"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Jumat, 02 April 2010

Kutil: Kehidupan Rahasia Seorang Tukang Cukur

Pada tahun 1945, Kutil, bernama asli Sakhyani, seorang tukang cukur sekaligus preman desa di daerah Talang, kabupaten Tegal, Jawa Tengah, bertransformasi menjadi seorang pahlawan. Sebagai seorang yang lahir pada dekade 1970-an, amatlah sulit untuk mendengar kabar mengenai namanya. Tak ada setitikpun dalam pelajaran sejarah yang diberikan guru-guru semenjak bersekolah di Sekolah Dasar, pernah mengungkit namanya, ataupun peristiwa yang membesarkan namanya. Kutil seakan tak pernah eksis. Peristiwa yang membuatnya terkenal juga sama. Bahkan hingga hari ini, peristiwa tersebut masih tidak dibuka sepenuhnya. Dalam catatan militer, peristiwa tersebut hanyalah sekedar kasus dari sekian banyak kasus pemberontakan—yang sebagiannya, seperti biasa, dilabeli sebagai pekerjaan terselubung gerakan komunisme. Dalam catatan tertulis, tercatat secara resmi hanya satu buah buku yang membahas peristiwa tersebut. Sitok Srengenge, seorang sastrawan kaliber nasional, pernah menerbitkan sebuah cerita bersambung dalam Sinar Merdeka di tahun 2005 mengenai kehidupan Kutil, tapi itupun tak pernah menggugah banyak. Seorang mahasiswi jurusan sejarah di Semarang juga pernah menyusun skripsi mengenai kehidupan sang tokoh, tapi lagi-lagi, itupun hanya sekedar menjadi dokumen yang tak mampu berbicara apapun. Sejarah adalah milik mereka yang menang, seorang bijak pernah berkata demikian. Mungkin ucapan tersebut benar adanya, toh Kutil dan gerakan yang ia bantu letupkan memang pada akhirnya ditundukkan. Kutil sendiri ditembak mati.


Peristiwa yang melambungkan namanya, adalah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Pemberontakan Tiga Daerah. Nama tersebut memang berkaitan dengan nama lokasi di mana di tiga daerah, pemberontakan meletup secara simultan: Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Pemberontakan tersebut meletup di sekitaran Oktober 1945, kala Indonesia sedang dilanda dengan euforia kemerdekaan. Pemberontakan ini, mungkin memang tidak dikenal—atau sengaja dilupakan—akibat karakteristiknya yang dalam kultur popular dewasa ini dikenal dengan istilah anti-hero. Di sana, isu mengenai kekuasaan dipertanyakan dengan aksi yang tidak tanggung-tanggung: bangsawan, kolonial, elit-elit daerah, diarak, dipermalukan dan banyak di antaranya dibunuh. Para petani dan buruh-buruh miskin, bangkit mengangkat senjata, menyerang dan membunuhi anggota-anggota kelas atas. Tokoh yang namanya menjulangpun bukanlah tokoh dari pihak yang baik sebagaimana pahlawan-pahlawan lainnya sebagaimana yang tertulis di buku sejarah, tokohnya adalah lenggaong atau preman desa. Pemberontakan tersebut memang pemberontakan melawan kolonialisme Jepang, tapi ia juga adalah pemberontakan melawan pemerintahan formal Republik Indonesia yang kala itu berada di tangan Sukarno—tidak untuk mendirikan negara terpisah seperti yang dikumandangkan oleh banyak daerah lain, tapi sekedar menuntut otonomi penuh atas daerah dan cara hidup di tempat di mana mereka tinggal.


Satu kasus yang dianggap paling memalukan oleh cukup banyak pihak, adalah dengan diaraknya adik kandung R.A. Kartini, Kardinah, akibat posisi sosialnya yang merupakan bagian dari kelas bangsawan. Memang Kardinah berhasil diselamatkan oleh beberapa orang yang bersimpati padanya, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan untuk mengeksekusinya. Jenderal Sudirman, sang tokoh gerilya dalam episode-episode perlawanan terhadap koloni Belanda, mengaku kebingungan atas peristiwa pemberontakan tersebut. Presiden Sukarno bahkan juga pernah tercatat menyatakan bahwa Tiga Daerah adalah sebuah negara sendiri, karena penduduknya tidak mengakui kekuasaan pemerintah pusat. Nama Kardinah diabadikan sebagai nama sebuah Rumah Sakit Umum di Tegal, sementara nama Kutil, nyaris tetap tak pernah eksis di benak kita semua. Semua pihak formal, atau yang diakui secara legal oleh negara ini, memilih menutup mulut mengenai peristiwa tersebut.


Kutil menutup mata, setelah ia menolak matanya ditutup di hadapan regu tembak Republik Indonesia, akibat terjangan peluru, di pinggir pantai dekat Pekalongan pada 5 Mei 1951.


Kutil, yang dalam bahasa Jawa berarti “Bintil Kecil”, atau juga bisa diartikan sebagai “pencopet”, adalah anak seorang pedagang emas dari Taman dekat Pemalang. Ia hidup di pinggir pelabuhan yang ramai dengan arus perdagangan. Sebagaimana anak yang dibesarkan dengan situasi keras kawasan pelabuhan di bawah orang tua yang tak berkecukupan, membuat Kutil dikenal sebagai anak nakal, atau “bangor” apabila menuruti logat Tegal.


Memasuki usia dewasa, Kutil bekerja sebagai tukang cukur sekaligus pedagang barang bekas dan penyalur barang-barang yang dibutuhkan tapi sulit didapat. Beberapa orang menyatakan bahwa ia mampu melakukan hal tersebut karena ia hafal dengan seluk beluk perdagangan gelap yang menyebar dari kota ke kota, hingga ke kota Bandung yang kala itu terkenal sebagai tempat komersial yang cukup berkembang.


Di bawah kekuasaan kolonial, gerakan-gerakan perlawanan memang dikenal menjalin kontak dengan sisi-sisi gelap masyarakat: bandit, kriminal, perampok dan preman-preman setempat. Dari PKI (Partai Komunis Indonesia) hingga Sarekat Islam, nyaris semuanya memiliki kontak yang intens dengan kelompok-kelompok tersebut nyaris di tiap daerah di mana organisasi mereka berkembang dan diterima masyarakat setempat. Saat situasi memanas, terjadi beberapa letupan, baik yang terorganisir maupun yang hadir secara spontan. Di sinilah petualangan Kutil bermula. Ia dibuang ke Digul akibat keterlibatan mereka dalam pemberontakan besar melawan Belanda pada 1926, bersama dua orang kawan dekatnya, Slamet dan Washari. Ia tak terlalu lama berkutat di Digul karena ia, bersama kedua kawan dekatnya pula, berhasil melarikan diri setelah membunuh sipir Belanda dan mencuri perahu. Dalam waktu yang relatif singkat, ia memang telah hadir kembali di Tegal, kota yang membesarkannya.


Tak lama dari setibanya kembali di Tegal, Kutil menikahi seorang gadis bernama Was’ah yang kemudian melahirkan empat orang anaknya, dua anak lelaki bernama Khambali dan Sapi’i, serta dua orang perempuan bernama Fatimah dan Rokhmah. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari, isterinya membuka warung makan, sementara Kutil kembali pada profesi lamanya sebagai tukang cukur.


Keterlibatannya dalam pemberontakan yang memang dimotori sebagian besarnya oleh PKI, walau tidak seterkenal para tokoh-tokoh pemberontakan lainnya, telah mengajarkan ia satu hal yang mengesampingkan karakteristiknya sebagai kriminal, yaitu bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang penting dan layak untuk diperjuangkan, bahwa tidak seharusnya orang-orang hidup menderita sementara sedikit orang menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah. Pemikiran pertama Kutil, yang tetap hidup di tengah-tengah masyarakat sebagaimana orang lainnya sehingga mampu melihat praktik nyata dari kolonialisasi, adalah mengganti elit-elit pemerintahan dan golongan Pangreh Praja karena baginya, mereka adalah orang-orang yang memperkuat struktur kekuasaan kolonial. Pemikiran Kutil yang naif, dengan pandangan bahwa setiap orang harus mendapatkan jatah yang sama, tak peduli status sosialnya, semakin mendalam saat di awal kemerdekaan, dengan krisisnya Jepang dalam Perang Dunia II, kehidupan masyarakat semakin memburuk akibat pajak yang meningkat dari pemerintah kolonial Jepang.


Kala Jepang dikabarkan menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, gaung tersebut hanya terdengar sayup-sayup di telinga mereka yang tinggal di daerah-daerah yang terletak cukup jauh dari pemerintah pusat di Jakarta. Di Tegal, elit-elit lokal tak berani mengambil keputusan tegas atas kabar yang masih terdengar sayup-sayup tersebut. Balatentara Jepang yang ada juga bersikap ragu-ragu. Maka oleh beberapa pemuda yang dimotori oleh para lenggaong, di beberapa markas tentara Jepang, penjarahan senjata mulai dilakukan, penurunan bendera Matahari Terbit diganti dengan bendera Merah Putih. Situasi mulai memanas, tapi tetap saja, para elit dan bangsawan lokal yang selama ini dipelihara oleh Jepang tak berani mengambil sikap—antara turut memberontak yang berarti melawan tuannya, atau menunggu kepastian kabar tentang kekalahan sang tuan dan datangnya kemerdekaan.


Sesungguhnya situasi masih cukup terkendali, walaupun kelompok-kelompok pemuda mulai bersikukuh bahwa mereka akan membenarkan kabar soal kemerdekaan dengan cara menyatakan diri bahwa mereka memang telah merdeka. Kelompok-kelompok dan badan-badan perjuangan bawah tanah seperti Afdeling-B PKI ataupun laskar-laskar informal lainnya, juga mulai berkonsolidasi untuk memastikan tindak lanjut menuju kemerdekaan yang telah sekian lama diperjuangkan. Tak terlalu lama, kabar benar tersiar dan datang dari pusat pemerintahan, bahwa Indonesia telah menyatakan diri merdeka. Semua bergembira. Sampai datang sebuah keputusan yang justru mengipasi bara yang tersimpan sekian lama.


Pemerintah pusat menginginkan agar pemerintahan diteruskan ke daerah melalui orang-orang yang sebelumnya telah menjabat di kursi-kursi elit kekuasaan daerah. Dengan kata lain, tak ada pergantian tampuk kepemimpinan daerah. Warna bendera yang berkibar di pusat-pusat pemerintahan daerah berganti, tetapi tidak hidup mereka yang berada di bawahnya. Bersamanya, bara mulai berubah menjadi api.



(Bersambung)

ditulis oleh: Crimethought.