat berbeda dari yang lain). Konflik yang terjadi di masa-masa pemilu seringkali menjadi pengalihan dari permasalahan-permasalahan yang nyata, sebagaimana ketika beberapa kelompok masyarakat terlibat dalam drama dan konflik dari partai politik tertentu. Dengan aksi langsung, permasalahan yang mendesak harus diangkat, dibahas, dan menuntut untuk diselesaikan.

Lagipula, Pemilu hanya dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali. Aksi langsung dapat dilakukan kapan saja. Pemilu hanya mengangkat beberapa agenda politik yang dibuat oleh elit politik, sementara aksi langsung dapat dilakukan di setiap aspek kehidupanmu dan di mana saja engkau berada. Pemilu dan voting sering dilebih-lebihkan sebagai “kebebasan” yang sedang beraksi. Pemilu bukanlah kebebasan, karena kebebasan berarti secara aktif memikirkan dan memutuskan sesuatu dari awal—bukan sekedar kebebasan dalam memilih apa yang hanya disediakan oleh mereka, para elit politik yang tak pernah kita kenal. Tak ada yang dapat menggantikan aksi langsung. Dengan aksi langsung, engkau sendirilah yang membuat rencana, mencoba pilihan-pilihan dan resiko-resikonya. Dan batas dari semua itu hanyalah langit.

Catatan:
[1] Demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan, adalah jenis demokrasi yang paling umum kita ketahui—dari yang dipraktekkan dalam kenegaraan, sampai pada komunitas kecil pada umumnya. Demokrasi model seperti ini sangat rentan terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh para wakil yang diklaim dipilih oleh banyak orang. Selain itu, kendali terhadap pilihan yang akan diambil sangat terpusat hanya pada para pemimpinnya, sehingga mayoritas orang, sebenarnya hanya dijadikan alat saja bagi para pemimpin tersebut. Tak heran jika kemudian demokrasi representatif melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Demokrasi representatif, secara mudahnya dapat diidentifikasi berbentuk piramida di mana keputusan yang dibuat berasal dari atas (minoritas) ke bawah (mayoritas).

[2] Pada kenyataannya, kepentingan mayoritas ini juga memiliki kontradiksi. Contohnya, saat Partai Golkar memenangkan pemilu dengan suara paling banyak, mayoritas dari para pemilihnya tetap saja berkubang dalam kemiskinan dan rasa frustasi—hanya para pemimpin dan elit-elit partai tersebut saja yang dapat menikmati hak-hak istimewanya. Siapa pun pemimpinnya, selama masyarakat tidak mempunyai kontrol langsung terhadap keputusan-keputusan yang dibuat, masyarakat hanya akan dijadikan sebagai sapi perahan oleh para pemimpin.

[3] Demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput atau biasa juga disebut demokrasi konsensus, adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat, yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up).

[4] Kelompok affinitas merupakan kelompok kecil berjumlah 5 sampai 20 orang yang bekerjasama secara otonom pada proyek-proyek aksi langsung ataupun proyek lain. Kelompok affinitas menantang pengambilan keputusan dari atas ke bawah, dan memberdayakan mereka yang terlibat untuk mengambil aksi langsung yang kreatif. Kelompok affinitas memampukan orang untuk melihat aksi mereka dengan kemerdekaan penuh dan kekuasaaan untuk pengambilan keputusan. Kelompok affinitas menggunakan prinsip-prinsip desentralis dan non-hierarki.

[5] Sedulur Sikep atau dikenal juga dengan sebutan Masyarakat Samin, adalah komunitas yang di awal kelahirannya memberontak untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Metode perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pembangkangan sosial terhadap kepatuhan yang dipaksakan pada mereka. Komunitas ini menganggap setiap orang setara. Sampai sekarang komunitas ini masih eksis dan tersebar di beberapa wilayah seperti Blora, Pati, Pacitan, dll.

[6] Kemandirian dan keberdayaan yang kami maksud adalah kemandirian yang saling terhubung antar individu maupun antar komunitas—kemandirian yang tidak terpisah dengan hal-hal lainnya. Faktor-faktor ini perlu ditekankan karena sebenarnya setiap individu maupun komunitas punya keunikannya masing-masing. Bandingkan dengan individu maupun komunitas yang hanya bisa membebek pada komunitas-komunitas lainnya: semua hal akan menjadi seragam dan membosankan.

Di sisi lainnya, kemandirian yang dimaksud oleh para individualis sempit adalah kemandirian yang memutuskan relasi sosial dengan sesamanya. Mereka merasa dirinya sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Kemandirian yang diklaim oleh para individualis sempit ini biasanya berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.

[7] Otonomi Daerah adalah sebuah parodi tak lucu akan kemandirian. Bagaimana mungkin sebuah daerah mampu otonom dalam konstelasi birokrasi yang terpusat, yang keputusannya tetap berada di tingkat paling atas? Otonomi daerah hanyalah sebuah restu yang diberikan pejabat-pejabat pusat di Jakarta agar para pejabat daerah bisa korupsi lebih banyak lagi, dan artinya, yang paling menderita lagi-lagi orang-orang seperti kita.


Kunjungi juga :

http://www.katalis.tk/
http://www.apokalips.org/
http://www.affinitasonline.com/
http://www.satubumi.co.nr/
http://www.pustaka.otonomis.org/
http://www.kontinum.tk/
http://www.amorfatum.wordpress.com/
http://rexsistance.blogspot.com/

Senin, 02 Maret 2009

Mereka Jual, Kita Rampok!

Apa yang beda pada wajah kota akhir-akhir ini? Saya kasih tiga detik untuk menjawabnya. Satu.. Dua.. Dor!! Belum tahu? Baiklah, saya akan menjawabnya.. Tentu saja hujan spanduk, baliho, poster, stiker yang masing-masing bergambar sebentuk wajah berhias slogan-slogan yang tak lupa dibumbui aneka nomor-nomor ajaib dari orang-orang yang berharap mendapat berkah sebagai ‘wakil rakyat’. Imaji-imaji paradoksal pemilu bertebaran di mana-mana. Pesta demokrasi, katanya.

Apakah kamu kenal mereka semua itu? Ah saya yakin malahan banyak yang tak pernah tahu. Tiba-tiba saja seakan imaji mereka tumbuh merayapi pepohonan, tiang listrik, dinding rumah, dan bertebaran di sepanjang jalan seakan baliho dan spanduk itu tumbuh sekejap dalam semalam dari dalam tanah.

Kamu muak? Ya, saya juga, apapun alasannya. Apalagi mengenai isu bodoh pemilu itu. Berteriak-teriak golput? Bosan.. Mencoret-coret baliho dan spanduk? Ah orang-orang malah akan lebih muak dan melupakan kemuakan semula mereka pada keberadaan spanduk dan baliho sebelumnya. Biasanya orang-orang akan membelokkan kemuakan mereka pada kambing hitam bernama vandalisme dan kriminalitas.

Tapi jangan kuatir, masih ada yang bisa kita lakukan. Bagaimana kalau kita berburu vinyl? Ya! Berburu vinyl seperti kita berburu buah-buahan di hutan. Memetik dan memakannya. Bedanya, kita akan mencuri dan merampas vinyl-vinyl tersebut dan memanfaatkannya untuk keperluan sehari-hari kita. Paling tidak, jika mereka-mereka yang nampang itu pernah berkata dan berjanji bahwa mereka akan melayani rakyat seperti yang mereka tulis pada aneka baliho dan spanduk itu, kita akan segera membuktikannya sendiri. Dan tak perlu menunggu sampai pemilu. Ya, berterimakasihlah pada mereka yang rela hati menyediakan bahan-bahan gratis untuk kita ambil dan manfaatkan. Terutama bahan-bahan dari vinyl.

Kenapa vinyl? Karena vinyl berbahan dasar dari plastik. Sifatnya lebih tahan air, seratnya kuat, tak mudah berkarat, tak mudah sobek tapi mudah dibersihkan. Apalagi jika nanti saat gegap-gempita pemilu usai bahan-bahan tersebut pasti akan mereka buang dan dibiarkan berserakan di jalanan. Ini berarti akan menimbulkan masalah baru. Sampah plastik sangat susah diurai. Dan jika terpaksa dibakar asap hasil pembakarannya akan sangat beracun. Berbahaya bagi udara. Rawan menimbulkan bencana.

Tentu saja bahan lain seperti kain spanduk juga akan sangat berguna. Tapi kali ini kita akan fokuskan aksi pada vinyl.

Nah, maka inilah apa yang bisa kita buat dari vinyl:
Tenda, Tas Ransel / Carrier, Jas Hujan, Tikar, Alas Tempat Tidur, Alas Lapakan, Pelapis Tembok / Wallpaper, Lemari / Rak Portable, Kelambu / Tirai, Sleeping Back, Polybag / Pot Tanaman, CD Case, Emblem, DLL.

Tentu saja semua benda di atas hanyalah sedikit contoh dari apa yang bisa dibuat dari vinyl. Untuk pengerjaannya, prinsipnya cari vinyl ukuran besar. Kira-kira 3x4m. Ini untuk benda ukuran besar seperti tenda, tikar, atau tirai. Atau bisa juga cari ukuran sedang kira-kira dua meteran atau yang lebih kecil, kemudian bisa disambung atau dirangkai. Jahit atau lem sesuai kebutuhan. Untuk bentuk-bentuk yang lebih kecil seperti cd case atau emblem, vinyl ukuran besar bisa dipotong-potong untuk dibuat lebih banyak. Cari teman yang mampu mendesain bentuk dan merakit bahan. Mari kembangkan imajinasi, tingkatkan kreatifitas!

Jika ada yang mampu atau tahu cara menghapus gambar pada permukaan vinyl tolong kasih tahu saya. Saya sangat berharap bisa menemukan cairan atau ramuan istimewa untuk menghapus gambar, karena saya cukup muak melihat wajah dan pose-pose mereka. Lagipula dengan vinyl yang bersih akan lebih banyak hal yang mungkin dikerjakan.

Jika kebetulan kehabisan stok, jangan kuatir, bahan-bahan itu akan masih tersedia paling tidak sampai bulan april nanti. Apalagi saat mereka sibuk berkampanye tentang pilpres, saya jamin ukuran bahan-bahannya akan lebih besar dan lebih banyak.

Untuk bahan selain vinyl, seperti kayu, bambu, kawat yang masih bisa dipakai, bisa juga dikumpulkan. Siapa tahu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Atau kalo bingung mau diapakan, jual saja ke loakan.

Kemudian, hal-hal yang sangat perlu diperhatikan saat berburu:

Personil
Seperti berburu jemuran celana dalam di rumah gadis tetangga, berburu vinyl bisa dilakukan sendirian. Namun jika merasa grogi, risih dan tak nyaman, sebaiknya lakukan bersama teman. Bisa dua orang atau empat orang, dengan masing-masing dibagi tugas secara spesifik agar lebih efisien.

Tidak disarankan membawa personil full satu scene untuk berburu, karena dikuatirkan akan memancing keributan dan biasanya malah akan banyak melakukan aksi-aksi konyol yang tak perlu. Lagipula, ini kan bukan aksi demonstrasi massa! Jika personilnya banyak bisa dipecah menjadi beberapa grup/regu untuk beraksi di lokasi-lokasi yang berlainan. Sebelum berangkat lebih baik dibicarakan dahulu tentang teknis-teknis perburuannya nanti. Jangan sampai ada yang tiba-tiba hilang ingatan, mengalami disorientasi dan berbuat tak senonoh saat aksi sedang seru-serunya. Siapkan juga tentang rute perjalanan lengkap dengan rencana pelarian beserta area checkpoint untuk ngopi dan beristirahat sambil melakukan evaluasi dan introspeksi diri.

Ada baiknya sebelum benar-benar beraksi lakukan latihan terlebih dahulu. Buatlah semacam simulasi sederhana tentang metode bergumul dengan lilitan kawat berduri dan melipat atau menggulung cepat. Latihan dan pemanasan yang baik akan sangat membantu di lapangan nantinya.

Waktu
Untuk berburu sebaiknya malam/pagi hari. Kira-kira jam 12 sampai 5 pagi. Berdasarkan pengalaman empiris, saat terbaik adalah jam 1 sampai 3 pagi saat orang-orang rata-rata sedang lelap-lelapnya mimpi, setelah itu udara akan menjadi terlalu dingin dan orang-orang akan sudah banyak yang bangun. Kewaspadaan perlu ditingkatkan jika sedang ada siaran pertandingan bola pada dini hari, siapa tahu kebetulan ada orang yang sedang kalah taruhan. Pada kondisi seperti ini secara psikologis orang akan lebih mudah terprovokasi.

Pada sore hari jam 4 sampai menjelang maghrib asik juga untuk berburu. Saat itu secara psikologis orang-orang sudah terlalu lelah beraktifitas seharian dan lebih cenderung cuek untuk mengamati apa yang orang lain kerjakan. Saat terbaik adalah ketika saat gerimis atau hujan yang tak terlalu lebat. Sangat nyaman. Tak ada orang, hansip, ato polisi yang berniat patroli saat itu. Tambah lagi suara deru rintik hujan akan meredam dan mengkamuflase keributan yang terjadi.

Sebaiknya hindari beraksi pada malam minggu, karena orang-orang akan jauh lebih aktif pada malam minggu dan polisi lebih banyak berkeliaran pada saat itu. Mendingan manfaatkan malam minggumu untuk aktifitas lain, sambil tak lupa lakukan pemetaan sasaran.

Secara umum sebenarnya kita bisa melakukan perburuan hampir sepanjang hari. Yang penting adalah siapkan mental. Kalaupun ada orang yang melihat dan memergoki aksi kita paling-paling kita cuma sedikit ditegor dan ditanya basa-basi ini-itu. Asal dia tak terlihat seperti simpatisan partai, ajak ngobrol saja dia, mungkin malah akan membantu. Sepertinya orang-orang toh juga cukup muak ketika di sekeliling lingkungan rumah mereka dihiasi wajah orang-orang yang bahkan tak mereka kenal.

Lokasi
Untuk keamanan dan kenyamanan, pada saat jam sibuk kita bisa memilih lokasi-lokasi yang agak sepi. Seperti di pinggiran kota, di daerah jalan protokol, atau di perumahan yang orang-orangnya cuek. Untuk daerah ramai seperti di sepanjang jalan kota, pilih waktu-waktu yang lebih sepi dan memungkinkan. Pelajari sendiri situasi kota atau daerah sasaranmu.

Jika kebetulan ada hambatan atau gagal gara-gara salah membaca situasi, jangan khawatir, pasti selalu ada kesempatan ke dua dimana kita bisa balik lagi untuk menyelesaikannya.

Peralatan
Untuk berurusan dengan kawat, paku, dan kayu ato bambu kita akan banyak membutuhkan gunting kawat, catut dan batang besi untuk pengungkit. Juga siapkan gunting atau korek api dan lilin jika kita akan berurusan dengan tali-temali. Dan sebaiknya tak perlu berlebihan, tak usah bawa-bawa samurai, granat, atau sesajen. Bawa alat-alat semudah dan sepraktis mungkin agar tidak berat atau menyulitkan dan terpenting tidak mencurigakan. Jangan sampai satpam menghentikan langkah kita gara-gara tampilan dan bawaan kita mirip garong. O ya, mendingan jangan menyewa buldoser, jangan berlagak jadi satpol pp!!

Siapkan juga tas carrier sebagai wadah hasil buruan. Jika situasi tak memungkinkan tak perlu memaksa untuk langsung membersihkan kawat atau kotoran yang menempel pada hasil buruan. Yang penting begitu vinyl sudah terlepas dari pengaitnya segera lipat atau gulung dan bawa masuk ke ransel lalu cepat-cepat menyingkir dari area sebelum orang datang karena keributan saat berburu. Urusan bersih-bersih kawat yang masih membelit vinyl nanti saja diselesaikan.

Lebih asik juga jika membawa kendaraan. Jangkauan berburu bisa lebih luas dan mobilitas akan lebih mudah. Kendaraan motor bisa juga difungsikan sebagai tangga untuk menjangkau buruan yang terpasang terlalu tinggi.

Keselamatan
Jangan lupakan keselamatan. Karena kita akan berurusan dengan kawat berkarat dan kayu atau bambu tajam. Siapkan obat merah atau daun tanaman binahong untuk mencegah tetanus. Tentu saja memakai sarung tangan juga disarankan, jika kita termasuk orang yang sangat higienis dan paranoid kuman.

Ada baiknya kita juga menyiapkan nomor telepon teman atau orang yang bisa dihubungi yang lokasinya dekat dengan area perburuan yang telah ditentukan, ini jika misalnya sewaktu-waktu mengalami kecelakaan, apapun itu, yang sekiranya cukup parah dan butuh pertolongan darurat.

Nah, akhir kata, selamat berburu vinyl. Atas nama demokrasi (seperti yang sering mereka gembar-gemborkan), jika mereka menjual pesta, maka inilah salah satu cara kita untuk terlibat. Mari berdansa! Merdeka!!!


Note:
Kalo ada usulan tentang barang lain yang bisa dibuat dari vinyl atau spanduk, mau dong..! Atau kalo ada yang punya trik-trik rahasia buat mencopot vinyl dari pohon secara sekejap, hubungi email saya ya... Cheers.


ditulis oleh : planetmungil@hotmail.com

Jumat, 20 Februari 2009

BEBASKAN SAUDARA PARA PETANI PEJUANG LINGKUNGAN!

SOLIDARITAS: BEBASKAN SAUDARA PARA PETANI PEJUANG LINGKUNGAN!

Ancaman kehancuran lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang dilakukan oleh korporasi yang berselingkuh dengan negara ada di depan mata. Rencana pendirian pabrik semen di Pati, Jawa Tengah akhirnya banyak menimbulkan keresahan, ketegangan dan pertentangan. Hal tersebut timbul karena lokasi rencana pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara itu terdapat ratusan mata air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Penolakan proyek pabrik semen itu tidak hanya muncul dari para petani di Sukolilo, tetapi juga komunitas Sedulur Sikep atau biasa disebut dengan Wong Samin, komunitas adat lokal yang dikenal dalam masyarakat Jawa sangat arif dan pencinta lingkungan yang sederhana.


Namun upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan itu kini mendapat hadangan besar. Terkait dengan aksi penolakan rencana pembangunan pabrik semen tersebut kini ada sembilan orang petani sekaligus aktivis lingkungan dan komunitas adat yang ditahan.

Kronologis kejadiannya dimulai pada pagi hari Kamis, 22 Januari 2009 ketika warga ingin berdialog menanyakan kejelasan kepada Kepala Desa terkait dengan kabar penjualan tanah milik desa, yang setelah satu hari sebelumnya tak mendapat respon dari Kepala Desa hingga akhirnya melakukan aksi penancapan poster di tanah desa yang akan dijual dengan tulisan “Tanah Desa Adalah Milik Rakyat”. Karena pada pagi itu pun tidak kunjung ditemui oleh Kepala Desa, massa yang kecewa akhirnya melakukan pemblokadean pada empat buah mobil team survey PT Semen yang datang. Aksi berlangsung damai. Namun hingga sepuluh jam berlalu sampai malam hari tiba tuntutan dialog warga tak terpenuhi juga. Warga tetap duduk sabar menunggu.

Situasi memanas saat sekitar 250 personel Brimob dan Samapta bergerak ke arah warga yang duduk di sekitar mobil milik Semen Gresik. Mereka merangsek sambil meneriakkan cacian dan menyingkirkan warga yang mengelilingi mobil. Para polisi menendang, memukul,menginjak hingga melemparkan laki-laki dan perempuan yang tetap bertahan. Jeritan perempuan dan anak-anak yang panik terdengar. Aksi represifitas aparat tersebut akhirnya dilawan oleh warga. Anak-anak, ibu-ibu, pemuda hingga orangtua bersatupadu membalas kesewenang-wenangan yang dilakukan. Hujan batu terjadi disertai dengan tembakan dari polisi. Tiga belas polisi luka-luka dan tiga buah mobil milik PT Semen Gresik hancur. Puluhan warga, laki-laki dan perempuan, menjadi korban tindakan brutal aparat . Kamera video dan foto yang dibawa oleh kawan-kawan rusak berat.

Tanpa cukup bukti kuat polisi lalu menangkap sembilan warga. Mereka dijerat dengan tuduhan tindak kekerasan, penghasutan, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Sembilan warga yang ditahan di antaranya adalah: Kamsi (65), Sunarto (52), Sudarto (48), Sukarman (26), Sutikno (26), Gunarto (25), Purwanto (22), Mualim (21) dan Zainul (20).

Aksi brutal polisi terus berlanjut. Pasca penangkapan, represifitas berbentuk penyiksaan mental hingga fisik kembali dilakukan oleh polisi. dengan menghajar sembilan orang warga. Luka memar di bagian kepala, pelipis robek, hingga mata yang tidak bisa dipakai melek.

Saat ini ke sembilan petani pejuang lingkungan tersebut masih mendekam dalam tahanan Mapolda Semarang, menunggu sidang peradilan. Untuk itu, atas nama bumi tanah air dan perjuangan rakyat melawan tirani, kami menyerukan dan mengajak kawan-kawan seperjuangan di manapun berada untuk berpartisipasi aktif bersolidaritas:

Bebaskan segera sembilan orang saudara dari penjara!
Hentikan proyek PT. Semen Gresik di Jawa Tengah sekarang juga!


SOLIDARITY: FREE OUR ENVIROMENTAL FIGHTER FARMERS!

Once again we have to face another obstacle in stopping the corporation from destroying our environment, cultural and economy. Together with the plan to built the cement factory in Pati, Central Java that caused lots of conflicts and problems among local people because the factory will be built on the North Kendeng mountain where are most rivers and lakes are located, the authorities has arrested nine farmers and activists that join the protest.

This rejection towards the cement factory it's not only come from Sukolilo's farmers but also Sedulur Sikep community or used to be called Wong Samin, the local community being known in Javanese society as very wise and humble environment fighters.

But this effort now facing an obstacle related with the arrests of nine farmers and environment activists during their protest to close this cement factory.

The chronology of the event start Thursday morning, 22 January 2009 when the people would like to have a dialog with their village authority on the news of the selling of their land to the Semen Gresik, one day after they made posters with the statement that Our Land Belongs To Us because of zero response from their village authority regarding this news. Because the authority seemed to refuse to meet them, they decide to block and closed the road from the four survey cars from Semen Gresik that arrived that day. But then when the night comes and there is still no news from the authority for having that dialog with them, those people just sit and wait patiently without making any violence acts at all.

The situation got intense when there were 250 Brimob and Samapta suddenly move towards the people that sit around the Semen Gresik's cars. They scream and swearing towards the people while trying to make them move away from those cars violently. They kick, hit, step on and throw woman and men that insist to stay. Women's and children screaming in panicked. Then people started to fight back. Children, women, men and even elders throwing rocks towards those officers while the sound of gunshots on the air. Thirteen police officers wounded and three Semen Gresik's cars destroyed. Many people, man and women, being victims of those police's brutality. Video camera and digital camera belongs to our friends are also heavily damaged.
Without having a strong evidences the police then arrest those nine people. They are under arrest with accusation of violence, persuasion and doing unpleasant activities. Among those nine people that being arrested there were Kamsi (65 yo), Sunarto (52 yo), Sudarto (48 yo), Sukarman (26 yo), Sutikno (26 yo), Gunarto (25 yo), Purwanto (22 yo), Mualim (21 yo) and Zainul (20 yo).

These police brutality actions are still continuing after the arrest by physical and mental repressions by hitting those nine farmers on their heads, eyes and other parts of their bodies.

At present, those nine farmers are still under arrest at the Semarang Police Station, in central Java, waiting for their further trial. Therefore, in the name of our land and people's fight against those tyrants, we are calling out all of our friends out there to be actively involved on this solidarity effort.

Release our nine brothers from prison as soon as possible!
Stop the Semen Gresik project at Central Java right away!


dari pegunungan kendeng

sekar jati


contact : supersamin_inc@yahoo.com

Selasa, 17 Februari 2009

Jangan Hanya Golput, Ciptakan Organisasi Swakelola

Apakah organisasi swakelola itu?
Apakah sebuah gerakan itu?
Apakah susah membuat suatu pergerakan?
Apakah harus melalui sebuah rapat rahasia dan tertutup?

Organisasi swakelola berarti kesepakatan, kemerdekaan masing-masing individu dan organisasi organisasi kecil secara keseluruhan mengenai ikhtiar kolektif dan konsensus, dalam rangka mencapai tujuan bersama.


Sambungan dari Issue sebelumnya
Jangan Hanya Golput

Semua pergerakan dimulai dari pemikiran. Tidak ada yang dapat menghentikan pemikiran kita
Tidak diperlukan sebuah rapat rahasia untuk memulai pergerakan.
Tidak kita sudah sering melakukan sebuah pengorganisasian swakelola. Hanya saja kita tidak memberi makna lebih pada kegiatan tersebut
Kita telah terbiasa melakukan kerja bakti, kita terbiasa melakukan siskamling
Coba pikirkan ini apakah para satpam atau hansip yang kita bayar dengan uang iuran warga menjaga property kita dengan setulus hati dan rela mati-matian untuk menjaganya? Tentu tidak mereka menjaga property kita karena gaji yang diperolehnya tiap bulan. Bagaimana jika kita yang melakukan penjagaan swadaya sendiri seperti siskamling? Tentu kita akan menjaga property dengan sepenuh hati. Karena kita menjaga barang milik kita sendiri. Hal ini berlaku juga dengan kerja bakti
Apa yang mendorong kita melakukannya? Sebuah kebutuhan. Suatu dorongan yang menjadi bahan bakar perlawanan kita.
Dan tentunya dari contoh yang sederhana ini kita dapat mengembangkan menjadi organisasi swakelola otonom yang lebih besar dan kompleks seperti organisasi produksi pekerja dan buruh tani, koperasi buruh dan buruh tani, dan lainnya

Dan sekali lagi negara adalah halangan utama, karena dia merampas segala hak massa dan mencabut mereka dari segala fungsi kehidupan sosial dan ekonomi. Negara harus lenyap, bukan di suatu hari nanti, bukan pada masyarakat masa depan nanti. Ia mesti dihancurkan sekarang. Negara harus dihancurkan dari pikiran kalian mulai sekarang. Dan tidak boleh dipugar lagi atau dikembalikan walau dengan menyamar menjadi bentuk apapun. Di tempatnya, sebuah sistem swakelola mandiri organisasi pekerja dari produsen dan konsumen, disatukan berbasis secara federatif. Sistem ini akan mengusur baik organisasi kekuasaan Negara dan kediktatoran dari suatu partai dari jenis apapun.

Apakah hidup kita sekomplek dan serumit yang kalian bayangkan. Sehingga kita harus membutuhkan Negara untuk mengurusi sebagian hidup kita. Tidak hidup kita sungguh sangat sederhana. Kita tidak membutuhkan calaeg yang justru mengkorupsi uang pajak kalian. Kita tidak butuh polisi yang tidak mengamankan kalian yang justru uang pajak kalian tersebut balik memukuli dan mengkorup kalian.
Apakah suku baduy membutuhkan pemerinthan untuk mengatur kehidupannya. Yang dengan tidak adanya pemerintah dia tidak akan dapat melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Dan jawabannya tentu adalah TIDAK. Tidak saya tidak mengajak anda semua untuk menjadi primitivis tapi menyadarkan bahwa sebenarnya kita tidak membutuhkan pemerintah. Yang justru sangat tidak produktif, ya pemerintah adalah salah satu organisasi yang kontra produktif



Tentang sebuah gerakan

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

Wiji Thukul,1989



Puisi dari Wiji Thukul, Aku ingin jadi peluru. 2004
Sebagian isi dicukil dari Anarkismo.net (Platform Organisasi Komunis Libertarian).
ditulis oleh : rexsistance

Jangan Hanya Golput

Kenapa orang-orang harus dihimbau untuk memilih?. Sebab kita mengetahui pemilu adalah omong kosong. “Demokrasi” perwakilan hanyalah memelihara ilusi keikutsertaan dan persetujuan kita. Ikut pemilu bukanlah hal yang baik. Kalian akan mendapatkan suara, namun apakah itu akan merubah suatu hal yang mendasar? Kita tidak hanya membutuhkan suara yang kita butuhkan adalah aksi langsung.

Apakah kamu mau dijajah?. Apakah kamu mau bergabung dengan partai yang memanfaatkan kesengsaraan kita untuk mengganti penguasa negara?. Partai hanyalah memecah belah dan memisahkan. Apabila gambar dan nomor berbeda maka menimbulkan pertikaian. Partai memisahkan antara wakil rakyat dengan rakyat yang telah memberikan suara padanya. Tidak ada lagi kepentingan rakyat yang ada hanyalah kepentingan partai dan diri sendiri (wakil rakyat). Tidak ada lagi keterwakilan rakyat. Tidak ada lagi perjuangan untuk rakyatyang diwakilinya. Dan apabila wakil rakyat yang telah kita pilih sudah melekat pada negara maka tidak akan punya daya untuk melawan dan memperjuangkan hak kita . Karena status yang disandangnya membutuhkan perjuangan. Dan mereka (wakil rakyat) cenderung bergabung dengan sistem yang telah ada. Jabatan yang hanya mungkin diperoleh bagi mereka yang mendukung institusi yang mapan cenderung mendislasi keputusan. Kecenderungan ini semakin buruk ketika jabatan tersebut dihubungkan dengan pertimbangan sosial dan kesempatan akan kekuasaan yang picik.

Dekontruksi demokrasi. siapa bilang dalam demokrasi yang terbanyak yang menang, Contohnya begini saat kalian menjadi golput dan prosentase golput lebih dari 50 persen apakah golput yang memenangkan pemilu. Tentu tidak. Menjadi golput saja bukanlah suatu tujuan akhir tapi permulaan dari sebuah perlawanan yang kamu lakukan.
Jika kamu menginginkan masyarakat tanpa penindasan aksi langsung adalah satu-satunya jalan.

...

Hari ini aku akan bersiul-siul

pada hari coblosan nanti
aku akan masuk ke dapur
akan kujumlah gelas dan sendokku
apakah jumlahnya bertambah
setelah pemilu bubar?

pemilu o pilu pilu

bila hari coblosan nanti tiba
aku tak akan pergi ke mana-mana
aku ingin dirumah saja
mengisi jambangan
atau menanak nasi

pemilu o pilu pilu

nanti kan kuceritakan kepadamu
apakah jadi penuh karung beras
minyak tanah
gula
atau bumbu masak
setelah suaramu dihitung
dan pesta demokrasi dinyatakan usai
nanti akan aku ceritakan kepadamu

pemilu o pilu pilu

bila tiba harinya
hari coblosan
aku tak akan ikut berbondong-bondong
ke tempat pemungutan suara
aku tidak akan datang
aku tidak akan menyerahkan suaraku
aku tidak akan ikutan masuk
ke dalam kotak suara itu
pemilu
o pilu pilu
aku akan bersiul-siul
memproklamasikan kemerdekaanku

aku akan mandi
dan bernyanyi sekeras-kerasnya
pemilu o pilu pilu

hari itu aku akan megibarkan hakku
tinggi tinggi
akan kurayakan dengan nasi hangat
sambel bawang dan ikan asin

pemilu
o pilu pilu
sambel bawang dan ikan asin

Wiji thukul



Bersambung ke …
Jangan Hanya Golput, Ciptakan Organisasi Swakelola
ditulis oleh : rexsistance

Kamis, 15 Januari 2009

Wawancara dengan Soesilo Toer

(ini wawancara dengan Pak Soesilo Toer, adik dari Pramoedya Ananta Toer, terkait dengan basis ekonomi alternatif)


INTERVIEW

Soesilo Toer: Saya Bersyukur Hanya Sebentar Jadi Pegawai Negeri


Bapak dengan seorang anak ini adalah anak ke-7 dari 9 bersaudara, keturunan Mas Toer, kepala sekolah Institut Boedi Oetomo (IBO) di Blora. Beliau lahir di Jetis, Blora, 17 Februari 1937 dengan nama Soesilo Toer.

Tahun 1950, Soes kecil menamatkan sekolah dasarnya. Tahun 1957 menamatkan SMA, kemudian melanjutkan ke Akademi Keuangan di Bogor.

Dari kota hujan tersebut dia memutuskan untuk meneruskan sekolah di Rusia, hingga pada tahun 1967 tamat dari Universitas Lumumba dengan gelar MSc. Karir pendidikan Soes terus menanjak dengan menamatkan pendidikan di Institut Plekhanov pada tahun 1971 dengan gelar DR.PhD.

Seperti jenjang pendidikan yang dia tekuni, bidang kerja yang dilakukan Soes juga sangat beragam. Soes pernah bekerja di Interpress sebagai korektor, Redaktur Majalah IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), Dewan Pengawas Keuangan di Bogor, Perusahaan Marga Bhakti –sebuah perusahaan Export-Import Belanda yang dinasionalisasi. Selain itu dia pernah kerja di APN (Agen Berita dan Penerbitan) dan radio Moskwa. Tak ketinggalan dengan kerja-kerja sosial, lelaki bercambang ini juga pernah ikut membangun pembangkit tenaga listrik terbesar di Rusia, di kota Bratsk, Siberia –sebuah kota yang terletak di tepi Sungai Angara, kerja pertanian di Altai, membetulkan rel kereta api Trans-Siberia di Irkutsk dan pertanian kolektif di Moldavia –sebuah Republik dekat Ukraina.

Tahun 1973 Soesilo kembali ke tanah kelahirannya: Indonesia. Namun, karena perbedaan pandangan politik saat itu, tahun 1973-1978 oleh rezim militeristik Orde Baru dia dipaksa merasakan pengap dan dinginnya penjara di Kebayoran Lama. Nasib baik masih berpihak padanya waktu tahun 1986-1990 diangkat menjadi dosen tingkat Lektor Madya di Universitas Tujuhbelas Agustus-Jakarta. Karirnya terus merangkak ketika tahun 1988 menjadi Rektor Universitas Bhakti Pertiwi di Bekasi dan tahun 1990-2003 masuk dalam jajaran Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Perguruan Rakyat di Jakarta.

Saat ini, di usia 71 tahun, beliau bersama istrinya tinggal di Blora, mengelola perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Blora) dengan berkebun sebagai aktifitas kerja lainnya.

Berikut ini petikan wawancaranya dengan Eko Arifianto di rumah bersejarah yang beralamatkan di Jl. Sumbawa 40 Jetis, Blora.


Bisa diceritakan sejarah singkat berdirinya PATABA?

Perpustakaan PATABA sebenarnya tadinya mau didirikan bertiga: saya, Pak Koesalah dan Pak Pram. Tapi karena Pak Pram mendadak meninggal, akhirnya saya ambil alih dan langsung dengan buku-buku yang saya punya saya dirikan PATABA, lahir bersamaan dengan meninggalnya Pak Pram, tanggal 30 April 2006.


Apa visi dan misi dari PATABA?

Visi yang utama adalah perpustakaan desa. Sedangkan misinya untuk mencerdaskan lingkungan, terutama masyarakat RT.01 RW.01 Kelurahan Jetis sini. Tapi kemudian justru diminati oleh banyak pihak, termasuk orang dari luar Blora, antara lain Malang, Semarang, Jogja, Bandung, Palembang, Pati,.. kemarin juga dari Kalimantan. Ya, mungkin karena nama Pram, kalau nama saya sendiri kan tidak ada yang kenal..


Koleksi buku apa saja yang ada di PATABA?

Ada Ensiklopedi Britannica, buku-buku bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, dll. Kalau dari segi ilmu hampir semua ilmu ada. Filsafat, Sejarah, Hukum, Sosial, Politik, Budaya, dan lain-lain.


Tiap perpustakaan mempunyai kelebihan. Apa yang membedakan perpustakaan PATABA dengan perpustakaan lainnya?

Pertama: Karena tidak ada katalog, para peminjam mencari sendiri buku-buku yang dibutuhkan. Sengaja disederhanakan, supaya mereka yang punya minat baca datang mencari buku-buku yang disukai. Kedua: Rumah yang digunakan Pram dulu ini bisa menjadikan kesakralan tersendiri bagi para pengunjung. Ketiga: Gratis, hehe, malah kalau ada makanan atau minuman ya disuguhin.. dan kalau ada tamu dari luar kota ya bisa nginep di sini. Tapi ada juga kekurangannya, yaitu kurang kontrol dan banyak buku yang tidak kembali!


Bagaimana respon masyarakat dan institusi pemerintah setempat?

Banyak masyarakat yang datang; dari anak SD hingga mahasiswa, doktor, pendeta dan peneliti. Respon pemerintah setempat belum ada. Rencana mau bikin profil tentang PATABA, tapi hingga sekarang belum ada kelanjutannya.


Dari mana buku-buku tersebut diperoleh?

Ada buku-buku sumbangan dari Kunarto Marjuki dari LPAW, dari SuperSamin, Sekolah Katholik Blora, agen majalah Bintang, Universitas Airlangga, SMPN 5 Blora, pengarang Jawa Hoery, Gunawan Budi Susanto, Djoko Pitono, Johan Khoirul Zaman, M. Akrom Unjiya, Ajip Rosidi, termasuk sumbangan dari bapak Suparwadi, Astuti A. Toer, dan lain-lain. Yang utama koleksi buku Pak Koesalah..


Berapa banyak jumlah buku yang ada di PATABA sekarang ini?

Kurang lebih semua ada 3000 buku lebih.


Bagaimana proses sirkulasi buku di PATABA?

Untuk pengunjung yang baru datang, saya sediakan “Buku Tamu” agar saya kenal nama dan alamatnya. Kalau untuk peminjam buku saya tulis di “Buku Khusus”, waktu peminjaman 1 minggu.. 2 minggu..


Bagaimana dengan pembiayaan dan manajemennya?

Kadang ada yang dengan sukarela membantu.. 50 ribu… 100 ribu, dibelikan lakban dan isolasi untuk perawatan buku-buku. Panitia 100 Tahun Pers Nasional dulu juga pernah membantu 500 ribu, yang saya gunakan membuat acara “2 Tahun Meninggalnya Pram”. Untuk membuat makanan, minuman, poster, pamplet dan lain-lain. Hasil kebun juga banyak membantu keberadaan dan pengelolaan perpustakaan. Ada 20 jenis pohon yang nantinya menghasilkan buah. Pisang, mangga, asem, rambutan, nangka, durian, jambu, alpukat… Apalagi nanti kalau pohon jatinya sudah besar akan menjadi basis ekonomi yang kuat di kemudian hari.


Bagaimana Anda membagi waktu antara kerja, keluarga dan mengurusi perpustakaan?

Bangun tidur.. membantu istri di dapur… nyiramin tanaman… bakar sampah… belah kayu bakar… ke pasar… nunggu perpustakaan… tidur… kliping… baca koran... baca buku... Tak ada timetable. Santai.


Menurut Anda, “Basis Ekonomi Alternatif” yang ideal itu seperti apa?

Satu: Mandiri. Niat dan tekad untuk mandiri! Semua ide yang konstruktif dan positif cuma tiga persen, sisanya adalah keringat! Saya tidak malu mengambil sampah dan kotoran kambing dari tetangga. Saya bakar, abunya saya sebarin ke sekitar tanaman. Sekurus-kurusnya tanah kalau dirawat akan menghasilkan. Masyarakat kebanyakan masih melihat dengan kacamata berbeda, padahal keberhasilan hidup bukan jatuh dari langit. Dua: Bidang yang bisa menghidupi. Kalau mau jualan, silahkan.. Pisang goreng? Silahkan! Modalnya tidak banyak... Yang penting jalan dulu… Berbuat kesalahan itu manusiawi.. Kesandung itu biasa, dan menyadari diri sendiri itu dewasa. Tiga: Kerja keras. Keringat! Kita tidak boleh menyerah pada keadaan! Jangan lewatkan kesempatan, itu kebodohan! Semua kerja positif itu mulia!


Punya pengarang favorit beserta karyanya yang cukup berpengaruh dalam kehidupan Anda?

Trisno Yuwono, seorang sersan, penulis cerpen. Orangnya agak gila, sadis, suka menyiksa istrinya. Syukurlah istrinya seorang masokis –dia menyukai perlakuan sadis suaminya. Tapi karirnya meredup setelah memecahkan rekor MURI sebagai penerjun payung sebanyak seribu kali! Pramoedya, karya “Bumi Manusia” dalam tetralogi Pulau Burunya. Riyono Pratikto; tapi saya kurang suka lagi ketika dia patah semangat waktu diindikasi G30S; jadi cengeng. Mochtar Lubis dengan karyanya “Jalan Tak Ada Ujung” dan Mangunwijaya. Kalau pengarang luar negeri Dostoyevsky, Ostrovsky karyanya “Bagaimana Baja Ditempa”, Ernest Hemingway “The Old Man and The Sea”, Eiji Yoshikawa “Musashi”.


Apa aktifitas PATABA beberapa waktu belakangan ini?

Belakangan PATABA bukan cuma sibuk dengan perpustakaan, tetapi juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Rumah Jalan. Sumbawa 40 terbuka bagi kegiatan berbagai LSM/ kelompok sosial yang ikut dalam Komunitas Pasang Surut, biasa disebut dengan Pertemuan 30-an. Komunitas ini terbentuk setelah peringatan 2 tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer tanggal 30 April 2008 lalu. Komunitas ini aktif dalam pelestarian lingkungan, termasuk Kali Lusi. PATABA juga tempat pertemuan LESM Jarak, tapi belakangan agak surut.


Bagaimana Anda menyikapi perkembangan bangsa sekarang?

Di era Orde Lama rasanya bangsa ini pernah dinilai sebagai mercusuar di Asia, Afrika dan Amerika Latin, juga di banyak Negara Barat. Tapi lahirnya Orde Baru merusak nilai-nilai positif tersebut. Jatuhnya Orde Baru dan era reformasi sampai detik ini belum berhasil mengembalikan citra Orde Lama. Bangsa terus dirundung oleh berbagai pengeroposan dari korupsi, konflik etnis, hegemoni keyakinan, rusaknya tatanan otonomi daerah, semua itu menunjukkan bahwa bangsa ini belum juga dewasa, padahal sudah lebih 60 tahun merdeka. Politik bukan sebagai sarana pemahaman mengelola atau membela negara tetapi sebagai ajang perebutan kedudukan dan asset negara. Mereka buta akan sejarahnya sendiri. Tidak tahu bagaimana cara merubahnya, yang jelas harus ada tokoh yang bisa memberi contoh seperti India dengan Gandhi-nya, Vietnam dengan Paman Ho-nya, atau sekalian tokoh yang kejam karena sejarah membuktikan itu di negeri ini!


Hehe.. Bisa diceritakan tentang rencana PATABA yang akan datang?

Rencana saya menyusun perpustakaan yang akan dikelola secara profesional, dengan katalog buku-bukunya. Tapi susah cari orang idealis sekarang! Sulit untuk mempercayai orang! Perpustakaan sebagai tempat orang-orang belajar. Kalau orang kaya.. berhasil.. itu biasa, tapi kalau orang miskin, cacat.. berhasil.. itu luar biasa! Pendidikan keluarga lebih penting daripada pendidikan formal. Saya menolak teori dan test IQ. Belajar, bekerja, untuk menjadi manusia yang bebas merdeka, bermartabat dan punya harga diri. Kalau kata Pram: ”Jangan pernah minta-minta!” Saya bersyukur hanya sebentar jadi pegawai negeri, tidak punya banyak dosa yang menyengsarakan Rakyat!


Oke, mungkin ada yang ingin disampaikan kepada para pembaca?

Saya berat untuk menasehati orang, saya lebih suka dinasehatin –soalnya nasehat saya tidak manjur! Saya anggap diri saya orang yang gagal!



Untuk informasi lebih lanjut tentang PATABA, hubungi:
Soesilo Toer
Jl. Sumbawa 40. Jetis. Blora - Jawa Tengah
Telp. (0296) 5100233

Foto: Eko Arifianto