"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Jumat, 24 Desember 2010

Rumah Bermain, Rumah Belajar

Sudah lama aku memimpikan punya sebuah rumah, tempatku beristirahat, belajar dan bermain bersama kawan2ku. Tapi kendala keuangan yang membuatku berpikir ulang. Ya, sewa rumah yang semakin mahal dan kondisi keuanganku yang tak seberapa banyak, menghalangi keinginanku itu. Namun tiba2, suatu sore seorang kawan menawarkan rumahnya yang kosong untuk kutempati. Daripada rusak dan tak terawat, lebih baik kau tempati saja, kata kawanku itu. Betapa gembiranya diriku, terbayang semua mimpi2ku yang dulu hanya kusimpan dalam pikiranku. Kuajak beberapa kawan untuk bersama2 menata rumah itu. Memperbaiki sana sini semampu kami. Dan kini rumah sudah siap untuk ditempati. Karena dibangun atas inisiatif bersama beberapa individu yang bebas, maka aku tak lagi menggunakan kata rumahku, tapi lebih menyenangkan untuk menyebutnya dengan rumah kami.

Rumah ini terbuka bagi siapa saja yang berminat untuk belajar dan bersenang2. Di rumah kami ini ada perpustakaan kecil dengan koleksi buku, komik dan zine yang tidak banyak tapi cukup untuk memuaskan hasrat kalian untuk belajar. Kami juga menyiapkan koleksi film2 menarik, yang bisa ditonton bersama atau dicopy bagi kalian yang ingin menyimpannya di komputer pribadi kalian. Bagi yang ingin belajar menyablon atau cukil kayu juga bisa. Atau jika kalian cuman ingin bersantai, mengobrol, berbagi suka atau duka kehidupan harian juga tak mengapa. Tak ada batasan apapun, tak ada pribadi yang saling membatasi pribadi yang lain, kecuali diri kalian sendiri yang paling tahu batasannya. Ingat, kebebasan diri kita juga berpengaruh pada kebebasan individu yang lain. Jadi kontrol dirilah yang dibutuhkan, bukan kontrol dari pihak di luar dirimu.


Silakan berkunjung ke rumah kami yang kecil. Bawa kebutuhan kalian sendiri. Karena kami bukan lembaga sosial yang menyediakan semua hal untuk kalian yang datang berkunjung. Ya, ini hanya sebuah rumah untuk mengembangkan diri, tapi bagaimana diri kalian berkembang, prosesnya ada di dalam diri kalian sendiri2. Datanglah karena kalian ingin belajar dan bersenang2.



Selamat belajar dan bersenang2 di rumah kecil. Jangan harapkan yang terindah ada disini, yang terbaik ada disini, yang sempurna ada disini. Karena kami bukan individu2 penyuka kesempurnaan. Enjoy !!!

Kamis, 25 November 2010

Bayangkan Wiji Tukul Bahagia !!!!

Siapa tak mengenal Wiji Tukul. Penyair cadel dengan wajah yang sengsara itu begitu terkenal dengan puisi2 realisnya. Wajah Wiji Tukul nampak sengsara, ahhhh, itu mungkin cuman imajinasiku ketika melihat potretnya yang kudonlot di internet, mungkin dia gak sesengsara yang kubayangkan. Aku memang tak pernah bertatap muka dengannya. Bahkan hingga kini kuburnyapun tak jelas dimana. Desas desus mengatakan, dia diculik dan dibunuh oleh Militer Indonesia karena aktifitas politiknya yang membahayakan kekuasaan negara. Bagiku, puisi2nya begitu hidup sehingga mampu menyadarkanku betapa kekuasaan hanyalah alat untuk menindas, hanyalah alat untuk mendominasi manusia agar tunduk dan menjadi budak. Coba baca puisi yang ini :

'Puisi Sikap'

Maunya mulutmu bicara terus Tapi tuli telingamu tak mendengar
Maumu aku ini jadi pendengar terus, bisu
Kamu memang punya tank, tapi salah besar kamu kalau karena itu aku lantas manut
Andai benar ada kehidupan lagi nanti setelah kehidupan ini
Maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk
Bahwa sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim

Tapi aku tak ingin membicarakan puisi2nya yang perih dan penuh perlawanan. Aku bukan kritikus sastra yang menganalisa sebuah karya dengan kupasan2 yang tajam dan intelektual. Untuk apa sebuah karya dianalisa dengan koridor2 yang hanya akan membatasi maknanya. Bukankah sebuah karya haruslah bebas sehingga maknanya bisa meluas laksana alam raya.

Aku hanya membayangkan wajah getirnya. wajah seorang manusia yang tertindas. Wajah seorang yang manusia yang melawan dengan kelemahannya. Wajahnya sering membuatku berpikir.Apakah melawan kekuasaan harus sengsara. Apakah melawan tidak bisa dilakukan dengan gembira, dengan suka cita, dengan rasa cinta akan hidup yang lebih berarti daripada sekedar jalan2 dan belanja di mall atau hidup di sebuah rumah idaman seperti yang dipertontonkan di TV. Taek !!! Bukan itu hidup yang sebenarnya.

Hidup memang tak semudah yang kita bayangkan, sebuah perlawananpun bukan sebuah jalan singkat yang bisa kita beli karena kita banyak uang. Perlawanan adalah sebuah jalan panjang yang penuh liku dan terjal. Ada dinamika, ada dialektika. Aku teringat kisah Sisifus, yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Albert Camus bilang "Bayangkan Sisifus bahagia". Buset, bagaimana bisa seorang yang dihukum dengan pekerjaan yang membosankan bisa berbahagia. Bukankan sudah pasti dia akan menderita dan sengsara karena terjerembab dalam kebosanan yang tak berujung. Tapi Camus ada benarnya juga, kenapa kita bersedih dengan kebosanan yang menimpa kita, mengapa kita tidak melawannya. ya, hanya dengan melawan kita bisa menjadi bahagia atas kebosanan yang mendera kita. hohohoho...Itu dia poinnya, kita melawan dengan bahagia. Dengan bersenang2 kita bisa menikmati perlawanan itu. Emma Goldman pernah bilang : Itu bukan revolusiku, jika aku tak bisa berdansa !!!!

Akhirnya, aku mulai bisa membayangkan wajah Wiji Tukul yang berbahagia dengan perlawanannya. Aku membayangkan Wiji Tukul tersenyum riang, ketika puisi2nya terus dibaca dan mampu membakar jiwa2 yang lelah tertindas. Jiwa2 yang bosan akan hidup yang menderanya. Bayangkan Wiji Tukul bahagia !!!
Eh, mungkin juga Wiji Tukul tersenyum masam, melihat kawan2 aktivisnya yang kini duduk di lingkar kekuasaan ternyata tak membawa perubahan apa2. Mereka asik dengan empuknya kursi kekuasaan, mewahnya puja puji, glamornya kehidupan politikus laksana artis2 sinetron yang tebar pesona di Televisi. Ternyata kekuasaan bisa membuat orang menjadi lupa pada banyak hal, bahkan pada nasib seorang kawan seperjuangan yang hilang karena melawan kekuasaan. Hahahaha, serigala tetaplah serigala, walaupun mereka menyamar sebagai domba. Huh, mereka memang menyebalkan.

Sudahlah, persetan dengan mereka, yang penting aku kini bisa membayangkan Wiji Tukul bahagia. Dimanapun dia kini berada, Bayangkan Wiji Tukul Bahagia !!! Dan hingga mati dia akan tetap melawan.

...sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim !!!

Tidar, 25 November 2010

Minggu, 21 November 2010

Maria Ozawa dan Tumpukan Jurnal Apokalips.

Maria Ozawa dan Tumpukan Jurnal Apokalips

"Fucking and shooting are the same."
-- Gudrun Ensslin, Der Baader Meinhof Complex.

aku tak sungguh mengenalmu
tapi kau seringkali singgah dalam hasratku
dan kerap meninggalkan jejak di tiap lenguh napasku

tarian erotis Maria Ozawa
dan tumpukan jurnal Apokalips yang rebah di kamarku

aku bimbang diantara dua pilihan :

akankah bertelanjang
dan memicu gairah senggama di sela kebosanan
menuju goncang selangkangan

ataukah tetap bertelanjang
tapi memacu darah bersama kawan kawan di jalanan
menuju perang peradaban


| Malang. 27 Oktober 2010

-------------------------------------------------------------

Itu dia satu kegalauan puitik dari Adek yang Imut.

Untuk kontak serta karya-karya galau membara yang lain dari Adek yang Imut,
silahkan klik di sini

Sabtu, 20 November 2010

Belajar Sejarah, Cuy!

Ini ada semacam kutipan dari majalah lama tentang sejarah pergerakan anarkisme di Melayu sekitar tahun 20-an. Judulnya "Gerakan Anarkis di Tanah Melayu 1919-1925".

Mungkin memang tidak memberikan segala hal tentang apa yang terjadi pada masa itu, mengingat biasanya sejarah hanyalah milik mereka yang mampu mengalaminya. Tapi paling tidak, dari sekelumit yang tersisa ini, kita mengerti bahwa gerakan-gerakan semacam ini bukanlah sesuatu yang lahir dari utopia, bukan sesuatu yang baru, dan ternyata telah memiliki akar perjalanan sejarahnya sendiri yang amat panjang, khususnya di tanah melayu.

Silahkan didownload di sini

Minggu, 11 Juli 2010

Redefining Our Relationships

*Artikel ini kami terjemahkan dari Zine Profane Existence #44. Okey, selamat membaca!

"Our belief is that the human capacity for sex and love and intimacy is far greater than most people think -possibly infinite- and that having a lot of satisfying connections simply makes it possible for you to have a lot more." —Easton & Liszt. The ethical slut: A Guide To Infinite Sexual Possibilities

"The most vital right is the right to love and beloved." —Emma Goldman

Sebuah Interview Dengan Wendy-O Matik tentang Hubungan Terbuka Yang Bertanggungjawab


Revolusi muncul terjadi dalam berbagai wujudnya. Melalui setiap tindakan-tindakan kita dan setiap kata-kata yang kita ucapkan, kita semua dapat berusaha untuk mewujudkan sebuah revolusi di dalam hati kita dan pada dunia luas pada umumnya. Wendy-O Matik adalah seorang wanita revolusioner yang istimewa. Melalui bukunya, Redefining Our Relationships, dia menghancurkan stereotip norma-norma sebuah bentuk hubungan yang selama ini banyak mengikat dan mencekik kita semua. Dengan puisinya, ia memperlihatkan sebuah bentuk ketelanjangan emosi yang paling mendasar disertai provokasi pikiran yang sangat inspiratif. Wendy-O telah berkeliling dunia melakukan lokakarya, pembacaan puisi, dan mengadakan kelompok-kelompok diskusi disertai dengan dedikasi dimana beberapa orang yang ada di dalam komunitas punk telah mampu mempertahankannya. Dengan semangat, tekad dan kekuatan, Wendy-O berjuang untuk meruntuhkan sistem. [Diwawancarai oleh Adrienne Droogas pada 13 September 2003]

PE: Bagaimana cinta dapat menjadi sesuatu yang revolusioner, menjadi suatu tindakan politik?
WM: Sebelum Anda dapat mengubah atau memperbaiki dunia, perubahan nyata dimulai dalam diri Anda. Ketika Anda dapat meradikalkan apa yang ada dalam pikiran Anda, raga, jiwa, dan hati, maka Anda dapat mengubah dunia bersama setiap orang yang berhubungan dengan Anda. Radical Love (Cinta yang Radikal), seperti yang dijelaskan dalam buku saya, Redefining Our Relationships: Guidelines for Responsible Open Relationships, berhasrat untuk menantang patriarki, media, serta konstruksi-konstruksi sosial yang dipaksakan kepada kita tentang bentuk sebuah hubungan dengan cara membayangkan suatu bentuk pendekatan tentang cinta yang bersifat non-hirarkis. Ketika Anda mendefinisikan kembali konsep-konsep besar seperti cinta, keintiman, seks, serta hubungan bagi diri Anda sendiri, Anda telah mulai menggoyang belenggu status quo yang selama ini banyak membatasi dan melarang kita untuk memiliki bentuk-bentuk hubungan yang lebih sehat dan lebih memuaskan. Untuk mencintai secara terbuka dan tanpa batasan adalah sesuatu yang revolusioner karena hal ini menantang kemapanan tatanan sosial dan status quo. Untuk mencintai secara radikal adalah untuk mengambil kendali atas hak Anda untuk mencintai sebagaimana cara Anda memutuskan, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan serta keinginan Anda.

PE: Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan istilah ini, apa arti "open relationship" menurutmu?
WM: Kalau boleh, saya ingin merujuk kepada buku saya. Sebuah hubungan yang terbuka (Open Relationship) secara radikal atau mendasar adalah berbeda, sebuah bentuk hubungan yang didefinisikan ulang di luar status quo, di mana setiap mitra atau pasangan mendorong sebentuk pernyataan cinta yang non-restriktif, tidak saling membatasi, namun tetap serius berkomitmen kepada pasangan utama mereka atau kepada setiap mitra, teman-teman, dan kekasih. Secara teori, sebuah hubungan yang terbuka berusaha untuk mencari dan menerapkan sebentuk cinta yang non-hirarkis, tanpa sekat-sekat kasta.

PE: Apa yang membuat Anda memilih gaya hidup non-monogamis?
WM: Saya seorang aktivis yang bekerja berdasarkan hati. Saya selalu merasa seolah-olah saya memiliki kapasitas yang sangat besar untuk mengasihi semua orang –tuna wisma di jalanan, wanita jompo yang tak berdaya di sebelah rumah, seseorang dimana saya hanya punya waktu 5 jam saja untuk bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengannya, dan tentu saja, sahabat saya, keluarga, dan yang lainnya. Ketika akhirnya saya mampu mengakui pada diri sendiri bahwa saya memiliki hak asasi serta kewajiban kepada diri saya sendiri untuk mencintai sebanyak mungkin orang yang saya inginkan atau yang saya perlukan, maka saya menyadari bagaimana sebuah hubungan yang monogamis, sebagaimana yang telah diuraikan oleh masyarakat kebanyakan, tidak akan pernah bekerja untuk saya. Saya tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Cinta yang Radikal, atau kebebasan untuk mencintai sebanyak mungkin yang Anda inginkan, menjadi suatu pandangan hidup.

PE: Hal-hal apakah yang menjadi kesalahpahaman atas konsep polyamory?
WM: Hubungan yang terbuka bukan hanya tentang seks yang terbuka. Ada seribu atau lebih banyak cara untuk mencintai setiap orang –dan seks adalah bagian yang mudah dan sederhana. Ini menjadikan satu hal yang cukup kreatif untuk dapat secara aktif berkomitmen untuk menjadi seseorang yang penuh cinta kasih pada banyak tingkatan (misalnya memeluk, memegang, saling mendengarkan, menyampaikan surat cinta, bertukar inspirasi, dan sebagainya) yang memisahkan Anda dari norma yang ada. Hubungan yang terbuka memiliki hanya sedikit keterkaitan dengan seks dan segala sesuatu dilakukan dengan perizinan, kejujuran, konsekuensi, penghapusan perasaan-perasaan posesif, saling mendukung, dan komunikatif. Saya mendorong orang-orang untuk menyadari stereotip mereka sendiri tentang apa arti sebuah hubungan yang terbuka. Anda bebas untuk menentukan hubungan Anda dengan cara apapun sesuai keinginan hati Anda, asalkan penghormatan pada setiap pribadi serta integritas adalah intinya. Kesalahpahaman lainnya bagi mereka yang baru mengenal tentang hal hubungan terbuka adalah masalah komitmen. Sebuah hubungan terbuka yang bertanggung jawab memerlukan kesediaan yang paling jujur untuk berkomitmen terhadap masa depan setiap dan semua hubungan. Setiap individu yang menganut pola non-monogamis bukanlah "swingers" (mudah berpindah-pindah pasangan) seseorang yang mencari orang yang mudah diajak berbaring atau melakukan seks tanpa pengaman. Bahkan pada kenyataannya, hubungan yang terbuka tidak berfungsi sama sekali tanpa semua pihak yang terlibat untuk bersama membuat komitmen tentang kejujuran, komunikasi, kesabaran dan kerja keras. Pasangan-pasangan non-monogamous secara sederhana bersedia untuk terlibat dalam komitmen secara mendalam, hubungan serius yang mendalam dengan lebih dari satu orang, seperti mitra utama, teman, kekasih, atau sahabat pena.

PE: Seks adalah sebuah aspek penting dari sebuah hubungan. Bagaimana dinamika seksual diperlakukan ketika sebuah hubungan menjadi bersifat terbuka?
WM: Sebuah pertanyaan yang bagus. Topik tentang seks adalah masalah yang paling dipilih bagi siapa saja yang skeptis tentang hal hubungan yang terbuka, dan itulah sebabnya saya sengaja mencoba, dalam buku saya, untuk mendefinisikan kembali gagasan kita tentang seks atau keintiman seksual. Saya ingin mengulik dari buku saya lagi, menurut definisi saya, Making Love (bercinta) sama dengan Being Loving (saling mencintai): setiap apa pun dimana anda menumpahkan hati dan perasaan anda kepadanya, termasuk hubungan seksual, berjabat tangan, berciuman, surat cinta, sebuah tawaran perdamaian, S/M, seni, musik, masturbasi, fetishes, fantasi-fantasi, sebuah panggilan telepon, sebuah pelukan hangat, apa pun yang menyenangkan Anda, apa pun yang terasa menyenangkan, langit adalah batasnya. Apakah Anda berada dalam hubungan monogami atau non-monogamous, Anda tetap saja bebas untuk menetapkan batasan-batasan. Seks mungkin menjadi salah satu batasan yang dapat Anda tentukan, dalam kerangka hubungan Anda dengan pasangan Anda, teman, kekasih, sahabat pena, apakah keintiman seksual diperbolehkan atau tidak. Misalnya, dalam sebuah hubungan yang terbuka yang memiliki dua mitra utama, masing-masing dari Anda akan bernegosiasi bila Anda ingin berbagi kekasih, atau jika Anda ingin untuk menahan diri dari hubungan seksual, tetapi mencium, memeluk, dan mungkin surat cinta diperbolehkan. Pedoman-pedoman ini akan selalu dapat disesuaikan-ulang dan dinegosiasikan-ulang.

PE: Bagaimana ide serta tujuan-tujuan dalam buku Anda dapat diterapkan ke dalam scene punk?
WM: Sebagai seorang punk sendiri, dimana saya dibesarkan dengan sejumlah tertentu kesadaran dan kepekaan bahwa saya adalah berbeda, berpikir secara berbeda, hidup secara berbeda, nampaknya menjadi hal yang natural, alamiah, bahwa saya akan mencintai secara berbeda pula. Ide-ide dalam punk selalu mendorong untuk mau berpikir, bertanya, waspada, dan untuk tidak memapankan diri atas tekanan-tekanan sosial. Saya pikir bahwa cinta yang radikal dan hubungan-hubungan alternatif jelas ada di dalam pikiran dan hati kebanyakan dari kita. Buku saya mengalamatkan aspek-aspek feminis dan anarkis tentang cinta, dari perspektif atau sudut pandang punk. Semoga beruntung ketika mencoba mencari sudut pandang punk tentang cinta dan hubungan; kebanyakan buku-buku menyuarakan baik new-age atau sangat free love '70-an. Saya berharap punk atau scene alternatif akan menemukan dalam buku saya sebuah suara, pendapat, serta perspektif dimana mereka dapat menghubungkan diri dengannya.

PE: Buku Anda dikerjakan dengan sepenuhnya DIY. Bagaimana prosesnya sehingga buku ini dapat dipublikasikan?
WM: Proses-proses untuk mempublikasikan atau menerbitkan secara mandiri sangatlah luas untuk dapat dijelaskan dalam satu kesempatan pembicaraan. Jadi, saya akan mendorong orang-orang yang benar-benar tertarik untuk mengambil sebuah kelas atau seminar, itulah yang saya lakukan. Hal ini memberi saya kerangka-kerja dan dasar-dasarnya. Saya juga merekomendasikan sebuah buku yang ditulis oleh Robert Bowie Johnson, berjudul Publishing Basics (Dasar-dasar Penerbitan). Buku ini bagus sekali, ringkas, tetapi menyeluruh. Pengalaman saya adalah menjadi salah satu yang mengemis-meminjam-&-mencuri. Mark dari Regent Press di Oakland, yang mengajarkan seminar tentang publikasi-mandiri, telah menjadi mentor saya, membantu saya mendapatkan diskon dan potongan untuk kertas dan menjawab jutaan pertanyaan-pertanyaan saya. Teman lain, untuk bir dan burrito, mencetaknya. Punks with Presses memberiku diskon gila-gilaan untuk cover atau sampul. Seniman grafis teman saya, Eve, bersedia duduk selama berjam-jam bekerja untuk tata letak dan ilustrasi, sebagai ganti makan malam dengan menu vegan dan produk organik. Aku bahkan berteman dengan seorang yang bekerja di penjilidan besar yang memberikan diskon menakjubkan. Dengan semuanya itu, buku ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa upaya dan bantuan dari punk serta teman-teman lainnya. Saya juga mengadakan pertunjukan dengan karya seni (artwork), banyak band, dan orasi atau perbincangan dalam rangka untuk membantu menutup beberapa pengeluaran saya. Get creative! (Jadilah kreatif!)

PE: Apakah Anda merasa masyarakat memberikan stigma tertentu tentang polyamory? Jika memang demikian, mengapa?
WM: Setiap ideologi atau teori atau konsep yang bertentangan dengan apa yang telah tertanamkan oleh masyarakat pada kita selalu beresiko untuk menjadi suatu stigma atau mengalami pendiskreditan. Jika Anda melangkah ke luar status quo dan mengajukan suatu pola gaya hidup dimana mayoritas masyarakat tidak memiliki persetujuan dengan hal tersebut, maka mereka akan merasa terancam. Ancaman inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk pengucilan atau perendahan suatu sudut pandang alternatif. Mencintai sebanyak mungkin orang yang Anda inginkan, memperluas kapasitas hati dan jiwa Anda untuk membuat setiap hubungan menjadi bermakna, menjalani banyak hubungan kemitraan, dan membayangkan potensi dalam diri Anda untuk dapat lebih berkembang secara lebih mendalam, menjalani hubungan yang sehat dan kuat dengan teman-teman, rekan kerja Anda, keluarga Anda, well, aku rasa itu sudah cukup untuk mengatasi beberapa masalah yang timbul oleh masyarakat kebanyakan.

PE: Bagaimana pendapat anda tentang kecemburuan?
WM: Saya rasa kecemburuan berfungsi sebagai semacam pedoman emosional, seperti yang telah dibahas dalam buku saya. Seperti sebuah analogi tentang bawang, setiap orang merasakan kecemburuan dalam derajat tertentu tetapi ketika anda mulai mengupas lapisan-lapisan kulit bawang, bila Anda benar-benar meluangkan waktu untuk memeriksa kembali dari manakah emosi-emosi yang timbul di sekitar kecemburuan berasal, maka anda menemukan inti atas hal-hal personal secara jauh lebih mendalam, seperti perasaan tidak aman, kekecewaan, perasaan takut kehilangan seseorang, takut ditinggalkan, bahkan saling-ketergantungan. Kecemburuan adalah semacam jendela unik untuk masuk ke dalam dan memeriksa apa yang sedang terjadi di dalam diri kita. Kebanyakan orang memilih untuk kembali menyalahkan orang lain, dan tidak pernah meluangkan waktu untuk dapat benar-benar melihat ke dalam. Saya sungguh percaya bahwa dengan memeriksa akar dari kecemburuan Anda, tanpa menyalahkan dan menghukum orang lain dan disertai dengan banyak sekali latihan dan praktek, dapat mewujudkan hubungan-hubungan secara lebih lama, lebih sehat, dan pastinya lebih memuaskan.

PE: Bagaimana sebuah persahabatan dapat dianggap sebagai sebuah hubungan?
WM: Ketika kita mengembangkan pemahaman kita tentang apa arti sebuah hubungan atau potensi apa yang dimiliki ke depannya, maka kita akan mulai melihat bagaimana setiap hubungan yang bermakna, baik platonis ataupun seksual, adalah suatu bentuk hubungan (relationship), termasuk teman-teman, keluarga, sahabat pena, bahkan dengan hewan peliharaan Anda. Sekali lagi, ini akan kembali pada gagasan atau praduga yang kita terima bahwa "hubungan (relationship)" melibatkan seks. Ini menyiratkan hierarki yang tak diungkapkan, seolah-olah hubungan seksual Anda lebih penting daripada hubungan persahabatan Anda. Bila Anda berkomitmen untuk menghormati semua hubungan Anda, apakah Anda sedang melakukan hubungan intim dengan mereka atau tidak, maka anda secara tidak langsung mulai berpikir dan bertindak di luar kotak, di luar gagasan Hollywood tentang sebuah hubungan, di luar apa yang telah ditanamkan oleh orangtua Anda dalam diri Anda. Hal ini adalah revolusioner. Anda mungkin menemukan bahwa Anda akan lebih suka menikah dengan teman Anda. Anda mungkin memutuskan untuk membuat suatu perjanjian dengan sahabat baik Anda untuk tumbuh tua bersama-sama, untuk saling mengurusi anak-anak satu sama lain, untuk berkomitmen seperti pasangan-sehidup-semati.

PE: Hal apakah yang menjadi dinamika-dinamika yang paling penting dalam menciptakan sebuah hubungan terbuka yang sehat?
WM: Sebuah hubungan terbuka yang bertanggung jawab harus dibangun atas dasar sebuah kepercayaan. Tentang bagaimana Anda membangun fondasi itu akan berbeda bagi setiap orang. Sebagai contoh, salah seorang teman polyamor saya mengatakan bahwa dia dan pasangannya (dan kekasih) telah memiliki semacam kontrak yang saling menguntungkan yang telah disesepakati secara bersama-sama dan akan direvisi dan dapat diatur kembali selama beberapa kali dalam setahun. Seperti yang diuraikan dalam buku saya, Kejujuran dan Komunikasi dan pengaturan garis-garis pedoman yang disepakati secara bersama adalah beberapa kunci untuk memiliki hubungan yang sehat dan abadi dalam setiap apapun. Ketika sesuatu tidak bekerja sebagaimana mestinya atau menjadi stagnan atau menimbulkan ketidakpercayaan, maka setiap orang berkomitmen untuk mengevaluasi kembali aturan-aturannya dan menjadi kreatif tentang bagaimana Anda akan membuatnya bekerja.

PE: Sukacita terbesar apakah yang dibawa oleh pola non-monogami ke dalam hidup Anda?
WM: Saya sedang menulis tentang ini di jurnal saya malam itu. Kenyataannya adalah setiap kali saya memberikan cinta, kapasitas saya untuk mencintai menjadi berkembang. Dalam beberapa hal, kita tahu bahwa kita tidak bisa memiliki terlalu banyak teman, well, kita juga tidak bisa memiliki terlalu banyak kekasih. Ini adalah matematika yang sederhana: ketika Anda mencintai satu orang, cinta yang Anda rasakan bagi orang lain tidaklah berkurang atau menghilang. Cinta dapat menjadi sebuah neraka obat-obatan yang dahsyat! Kadang-kadang saya merasakan seperti ketika orang-orang lain sibuk mengobati diri pada saat mereka menghancurkan diri sendiri, saya mencoba untuk secara berani dan menyerang untuk menyuarakan tentang pentingnya hasrat, gairah, gejolak di dalam hati, cinta, emosi, dan pentingnya membangun hubungan yang bermakna dengan setiap orang yang Anda temui. Salah satu manfaat paling penting dalam 13 tahun hubungan terbuka, yang telah berakhir tahun lalu, telah menjadi satu kenyataan bahwa saya telah dirawat dan dipupuk oleh hubungan-hubungan lain di luar sana dimana mereka masih sangat bersemangat, sangat intim, semua di dalamnya. Jadi ketika mitra utama saya pergi, saya masih memiliki jaringan kekasih dan teman-teman dan keluarga yang mengagumkan, saling mendukung, dan yang akan selalu ada. Saya telah melatih hati dan jiwaku dengan cara dimana kebanyakan orang akan lari ketakutan. Saya akan hidup dan mati sebagai seorang perempuan yang menjalani hidupnya dengan caranya sendiri, yang menetapkan standar-standarnya sendiri, dan bebas untuk mencintai siapapun yang saya inginkan dan bagaimana saya menginginkannya. Saya ingin melihat kembali hidup saya ketika saya nanti berusia 80 dan merasa nyaman dengan semua cinta yang telah saya berikan, dan bukan tentang bagaimana saya menahan diri atau menegakkan dinding-dinding atau menahan diri untuk alasan ini atau itu. Mengejar kebebasan pribadi semacam ini telah membawa saya pada banyak sekali kepuasan serta pencapaian dalam hidup saya.

Silakan periksa website saya di www.wendyomatik.com. Dan berikan dukungan pada penerbitan kecil yang independen tentang perempuan yang didistribusikan melalui Profane Existence. Terima kasih yang tulus dihaturkan bagi dukungan dari semua orang, dan pelukan hangat untuk Adrienne dan Dan.


BUKU-BUKU TENTANG POLYAMORY:
Skin: Talking about Sex, Class & Literature by Dorothy Allison
Polyamory: The New Love without Limits by Dr. Deborah M. Anapolis
The Ethical Slut: A Guide to Infinite Sexual Possibilities by Dossie Easton & Catherine A. Liszt
Breaking the Barriers to Desire: New Approaches to Multiple Relationships by Kevin Lano & Claire Parry
Living My Life: An Autobiography by Emma Goldman
The Traffic in Women and Other Essays on Feminism by Emma Goldman
Lesbian Polyfidelity by Celeste West
The Lesbian Polyamory Reader by Marcia Munson & Judith P. Stelboum (eds.)




Jumat, 02 April 2010

Kutil: Kehidupan Rahasia Seorang Tukang Cukur

Pada tahun 1945, Kutil, bernama asli Sakhyani, seorang tukang cukur sekaligus preman desa di daerah Talang, kabupaten Tegal, Jawa Tengah, bertransformasi menjadi seorang pahlawan. Sebagai seorang yang lahir pada dekade 1970-an, amatlah sulit untuk mendengar kabar mengenai namanya. Tak ada setitikpun dalam pelajaran sejarah yang diberikan guru-guru semenjak bersekolah di Sekolah Dasar, pernah mengungkit namanya, ataupun peristiwa yang membesarkan namanya. Kutil seakan tak pernah eksis. Peristiwa yang membuatnya terkenal juga sama. Bahkan hingga hari ini, peristiwa tersebut masih tidak dibuka sepenuhnya. Dalam catatan militer, peristiwa tersebut hanyalah sekedar kasus dari sekian banyak kasus pemberontakan—yang sebagiannya, seperti biasa, dilabeli sebagai pekerjaan terselubung gerakan komunisme. Dalam catatan tertulis, tercatat secara resmi hanya satu buah buku yang membahas peristiwa tersebut. Sitok Srengenge, seorang sastrawan kaliber nasional, pernah menerbitkan sebuah cerita bersambung dalam Sinar Merdeka di tahun 2005 mengenai kehidupan Kutil, tapi itupun tak pernah menggugah banyak. Seorang mahasiswi jurusan sejarah di Semarang juga pernah menyusun skripsi mengenai kehidupan sang tokoh, tapi lagi-lagi, itupun hanya sekedar menjadi dokumen yang tak mampu berbicara apapun. Sejarah adalah milik mereka yang menang, seorang bijak pernah berkata demikian. Mungkin ucapan tersebut benar adanya, toh Kutil dan gerakan yang ia bantu letupkan memang pada akhirnya ditundukkan. Kutil sendiri ditembak mati.


Peristiwa yang melambungkan namanya, adalah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Pemberontakan Tiga Daerah. Nama tersebut memang berkaitan dengan nama lokasi di mana di tiga daerah, pemberontakan meletup secara simultan: Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Pemberontakan tersebut meletup di sekitaran Oktober 1945, kala Indonesia sedang dilanda dengan euforia kemerdekaan. Pemberontakan ini, mungkin memang tidak dikenal—atau sengaja dilupakan—akibat karakteristiknya yang dalam kultur popular dewasa ini dikenal dengan istilah anti-hero. Di sana, isu mengenai kekuasaan dipertanyakan dengan aksi yang tidak tanggung-tanggung: bangsawan, kolonial, elit-elit daerah, diarak, dipermalukan dan banyak di antaranya dibunuh. Para petani dan buruh-buruh miskin, bangkit mengangkat senjata, menyerang dan membunuhi anggota-anggota kelas atas. Tokoh yang namanya menjulangpun bukanlah tokoh dari pihak yang baik sebagaimana pahlawan-pahlawan lainnya sebagaimana yang tertulis di buku sejarah, tokohnya adalah lenggaong atau preman desa. Pemberontakan tersebut memang pemberontakan melawan kolonialisme Jepang, tapi ia juga adalah pemberontakan melawan pemerintahan formal Republik Indonesia yang kala itu berada di tangan Sukarno—tidak untuk mendirikan negara terpisah seperti yang dikumandangkan oleh banyak daerah lain, tapi sekedar menuntut otonomi penuh atas daerah dan cara hidup di tempat di mana mereka tinggal.


Satu kasus yang dianggap paling memalukan oleh cukup banyak pihak, adalah dengan diaraknya adik kandung R.A. Kartini, Kardinah, akibat posisi sosialnya yang merupakan bagian dari kelas bangsawan. Memang Kardinah berhasil diselamatkan oleh beberapa orang yang bersimpati padanya, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan untuk mengeksekusinya. Jenderal Sudirman, sang tokoh gerilya dalam episode-episode perlawanan terhadap koloni Belanda, mengaku kebingungan atas peristiwa pemberontakan tersebut. Presiden Sukarno bahkan juga pernah tercatat menyatakan bahwa Tiga Daerah adalah sebuah negara sendiri, karena penduduknya tidak mengakui kekuasaan pemerintah pusat. Nama Kardinah diabadikan sebagai nama sebuah Rumah Sakit Umum di Tegal, sementara nama Kutil, nyaris tetap tak pernah eksis di benak kita semua. Semua pihak formal, atau yang diakui secara legal oleh negara ini, memilih menutup mulut mengenai peristiwa tersebut.


Kutil menutup mata, setelah ia menolak matanya ditutup di hadapan regu tembak Republik Indonesia, akibat terjangan peluru, di pinggir pantai dekat Pekalongan pada 5 Mei 1951.


Kutil, yang dalam bahasa Jawa berarti “Bintil Kecil”, atau juga bisa diartikan sebagai “pencopet”, adalah anak seorang pedagang emas dari Taman dekat Pemalang. Ia hidup di pinggir pelabuhan yang ramai dengan arus perdagangan. Sebagaimana anak yang dibesarkan dengan situasi keras kawasan pelabuhan di bawah orang tua yang tak berkecukupan, membuat Kutil dikenal sebagai anak nakal, atau “bangor” apabila menuruti logat Tegal.


Memasuki usia dewasa, Kutil bekerja sebagai tukang cukur sekaligus pedagang barang bekas dan penyalur barang-barang yang dibutuhkan tapi sulit didapat. Beberapa orang menyatakan bahwa ia mampu melakukan hal tersebut karena ia hafal dengan seluk beluk perdagangan gelap yang menyebar dari kota ke kota, hingga ke kota Bandung yang kala itu terkenal sebagai tempat komersial yang cukup berkembang.


Di bawah kekuasaan kolonial, gerakan-gerakan perlawanan memang dikenal menjalin kontak dengan sisi-sisi gelap masyarakat: bandit, kriminal, perampok dan preman-preman setempat. Dari PKI (Partai Komunis Indonesia) hingga Sarekat Islam, nyaris semuanya memiliki kontak yang intens dengan kelompok-kelompok tersebut nyaris di tiap daerah di mana organisasi mereka berkembang dan diterima masyarakat setempat. Saat situasi memanas, terjadi beberapa letupan, baik yang terorganisir maupun yang hadir secara spontan. Di sinilah petualangan Kutil bermula. Ia dibuang ke Digul akibat keterlibatan mereka dalam pemberontakan besar melawan Belanda pada 1926, bersama dua orang kawan dekatnya, Slamet dan Washari. Ia tak terlalu lama berkutat di Digul karena ia, bersama kedua kawan dekatnya pula, berhasil melarikan diri setelah membunuh sipir Belanda dan mencuri perahu. Dalam waktu yang relatif singkat, ia memang telah hadir kembali di Tegal, kota yang membesarkannya.


Tak lama dari setibanya kembali di Tegal, Kutil menikahi seorang gadis bernama Was’ah yang kemudian melahirkan empat orang anaknya, dua anak lelaki bernama Khambali dan Sapi’i, serta dua orang perempuan bernama Fatimah dan Rokhmah. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari, isterinya membuka warung makan, sementara Kutil kembali pada profesi lamanya sebagai tukang cukur.


Keterlibatannya dalam pemberontakan yang memang dimotori sebagian besarnya oleh PKI, walau tidak seterkenal para tokoh-tokoh pemberontakan lainnya, telah mengajarkan ia satu hal yang mengesampingkan karakteristiknya sebagai kriminal, yaitu bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang penting dan layak untuk diperjuangkan, bahwa tidak seharusnya orang-orang hidup menderita sementara sedikit orang menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah. Pemikiran pertama Kutil, yang tetap hidup di tengah-tengah masyarakat sebagaimana orang lainnya sehingga mampu melihat praktik nyata dari kolonialisasi, adalah mengganti elit-elit pemerintahan dan golongan Pangreh Praja karena baginya, mereka adalah orang-orang yang memperkuat struktur kekuasaan kolonial. Pemikiran Kutil yang naif, dengan pandangan bahwa setiap orang harus mendapatkan jatah yang sama, tak peduli status sosialnya, semakin mendalam saat di awal kemerdekaan, dengan krisisnya Jepang dalam Perang Dunia II, kehidupan masyarakat semakin memburuk akibat pajak yang meningkat dari pemerintah kolonial Jepang.


Kala Jepang dikabarkan menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, gaung tersebut hanya terdengar sayup-sayup di telinga mereka yang tinggal di daerah-daerah yang terletak cukup jauh dari pemerintah pusat di Jakarta. Di Tegal, elit-elit lokal tak berani mengambil keputusan tegas atas kabar yang masih terdengar sayup-sayup tersebut. Balatentara Jepang yang ada juga bersikap ragu-ragu. Maka oleh beberapa pemuda yang dimotori oleh para lenggaong, di beberapa markas tentara Jepang, penjarahan senjata mulai dilakukan, penurunan bendera Matahari Terbit diganti dengan bendera Merah Putih. Situasi mulai memanas, tapi tetap saja, para elit dan bangsawan lokal yang selama ini dipelihara oleh Jepang tak berani mengambil sikap—antara turut memberontak yang berarti melawan tuannya, atau menunggu kepastian kabar tentang kekalahan sang tuan dan datangnya kemerdekaan.


Sesungguhnya situasi masih cukup terkendali, walaupun kelompok-kelompok pemuda mulai bersikukuh bahwa mereka akan membenarkan kabar soal kemerdekaan dengan cara menyatakan diri bahwa mereka memang telah merdeka. Kelompok-kelompok dan badan-badan perjuangan bawah tanah seperti Afdeling-B PKI ataupun laskar-laskar informal lainnya, juga mulai berkonsolidasi untuk memastikan tindak lanjut menuju kemerdekaan yang telah sekian lama diperjuangkan. Tak terlalu lama, kabar benar tersiar dan datang dari pusat pemerintahan, bahwa Indonesia telah menyatakan diri merdeka. Semua bergembira. Sampai datang sebuah keputusan yang justru mengipasi bara yang tersimpan sekian lama.


Pemerintah pusat menginginkan agar pemerintahan diteruskan ke daerah melalui orang-orang yang sebelumnya telah menjabat di kursi-kursi elit kekuasaan daerah. Dengan kata lain, tak ada pergantian tampuk kepemimpinan daerah. Warna bendera yang berkibar di pusat-pusat pemerintahan daerah berganti, tetapi tidak hidup mereka yang berada di bawahnya. Bersamanya, bara mulai berubah menjadi api.



(Bersambung)

ditulis oleh: Crimethought.

Rabu, 31 Maret 2010

Telah terbit sebuah buku saku, "Mengapa Kapitalisme Menyebalkan"




Telah terbit sebuah buku saku berukuran A5 "Mengapa Kapitalisme Menyebalkan", sebuah analisa anti-otoritarian terhadap kapitalisme.
Buku saku ini membahas:

+ Apa itu Kapitalisme?

+ Bagaimana Kapitalisme beroperasi?

+ Bagaimana hal tersebut mempengaruhi hidup harian orang-orang umum?

+ Bagaimana kapitalisme memberi arti pada hidup orang-orang umum?

+ Tetapi Bukankah Kompetisi Menghasilkan Produktivitas?

+ Siapa sesungguhnya yang dipecundangi di bawah sistem Kapitalisme?

+ Jadi... Siapa Sesungguhnya yang Berkuasa di Bawah Kapitalisme?

+ Sesungguhnya Dunia Seperti Apa yang Kita Hidupi Saat Ini?

+ Apa alternatif dari Kapitalisme?

+ Bonus Artikel :
TENTANG KORPORASI, NEGARA, DAN POSISI KORBAN :
Sebuah Wawancara Dengan Dia Yang Masih Melawan

Harga Rp 7.000,-

Untuk wilayah Malang, silahkan hubungi:
+ handphone: 0856 555 212 86

Untuk pemesanan luar kota kami sarankan lebih dari 3 buku untuk menghemat ongkos kirim.
Kontak Katalis:
+ email: tim.katalis@gmail.com
+ handphone: 0856 926 236 96

http://www.katalis.tk/

Jumat, 15 Januari 2010

REVIEW BUKU: TALIPATI - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul


Judul: TALIPATI - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis: Iman Budhi Santosa & Wage Daksinarga
Penerbit: Jalasutra
Download PDF nya: disini

"Semboyanku ialah Amorfati: ..tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan), melainkan juga mencintainya." —Nietzsche

“Wuih, emo banget!,” seingat saya begitu komentar si Ainin waktu saya menunjukkan sebuah buku dengan judul yang memang agak ajaib: TaliPati - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul. Apalagi dengan tampilan cover depannya yang menggugah hasrat untuk bermain-main dengannya: sebuah tali gantungan yang berayun-ayun menghanyutkan.

Buku hasil liputan Iman Budhi Santosa & Wage Daksinarga ini diawali dengan semacam prolog/pengantar yang cukup unik dan ‘emo banget’ tentang seorang sahabat yang bunuh diri, serta tentang perlawanan terakhir seekor kalong (kelelawar hitam besar) yang habis dihujam pelor, yang semua itu merupakan dasar bagi penulisan buku ini. Lalu berikutnya, tanpa bluahh-bluih-bluuuh, penulis langsung menyajikan rangkaian kisah demi kisah tentang bunuh diri di Gunung Kidul.

Mendengar kata Gunung Kidul, kita seakan diajak berjalan-jalan menyusuri alam dan pelosok Gunung Kidul yang selama ini kita kenali dengan image topografinya yang berbukit-bukit, pohon-pohon dan kayu yang meranggas, debu-debu dari kikisan tanahnya yang gersang, berbatu dan berkapur. Bagaimana masyarakatnya memandang alam lingkungan mereka sebagai saudara, tebalnya rasa solidaritas dan kerjasama yang mendarah daging. Dari situ kita dibawa pada ilustrasi perubahan-perubahan akibat modernisasi, pembangunan-isme, yang turut mengoyak pola pikir serta sikap perilaku masyarakat lokal. Akselerasi pembangunan fisik dan ekonomi model orde baru yang diterapkan secara ekstrim sampai ke pelosok. Penebangan dan pembabatan hutan-hutan jati, kayu mahoni, dan kayu keras lain. Bagaimana gaya hidup, sikap dan perilaku keseharian masyarakat lokal di pesedaan yang serentak mengalami perubahan yang terkadang terasa drastis, kemudian kelabakan untuk memenuhi tuntutan material dan pragmatis, atas nama modern.

Penulis secara implisit menyampaikan bahwa D.I. Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu ‘sentra’ kasus bunuh diri terbesar di Indonesia, dengan Gunung Kidul sebagai semacam episentrumnya. Hehee.. jadi ingat bahwa di scene DIY (Do It Yourself) pun banyak juga yang bunuh diri, baik dalam arti harfiah ato yang jauh lebih banyak lagi yang melakukan bunuh diri kelas. Tau lah maksudnya!

Buku hasil reportase ini menggunakan gaya jurnalisme sastra, yang sangat memungkinkan untuk digabungkannya sastra (seni) dengan kaidah-kaidah baku jurnalistik, sehingga fakta, data-data dan informasi dari setiap kasus dapat disajikan melalui tulisan bergaya sastrawi yang tidak kaku atau berat. Hal ini dipilih, mengingat Gunung Kidul dan kasus bunuh diri mempunyai keunikan hubungan yang khas. Karena itulah masing-masing perlu dikisahkan secara bersama-sama sejauh tidak meninggalkan konteksnya. Sebab, selain bunuh diri, Gunung Kidul juga menyimpan kisah-kisah yang dahsyat, seperti perburuan mata air, urbanisasi, sejarah dan legenda, seni budaya dan adat, fenomena metafisika, dsb.

Aroma serta irama tradisi lokal dengan nuansa mistis Jawa yang khas dan kental memenuhi suasana disana-sini. Banyak ilustrasi tentang keunikan-keunikan khas Gunung Kidul, kepercayaan-kepercayaan yang terus terpatri hingga kini, yang sepintas memang seperti tak masuk di akal, yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain, tapi kadang juga menarik untuk direnungkan lebih dalam.. Liat saja istilah-istilah berikut: pulung gantung, paceklik, pagebluk, dsb. Untung saja penulis sudah menyiapkan semacam kamus/glosarium bahasa jawa, untuk membantu menerjemahkan makna dari banyak ungkapan-ungkapan lokal dalam percakapan khas jawa yang bertebaran disana-sini.

Banyak keajaiban atau kemustahilan yang terjadi di balik peristiwa-peristiwa bunuh diri, khususnya di Gunung Kidul ini. Apalagi dengan logika othak-athik gathuk khas jawa, ditambah dengan mitos-mitos dan kepercayaan yang secara tidak langsung mengisyaratkan adanya semacam pengakuan tidak tertulis bahwa fenomena bunuh diri di Gunung Kidul adalah suatu peristiwa khas yang berkaitan dengan ‘kosmos’ setempat.

Secara kasat mata, bunuh diri dimungkinkan sebagai suatu cara protes sosial, ekspresi dendam yang tak terbalaskan, atau wujud kontrol diri yang rapuh, dsb. Banyak ilustrasi tentang perasaan kesia-siaan, naluri alamiah masokistik, naluri menyakiti diri sendiri untuk melampiaskan kekecewan atas hidup dan diri sendiri. Namun, apapun, bunuh diri sepertinya adalah suatu perbuatan yang sebenarnya amat dibenci oleh warga Gunung Kidul, perbuatan yang dapat mencoreng martabat keluarga maupun sanak kerabat yang tidak tahu apa-apa. Hal itu terwujud dalam kepercayaan-kepercayaan yang kemudian mempengaruhi perlakuan terhadap jenazah pelaku yang sekaligus sebagai korban, atau juga media-media yang digunakan dalam kasus bunuh diri.

Masyarakat Gunung Kidul juga mempunyai kebiasaan mem-peti-es-kan kasus-kasus kematian akibat bunuh diri, demi harga diri atau ketenangan bersama. Karena perbuatan itu dinilai ‘aib’, tak manusiawi, menyalahi kodrat, dll. Maka masyarakat perlu ‘menyensornya’ dari catatan sejarah mereka sendiri, semacam penghapusan terhadap realitas yang tak diharapkan dan sengaja ditolak keberadaannya oleh masyarakat. Sangat emo sekali!

Di setiap akhir cerita liputannya selalu ada semacam sesi tersendiri untuk sedikit menyingkap misteri dari alasan-alasan atau sebab-musabab terjadinya bunuh diri. Agaknya hampir semua peristiwa bunuh diri di kawasan ini bukan dipicu oleh masalah-masalah besar dari luar, tetapi cenderung berasal dari dalam, dari diri pribadi yang bersangkutan. Masalah-masalah yang diderita menjelma semacam cacing yang terus-menerus menggerogoti perasaan dan kesadaran. Sampai-sampai si penderita benar-benar menjadi rapuh. Dan di saat-saat seperti itulah, begitu muncul pemicunya, apapun bisa terjadi. Sangat emo sekali!

Namun yang jelas, kasus bunuh diri yang banyak terjadi seperti di Gunung Kidul kerahasiaan faktor penyebabnya benar-benar dirahasiakan oleh pelakunya. Dan pada akhirnya setiap kasus akan tetap menjadi teka-teki. Menjadi misteri yang sulit dipecahkan secara tuntas, apalagi karena yang bersangkutan sendiri toh telah tiada. Kita yang tertinggal hanya bisa meraba-raba, menduga-duga sejauh yang bisa kita tangkap dan cerna. Dan kalaupun ada juga korban atau pelaku yang secara ajaib masih hidup dan bisa diselamatkan, informasi yang bisa dikorek juga nampaknya tak pernah lengkap.

Peristiwa bunuh diri harus diakui merupakan sebuah peristiwa besar dan kompleks karena memiliki kaitan dengan seluruh aspek kehidupan. Jadi bukan semata-mata pengaruh karakter manusia, kondisi sosial budaya, pendidikan, geografi, ekonomi, sejarah, mistik, pulung gantung, dsb. Meskipun masing-masing aspek memiliki akses juga ke sana. Peristiwa bunuh diri merupakan salah satu manifestasi totalitas keberadaan manusia sebagai makhluk hidup di alam semesta ini ketika mengalami atau berada pada situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan serta mendorong terjadinya realita kehidupan itu. Karena itulah setiap kasus bunuh diri akan selalu nampak sebagai peristiwa yang remang-remang. Nyata, tapi tak sepenuhnya bisa dimengerti. Sangat emo sekali!

Ada 13 kasus (hmm.. 13?!) yang terekam dan dipaparkan di buku yang terasa sedikit horor ini, dengan beberapa di antaranya merupakan kasus-kasus khusus. Dan beberapa juga sudah sempat saya convert menjadi bentuk digital, file PDF 26 halaman 348 KB, ato file DOC 26 halaman 303 KB.

Btw, pernah dengar tentang satu penelitian yang menyatakan bahwa mayoritas remaja-remaja yang gemar memakai eye-liner di matanya, seperti kebanyakan emo-kids atau juga gothic, ternyata memiliki kecenderungan besar untuk bunuh diri. Prosentase kecenderungan tersebut paling tidak adalah lebih besar daripada remaja lain yang tak berurusan dengan eye-liner. Hahaa.. Tapi apapun, biar kamu emo kids sejati, atau progressive - gothic - romantic - anarko - skate - crew, atau xsatanicxcampursarianxhipxmetalxhopxrockerx, atau seorang hyper-brutal-raw-hippies-dangduter-banggedhh! kalo mau bunuh diri ya bunuh diri aja.. ya kan?! Hehee..


planetmungil@hotmail.com

Kamis, 14 Januari 2010

Mengapa Komunitas Bukan Individu menjadi Injak Beling Kolektif?!

Selamat pagi kawan semua!! Sorry yah, rasanya udah lama banget blog ini tidak kami update. Kemarin kami sedang tertidur panjang dan bermimpi buruk, tercerabut semakin dalam oleh penjara kehidupan modern yang nggak kenal ampun..hehe. Mungkin kalian heran, mengapa kami mengubah nama blog ini, dari sebelumnya yang bernama "komunitasbukanindividu" (yang kami ambil dari nama kolektif kami: Komunitas Bukan Individu) menjadi "injakbeling" (kolektif injakbeling). Ini dikarenakan Komunitas Bukan Individu telah kami bubarkan atas pilihan personal dan kesibukan dari masing-masing individu yang berada di dalamnya. Dan pada akhirnya tersisalah kami beberapa individu yang masih sering bertemu, berkumpul, ngobrol dan masih berhasrat untuk meneruskan media blog ini sebagai sarana berbagi. Dan juga, kami masih ingin terus mencari kawan-kawan baru, untuk berbagi, berbagi cerita, ide, cinta, gelisah, ato apapun itu. Sehingga pertemanan kita tidak hanya terhenti dalam kotak monitor busuk ini.

Okey, kita flash back!
Komunitas Bukan Individu secara tidak sengaja terbentuk beberapa hari sebelum Mayday tahun 2008 silam. Tetapi sebelumnya kami juga sudah sering bertemu, berkumpul, nongkrong bareng, ngopi, nonton gig's punk dan undergorund, barter zine, juga menyablon kaos. Kami sempat beberapa kali mengorganisir Food Not Bombs, mengadakan workshop keterampilan cetak cukil, menggambar, membuat patung dari bubur kertas, dll.

Kenapa Injak Beling?
Pada dasarnya kami tidak ambil pusing soal nama pengganti ini, karena kami hanya mencari nama lain yang terdengar lebih tidak serius, karena kami memang sekumpulan pecundang yang suka bercanda dengan serius.. haha :D

Dan injak beling adalah sebuah kolektif atau kumpulan individu, yang tetap menolak tertunduk pada kuasa modal atau para pembaharu dunia bernama pasar bebas. Dan walaupun sebenernya kami masih tetep saja terinjak, tapi bukan itu masalahnya dan emang mana ada sih di era modern ini seorang anti-kapitalis yang bisa bener-bener 100% bisa bebas lepas dari kapitalisme itu sendiri? (aku tidak terlalu yakin -penulis). Kami juga malas berdebat panjang lebar soal penjara hidup ini, jika kita hanya mengeluh dan tidak mulai melakukan sesuatu yang pada kenyataannya tidak merubah apapun.. hehe.

Okedeh kawan, selamat menyimak postingan-postingan terbaru kami.. dan kami sangat bersedia kalo kalian mo ngajakin kami ketemuan, ngobrol, ngopi, ngeteh, bermain, dst dst.