"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Jumat, 15 Januari 2010

REVIEW BUKU: TALIPATI - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul


Judul: TALIPATI - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis: Iman Budhi Santosa & Wage Daksinarga
Penerbit: Jalasutra
Download PDF nya: disini

"Semboyanku ialah Amorfati: ..tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan), melainkan juga mencintainya." —Nietzsche

“Wuih, emo banget!,” seingat saya begitu komentar si Ainin waktu saya menunjukkan sebuah buku dengan judul yang memang agak ajaib: TaliPati - Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul. Apalagi dengan tampilan cover depannya yang menggugah hasrat untuk bermain-main dengannya: sebuah tali gantungan yang berayun-ayun menghanyutkan.

Buku hasil liputan Iman Budhi Santosa & Wage Daksinarga ini diawali dengan semacam prolog/pengantar yang cukup unik dan ‘emo banget’ tentang seorang sahabat yang bunuh diri, serta tentang perlawanan terakhir seekor kalong (kelelawar hitam besar) yang habis dihujam pelor, yang semua itu merupakan dasar bagi penulisan buku ini. Lalu berikutnya, tanpa bluahh-bluih-bluuuh, penulis langsung menyajikan rangkaian kisah demi kisah tentang bunuh diri di Gunung Kidul.

Mendengar kata Gunung Kidul, kita seakan diajak berjalan-jalan menyusuri alam dan pelosok Gunung Kidul yang selama ini kita kenali dengan image topografinya yang berbukit-bukit, pohon-pohon dan kayu yang meranggas, debu-debu dari kikisan tanahnya yang gersang, berbatu dan berkapur. Bagaimana masyarakatnya memandang alam lingkungan mereka sebagai saudara, tebalnya rasa solidaritas dan kerjasama yang mendarah daging. Dari situ kita dibawa pada ilustrasi perubahan-perubahan akibat modernisasi, pembangunan-isme, yang turut mengoyak pola pikir serta sikap perilaku masyarakat lokal. Akselerasi pembangunan fisik dan ekonomi model orde baru yang diterapkan secara ekstrim sampai ke pelosok. Penebangan dan pembabatan hutan-hutan jati, kayu mahoni, dan kayu keras lain. Bagaimana gaya hidup, sikap dan perilaku keseharian masyarakat lokal di pesedaan yang serentak mengalami perubahan yang terkadang terasa drastis, kemudian kelabakan untuk memenuhi tuntutan material dan pragmatis, atas nama modern.

Penulis secara implisit menyampaikan bahwa D.I. Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu ‘sentra’ kasus bunuh diri terbesar di Indonesia, dengan Gunung Kidul sebagai semacam episentrumnya. Hehee.. jadi ingat bahwa di scene DIY (Do It Yourself) pun banyak juga yang bunuh diri, baik dalam arti harfiah ato yang jauh lebih banyak lagi yang melakukan bunuh diri kelas. Tau lah maksudnya!

Buku hasil reportase ini menggunakan gaya jurnalisme sastra, yang sangat memungkinkan untuk digabungkannya sastra (seni) dengan kaidah-kaidah baku jurnalistik, sehingga fakta, data-data dan informasi dari setiap kasus dapat disajikan melalui tulisan bergaya sastrawi yang tidak kaku atau berat. Hal ini dipilih, mengingat Gunung Kidul dan kasus bunuh diri mempunyai keunikan hubungan yang khas. Karena itulah masing-masing perlu dikisahkan secara bersama-sama sejauh tidak meninggalkan konteksnya. Sebab, selain bunuh diri, Gunung Kidul juga menyimpan kisah-kisah yang dahsyat, seperti perburuan mata air, urbanisasi, sejarah dan legenda, seni budaya dan adat, fenomena metafisika, dsb.

Aroma serta irama tradisi lokal dengan nuansa mistis Jawa yang khas dan kental memenuhi suasana disana-sini. Banyak ilustrasi tentang keunikan-keunikan khas Gunung Kidul, kepercayaan-kepercayaan yang terus terpatri hingga kini, yang sepintas memang seperti tak masuk di akal, yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain, tapi kadang juga menarik untuk direnungkan lebih dalam.. Liat saja istilah-istilah berikut: pulung gantung, paceklik, pagebluk, dsb. Untung saja penulis sudah menyiapkan semacam kamus/glosarium bahasa jawa, untuk membantu menerjemahkan makna dari banyak ungkapan-ungkapan lokal dalam percakapan khas jawa yang bertebaran disana-sini.

Banyak keajaiban atau kemustahilan yang terjadi di balik peristiwa-peristiwa bunuh diri, khususnya di Gunung Kidul ini. Apalagi dengan logika othak-athik gathuk khas jawa, ditambah dengan mitos-mitos dan kepercayaan yang secara tidak langsung mengisyaratkan adanya semacam pengakuan tidak tertulis bahwa fenomena bunuh diri di Gunung Kidul adalah suatu peristiwa khas yang berkaitan dengan ‘kosmos’ setempat.

Secara kasat mata, bunuh diri dimungkinkan sebagai suatu cara protes sosial, ekspresi dendam yang tak terbalaskan, atau wujud kontrol diri yang rapuh, dsb. Banyak ilustrasi tentang perasaan kesia-siaan, naluri alamiah masokistik, naluri menyakiti diri sendiri untuk melampiaskan kekecewan atas hidup dan diri sendiri. Namun, apapun, bunuh diri sepertinya adalah suatu perbuatan yang sebenarnya amat dibenci oleh warga Gunung Kidul, perbuatan yang dapat mencoreng martabat keluarga maupun sanak kerabat yang tidak tahu apa-apa. Hal itu terwujud dalam kepercayaan-kepercayaan yang kemudian mempengaruhi perlakuan terhadap jenazah pelaku yang sekaligus sebagai korban, atau juga media-media yang digunakan dalam kasus bunuh diri.

Masyarakat Gunung Kidul juga mempunyai kebiasaan mem-peti-es-kan kasus-kasus kematian akibat bunuh diri, demi harga diri atau ketenangan bersama. Karena perbuatan itu dinilai ‘aib’, tak manusiawi, menyalahi kodrat, dll. Maka masyarakat perlu ‘menyensornya’ dari catatan sejarah mereka sendiri, semacam penghapusan terhadap realitas yang tak diharapkan dan sengaja ditolak keberadaannya oleh masyarakat. Sangat emo sekali!

Di setiap akhir cerita liputannya selalu ada semacam sesi tersendiri untuk sedikit menyingkap misteri dari alasan-alasan atau sebab-musabab terjadinya bunuh diri. Agaknya hampir semua peristiwa bunuh diri di kawasan ini bukan dipicu oleh masalah-masalah besar dari luar, tetapi cenderung berasal dari dalam, dari diri pribadi yang bersangkutan. Masalah-masalah yang diderita menjelma semacam cacing yang terus-menerus menggerogoti perasaan dan kesadaran. Sampai-sampai si penderita benar-benar menjadi rapuh. Dan di saat-saat seperti itulah, begitu muncul pemicunya, apapun bisa terjadi. Sangat emo sekali!

Namun yang jelas, kasus bunuh diri yang banyak terjadi seperti di Gunung Kidul kerahasiaan faktor penyebabnya benar-benar dirahasiakan oleh pelakunya. Dan pada akhirnya setiap kasus akan tetap menjadi teka-teki. Menjadi misteri yang sulit dipecahkan secara tuntas, apalagi karena yang bersangkutan sendiri toh telah tiada. Kita yang tertinggal hanya bisa meraba-raba, menduga-duga sejauh yang bisa kita tangkap dan cerna. Dan kalaupun ada juga korban atau pelaku yang secara ajaib masih hidup dan bisa diselamatkan, informasi yang bisa dikorek juga nampaknya tak pernah lengkap.

Peristiwa bunuh diri harus diakui merupakan sebuah peristiwa besar dan kompleks karena memiliki kaitan dengan seluruh aspek kehidupan. Jadi bukan semata-mata pengaruh karakter manusia, kondisi sosial budaya, pendidikan, geografi, ekonomi, sejarah, mistik, pulung gantung, dsb. Meskipun masing-masing aspek memiliki akses juga ke sana. Peristiwa bunuh diri merupakan salah satu manifestasi totalitas keberadaan manusia sebagai makhluk hidup di alam semesta ini ketika mengalami atau berada pada situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan serta mendorong terjadinya realita kehidupan itu. Karena itulah setiap kasus bunuh diri akan selalu nampak sebagai peristiwa yang remang-remang. Nyata, tapi tak sepenuhnya bisa dimengerti. Sangat emo sekali!

Ada 13 kasus (hmm.. 13?!) yang terekam dan dipaparkan di buku yang terasa sedikit horor ini, dengan beberapa di antaranya merupakan kasus-kasus khusus. Dan beberapa juga sudah sempat saya convert menjadi bentuk digital, file PDF 26 halaman 348 KB, ato file DOC 26 halaman 303 KB.

Btw, pernah dengar tentang satu penelitian yang menyatakan bahwa mayoritas remaja-remaja yang gemar memakai eye-liner di matanya, seperti kebanyakan emo-kids atau juga gothic, ternyata memiliki kecenderungan besar untuk bunuh diri. Prosentase kecenderungan tersebut paling tidak adalah lebih besar daripada remaja lain yang tak berurusan dengan eye-liner. Hahaa.. Tapi apapun, biar kamu emo kids sejati, atau progressive - gothic - romantic - anarko - skate - crew, atau xsatanicxcampursarianxhipxmetalxhopxrockerx, atau seorang hyper-brutal-raw-hippies-dangduter-banggedhh! kalo mau bunuh diri ya bunuh diri aja.. ya kan?! Hehee..


planetmungil@hotmail.com

Kamis, 14 Januari 2010

Mengapa Komunitas Bukan Individu menjadi Injak Beling Kolektif?!

Selamat pagi kawan semua!! Sorry yah, rasanya udah lama banget blog ini tidak kami update. Kemarin kami sedang tertidur panjang dan bermimpi buruk, tercerabut semakin dalam oleh penjara kehidupan modern yang nggak kenal ampun..hehe. Mungkin kalian heran, mengapa kami mengubah nama blog ini, dari sebelumnya yang bernama "komunitasbukanindividu" (yang kami ambil dari nama kolektif kami: Komunitas Bukan Individu) menjadi "injakbeling" (kolektif injakbeling). Ini dikarenakan Komunitas Bukan Individu telah kami bubarkan atas pilihan personal dan kesibukan dari masing-masing individu yang berada di dalamnya. Dan pada akhirnya tersisalah kami beberapa individu yang masih sering bertemu, berkumpul, ngobrol dan masih berhasrat untuk meneruskan media blog ini sebagai sarana berbagi. Dan juga, kami masih ingin terus mencari kawan-kawan baru, untuk berbagi, berbagi cerita, ide, cinta, gelisah, ato apapun itu. Sehingga pertemanan kita tidak hanya terhenti dalam kotak monitor busuk ini.

Okey, kita flash back!
Komunitas Bukan Individu secara tidak sengaja terbentuk beberapa hari sebelum Mayday tahun 2008 silam. Tetapi sebelumnya kami juga sudah sering bertemu, berkumpul, nongkrong bareng, ngopi, nonton gig's punk dan undergorund, barter zine, juga menyablon kaos. Kami sempat beberapa kali mengorganisir Food Not Bombs, mengadakan workshop keterampilan cetak cukil, menggambar, membuat patung dari bubur kertas, dll.

Kenapa Injak Beling?
Pada dasarnya kami tidak ambil pusing soal nama pengganti ini, karena kami hanya mencari nama lain yang terdengar lebih tidak serius, karena kami memang sekumpulan pecundang yang suka bercanda dengan serius.. haha :D

Dan injak beling adalah sebuah kolektif atau kumpulan individu, yang tetap menolak tertunduk pada kuasa modal atau para pembaharu dunia bernama pasar bebas. Dan walaupun sebenernya kami masih tetep saja terinjak, tapi bukan itu masalahnya dan emang mana ada sih di era modern ini seorang anti-kapitalis yang bisa bener-bener 100% bisa bebas lepas dari kapitalisme itu sendiri? (aku tidak terlalu yakin -penulis). Kami juga malas berdebat panjang lebar soal penjara hidup ini, jika kita hanya mengeluh dan tidak mulai melakukan sesuatu yang pada kenyataannya tidak merubah apapun.. hehe.

Okedeh kawan, selamat menyimak postingan-postingan terbaru kami.. dan kami sangat bersedia kalo kalian mo ngajakin kami ketemuan, ngobrol, ngopi, ngeteh, bermain, dst dst.