"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Rabu, 25 Mei 2011

Report Acara Nonton Video Anti-Globalisasi








hujan...












sumpah.. hujan...










basah..

menderas...









masih hujan....

hujan menggila...











hujan.. jangan marah...
(lg inget ERK.. :p)
















masih saja hujan....














horeee.. terang terang!!!!

pas acara dah mau bubar.....

Rabu, 11 Mei 2011

Review: Consuming Kids (Proyek Pemutaran Film Anti Kapitalisme Global)

Sutradara : Adriana Barbaro & Jeremy Earp
Produksi : Media Education Foundation
Tahun : 2008
Durasi : 67 menit
Bahasa : Inggris
Subtitle : Indonesia

Amerika mengalami ledakan populasi sangat besar di pertengahan abad ini, hingga kini mencapai 52 juta anak yang berusia di bawah 12 tahun. Dan tak perlu diragukan lagi bahwa bagi para pebisnis, anak-anak ini merupakan lahan paling subur untuk membangun imperium pasar.

Film ini mengupas bisnis perdagangan yang mentransformasikan dunia anak-anak menjadi komoditi-komoditi yang mampu menghasilkan profit maksimum. Jika ditelisik lebih mendalam, daya beli anak-anak semakin meningkat, jumlah pengeluaran yang mereka belanjakan mulai dari pakaian, mainan, musik, video games hingga piranti-piranti elektronik mencapai lebih dari 40 juta dollar setiap tahun. Namun, mungkin alasan yang paling menggoda minat para pemasar maupun pengiklan adalah jumlah yang dibelanjakan oleh orang dewasa untuk anak-anak ini secara langsung dapat menyodok angka sebesar 700 juta dollar, setara dengan total GDP dari 115 negara dan wilayah miskin di dunia. Para pebisnis ini menyadari bahwa keutamaan pasar anak-anak ini terletak pada dua hal pokok: kekuatan dan pengaruh untuk membeli.

Ada banyak sekali merek-merek bermunculan di hadapan anak-anak. Mereka dibombardir ribuan iklan komersial setiap hari, setiap bulan. Bahkan anak-anak ini menjadi model bagi iklan-iklan tersebut, dan inilah bukti nyata bahwa anak-anak dapat dengan mudah menarik minat teman-temannya atau anak-anak lainnya yang menonton televisi agar membeli produk yang sama.

Dalam film ini disajikan beberapa potongan iklan-iklan tersebut, seperti iklan otomotif yang menampilkan adegan seorang anak perempuan berdiri di depan kelas dan terlihat seperti akan melakukan tanya jawab setelah presentasi pelajaran namun ternyata ia sedang mempromosikan mobil keluaran terbaru kemudian membuat teman-teman sekelasnya berebut untuk naik dan merasakan langsung kecanggihan teknologi di dalamnya. Anak-anak yang berpose memamerkan pakaian berharga ratusan dollar hasil rancangan desainer kondang seperti Calvin Klein, Dior atau Ralph Lauren. Atau adegan seorang anak lelaki yang mengamuk kemudian menangis hingga bergulung-gulung di lantai supermarket karena sang ayah tidak mau membelikannya sebungkus snack yang ia inginkan. Akibatnya orang-orang dewasa di sekitarnya menoleh ke arah sang ayah dengan muka masam.

Membuat para orang tua nampak menyedihkan.

Tetapi bukan berarti mereka murni tidak bersalah, realita justru menunjukkan bahwa sekarang ini banyak orang-orang dewasa yang juga memberikan pelajaran kepada anak-anaknya bahwa “hidup adalah tentang membeli, hidup adalah tentang mendapatkan sesuatu (barang).

Banyak sekali dari produk-produk ini yang sesungguhnya tidak memberikan manfaat atau esensi apapun, bahkan tidak tergantung dari rasa atau kegunaannya, tetapi lebih dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberikan status, nilai atau posisi sosial. Lihatlah bagaimana sepanjang hari anak-anak selalu disodori dengan slogan-slogan iklan yang mendorong mereka untuk sering berbelanja.

Agar tampak cool, pakailah sepatu Airators,

makanlah Cheetos dan minum Pepsi!

Salah seorang kontributor dalam film ini, Velma LaPoint, mengemukakan bahwa ada sebuah mantra yang berlaku dalam masyarakat Amerika:

Kamu adalah apa yang kamu punya, kamu adalah apa yang kamu beli,

kamu adalah apa yang kamu dapatkan.

Dan jika kamu tidak memilikinya, maka kamu bukanlah apa-apa.

Kamu tidak menghargai dirimu sendiri.

Kegilaan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Amerika, sedari kecil anak-anak di seluruh penjuru dunia telah mengalami teror serupa. Menjadi hal yang biasa saat anak-anak merasa tidak percaya diri karena tidak memakai produk-produk yang booming di pasaran. Nilai-nilai semacam inilah yang lumrah ditanamkan, bahwa memiliki produk yang terkenal dapat membuat kita bahagia.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan memiliki barang-barang bagus, tetapi juga jangan melakukan kesalahan untuk membuatnya menjadi standar kebahagiaan atau kepuasan.

Kapitalisme telah berhasil merasuki setiap sendi keseharian manusia, tak luput anak-anak. Ajang komersialisasi dunia anak-anak telah menembus kehidupan mereka, secara mendalam telah menyusup dan mendekonstruksi sisi psikologis mereka. Selalu digembalakan oleh selera pasar, orang-orang dewasa yang memiliki pengaruh dan otoritas terhadapnya, para pelaku industri, selebritas, termasuk para pengajar serta orang tua mereka sendiri. Kapitalisme telah menyusup ke dalam banyak rupa, melalui kelucuan tokoh-tokoh animasi Walt Disney, figur-figur Nickelodeon yang aneh dan eksentrik, kegagahan Kura-Kura Ninja dan pasukan robot Transformers, kedahsyatan perang Star Wars hingga sosok-sosok yang sesungguhnya nampak menyeramkan seperti Chewbacca dan Hulk. Semuanya termanifestasikan ke dalam bermacam-macam produk, seperti pakaian, boneka, gelas, mangkok, piring, buku, tas, pernak-pernik, dan banyak lagi lainnya.

Anak-anak ‘dikonsumsi’ untuk menciptakan komoditi-komoditi berdaya saing yang kemudian ditawarkan lagi kepada mereka. Semakin menunjukkan dengan jelas bahwa anak-anak kita sekarang ‘dibesarkan’ oleh perusahaan.

Proyek Pemutaran Film Anti Kapitalisme Global


Lihatlah!

Betapa banyak barang yang diperlukan

orang Athena untuk hidup!

— Socrates

Perkembangan dunia yang dinamis saat ini justru menuju sebuah kondisi yang kian menyempit. Dunia tak ubahnya sebuah desa global dimana segala macam informasi, teknologi, kebudayaan dan modal bergerak begitu cepat melewati batas-batas negara. Segala hal kini semakin mudah diakses, tak lagi membutuhkan waktu yang lama. Para pendukung globalisasi beranggapan bahwa sistem ini merupakan pemicu meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga dunia. Namun, pada kenyataannya globalisasi tidak hanya membawa kemajuan tetapi juga memunculkan ekses-ekses yang tidak menguntungkan. Globalisasi ternyata membawa dunia ke dalam kondisi yang tidak pasti, penuh dengan ketimpangan dan bersifat hegemonik. Salah satu dampak dari globalisasi adalah munculnya budaya konsumtif dan masyarakat konsumen yang eksistensinya dapat diukur dari seberapa banyak barang yang dikonsumsi secara terus menerus hanya berdasarkan tanda maupun status sosial yang tersimpan didalamnya.

Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dapat dilihat dari diferensiasi komoditi yang dikonsumsi. Mereka, dengan budaya konsumtif yang dipegangnya, hanya melihat tujuan dan totalitas hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi. Masyarakat konsumen tak lagi membeli komoditi untuk kebutuhan bertahan hidup melainkan berdasarkan citra yang digambarkan dalam iklan-iklan demi peningkatan status sosialnya ketika membeli sebuah produk. Mereka terjebak dalam arus konsumerisme yang kemudian meningkat semakin parah menjadi pola konsumtivisme.

Konsumerisme adalah tatanan sosial dan ekonomi yang secara sistematis memacu keinginan masyarakat untuk terus menerus membeli barang dan jasa dalam jumlah yang semakin besar. Sedangkan konsumtivisme adalah kondisi yang secara sadar dipilih oleh masyarakat konsumen untuk terus menerus mengkonsumsi. Ketika masyarakat konsumen semakin berlebihan dalam mengonsumsi maka pada taraf itulah mereka cenderung berubah menjadi lebih konsumtif. Ketika masyarakat konsumen semakin konsumtif maka cenderung teralienasi dari realitas kehidupan yang sesungguhnya hanya mengenai masalah bertahan hidup.

Bagi kami, peradaban modern yang berbasis pada pembangunan masyarakat konsumen ibarat sesosok “Monster Leviathan[1]”, yaitu kekuatan raksasa yang hegemonik dan berpotensi menghancurkan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Masyarakat konsumen tak lagi hidup dengan bahagia tetapi jatuh dalam kesemuan sekaligus kesuraman, karena semakin jauh dari makna relasi sosial yang egaliter. Mereka terus menerus diteror untuk membeli dan terus membeli. Dan untuk itu mereka harus bekerja keras sepanjang hari. Tak ubahnya seperti budak yang bekerja mati-matian kemudian menghabiskan uang hasil jerih payahnya untuk membeli berbagai macam barang. Apabila budak-budak jaman dahulu bekerja karena terpaksa, budak-budak modern justru bekerja dengan sukarela demi melahap produk-produk yang diciptakan lewat imaji-imaji semu. Mereka bekerja, mengonsumsi kemudian mati.

Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang sakit. Dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme global). Masyarakat konsumen dibentuk untuk terus menerus mengonsumsi tanpa batas. Manusia konsumen adalah manusia pemangsa. Menghancurkan alam, lingkungan dan tatanan sosial budaya. Semua hanya berkisar dalam arus berproduksi dan mengonsumsi. Manusia modern adalah manusia budak, yang bekerja keras untuk menjalankan sistem demi keuntungan segelintir manusia yang serakah.

Kami menolak menjadi budak yang bekerja keras demi memuaskan hasrat untuk mengonsumsi tanpa batas. Kami menolak kecenderungan untuk menjadi masyarakat konsumen. Kami memilih untuk mengonsumsi secara minimalis, yaitu sebatas pada komoditi yang benar-benar kami butuhkan. Kami memilih untuk menentukan sendiri apa yang kami butuhkan, tanpa terdistorsi dari imaji-imaji yang diciptakan untuk membuat manusia tunduk dan menyerah pada nasibnya. Kami menolak menjadi budak yang dengan sukarela menyerahkan hidupnya untuk diperas sampai kisut dan kemudian tercampakkan bagai sampah oleh sistem dominan yang hanya mementingkan keuntungan segelintir manusia yang memiliki kelebihan modal daripada manusia lainnya.

Proyek pemutaran film anti masyarakat konsumen ini adalah bentuk keengganan kami untuk menjadi bagian dari masyarakat modern yang konsumtif. Kami ingin berbagi keresahan dengan banyak orang bahwa di sekitar kita terdapat “Monster Leviathan” yang akan merampas kehidupan manusia. Sistem dominasi hari ini bukanlah sistem yang muncul tiba-tiba tetapi merupakan sistem yang terus menerus berkembang menjadi lebih kuat.

Perlawanan tak bisa direalisasikan hanya dengan menggerutu, mengkritik, berdiskusi sambil menguliti teori-teori revolusioner. Tetapi butuh aksi yang terus menerus dan makin meluas. Bagaimana melawan raksasa yang besar, sedangkan kita adalah individu-individu kecil yang tersebar dimana-mana. Butuh ledakan-ledakan kecil untuk menciptakan retakan dimana-mana dan secara perlahan mampu membakar sang “Monster Leviathan”. Hanya dengan api yang besar ia dapat dikalahkan. Ia bukan hanya harus ditaklukkan, tapi untuk dihancurkan.

Mari kita nyalakan api dimana-mana!



[1] Di dalam Alkitab (Injil), terdapat sebuah istilah yaitu “Leviathan”, digambarkan sebagai sesosok monster laut raksasa. Thomas Hobbes juga pernah mengilustrasikan Leviathan sebagai fenomena dimana negara menjadi ekspresi terluhur dari kekuatan yang demikian agung. Keduanya menyajikan interpretasi yang begitu menakutkan. Di lain pihak, istilah Leviathan juga dipakai oleh Fredy Perlman untuk menggambarkan “peradaban” (dalam bukunya “Against His-story, Against Leviathan”), dalam artian sesuatu yang memiliki kekuatan dahsyat dan cenderung destruktif.

Minggu, 01 Mei 2011

[Sekilas Sejarah] KORPORATOKRASI di INDONESIA

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Korporasi adalah perusahaan atau badan usaha yang sangat besar, atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai sebuah perusahaan besar. Korporasi merupakan subjek hukum buatan yang memiliki beberapa ciri khusus antara lain:

  1. Memiliki kedudukan hukum khusus.
  2. Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas.
  3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
  4. Dimiliki oleh pemegang saham, dimana tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.

Berdasarkan terminologi di atas, nampak bahwa korporasi didirikan hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan kapital semata.

Seiring dengan berkembangnya sistem globalisasi saat ini, korporasi tak hanya bergerak di dalam negara tapi sudah bergerak lintas negara, melewati batas-batas negara. Negara-negara yang terikat dalam pakta-pakta perjanjian perdagangan bebas (free trade) haruslah membuka selebar-lebarnya pintu perekonomiannya bagi masuknya investasi asing. Inilah peluang bagi korporasi-korporasi besar untuk menanamkan modal dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui pendirian perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak sebagai anak perusahaan, bekerja sebagai kaki-tangan berdasarkan komando dari korporasi tersebut.

Menguatnya peran korporasi dalam perekonomian dunia saat ini merupakan bentuk liberalisme gaya baru atau lebih dikenal dengan istilah Neo-Liberalisme. Menurut Noam Chomsky, neoliberalisme ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi (stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi), pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan. Bagi para penganut neoliberal, peran serta negara dan pemerintah dalam mengontrol sumber daya alam maupun ekonomi haruslah dikurangi seminimal mungkin agar pasar bebas dan persaingan bebaslah yang dapat leluasa mengaturnya. Negara juga dituntut untuk melakukan privatisasi dengan menjual semua perusahaan-perusahaan negara yang mengatur hajat hidup seluruh rakyat, kepada investor asing. Alih-alih mengembangkan pola kehidupan sosial yamg mengedepankan kerjasama, paham ini mengedepankan tanggung jawab invidualisme, dimana setiap individu dituntut untuk selalu berlari dalam suasana berkompetisi untuk memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha dan caranya sendiri.

Kebijakan neoliberal merupakan prasyarat untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga finansial internasional seperti IMF dan World Bank. Agar sebuah negara mulus mendapatkan bantuan keuangan untuk meningkatkan kekuatan ekonominya, maka negara tersebut mau tidak mau harus memberlakukan kebijakan neoliberal. Indonesia kini merupakan salah satu penganutnya. Hal tersebut nampak dari kebijakan-kebijakan yang kini berlaku di negara ini seperti: pemotongan subsidi BBM, privatisasi bank negara, privatisasi PLN, pemotongan subsidi pendidikan, pengurangan tunjangan kesehatan, privatisasi perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu merupakan hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno.

Pada masa pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat. Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya, dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun 1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk kembali melirik Indonesia sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber daya manusianya yang murah.

Korporasi mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. UU itu telah membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan tambang. UU tersebut merupakan sebuah legitimasi bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal dan mendirikan usahanya di Indonesia. Sektor pertambangan tercatat menjadi sektor industri pertama yang paling menarik investasi asing pada masa awal Orba tersebut. Salah satu perusahaan tambang asing paling tua yang beroperasi di Indonesia adalah Freeport.

Pada bulan juni 1966, tim Freeport terlebih dahulu berkunjung ke Jakarta untuk memprakarsai pembicaraan mengenai kontrak eksplorasi pertambangan di Timika, Papua Barat. Pada tanggal 7 April 1967 dikeluarkanlah Kontrak Karya I No. 82/EK/KEP/4 /1967 bagi Freeport agar bisa melakukan operasi pertambangan di Papua. Ada keanehan dalam terbitnya kontrak karya untuk Freeport tersebut yang muncul selang 3 bulan dari keluarnya UU PMA dan 7 bulan lebih awal dari terbitnya UU No. 11 tahun 1967 mengenai pertambangan. Ditengarai hal tersebut adalah bentuk keterlibatan pihak-pihak asing dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyusun UU PMA. Keterlibatan tersebut adalah bentuk persengkongkolan Negara dengan Korporasi, di sinilah "KORPORATOKRASI" berjalan.

"Korporatokrasi" merupakan bentuk perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat negara penegak kedaulatan dan keamanan sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol pemerintah.

Kesuksesan Freeport, yang mulai beroperasi sejak tahun 1971, memicu masuknya perusahaan-perusahaan asing lainnya. Hingga kini ada empat perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia antara lain: Freeport Indonesia, Newmont Indonesia, International Nickel Indonesia, dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini setiap jengkal tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi, baik dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Kontrak Karya Pertambangan, Kuasa Pertambangan, Kontrak Bagi Hasil Minyak & Gas, Kontrak Bagi Hasil Batubara, dan sebagainya.

Melalui UU No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing.

Tak hanya di bidang pertambangan, Indonesia juga lahan subur bagi bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya seperti: General Motors dan Ford (otomotif), Esso, Shell, British Petroleum (minyak), McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T dan International News Corporation (komunikasi), dan bank-bank utama milik Jepang. Kini Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya alam yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri, sementara sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus adalah pasar yang sangat konsumtif dan patuh.