"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Minggu, 24 April 2011

Review Film (Proyek Pemutaran Film Anti Globalisasi)

Surplus
Terrorized Into Being Consumers

Sutradara : Erik Gandini
Produksi : ATMO (Sweden)
Tahun : 2003
Durasi : 54 menit
Bahasa : Inggris, Latin dan Skandinavia
Subtitle : Indonesia

Masyarakat konsumen telah menghancurkan lingkungan. Memusnahkan jutaan spesies tumbuhan dan hewan. Meracuni lautan, sungai, dan danau. Membuang polusi ke udara. Mengisi atmosfer dengan karbondioksida dan gas-gas beracun. Menghancurkan lapisan ozon. Menghabiskan cadangan minyak, batu bara, dan gas serta sumber-sumber daya yang kaya mineral. Memusnahkan hutan-hutan kita dan menghancurkan semua yang kita miliki.

Jadi apa yang tersisa bagi kita?

Itulah narasi pembukaan dalam film ini, secara tajam menyerang gaya hidup konsumerisme dan membeberkan degradasi yang disebabkan olehnya. Terutama diulas berdasarkan pada beberapa pemikiran inti John Zerzan, seorang primitivis yang dianggap sebagai biang keladi kerusuhan, terkait pandangan maupun dukungannya terhadap aksi penghancuran properti hingga abolisi masyarakat industrial.

Dibuka dengan tayangan aksi protes di Genoa pada tahun 2001, kemudian cerita mengenai produksi boneka seksual seharga 6000-7000 dollar di Amerika Serikat, kehidupan masyarakat Kuba di tengah rezim sosialis, keseharian seorang pekerja industri di Stockholm. Dokumentasi ini membeberkan segala macam keburukan konsumerisme.

Sungguh menggugah ketika mendengarkan narasi-narasi yang disampaikan langsung menuju pokok permasalahan aktual melalui iringan musik, dentuman-dentuman, dan pengulangan-pengulangan beberapa scene sehingga seakan-akan mampu memancing rasa emosional kita agar segera beranjak dari kebekuan.

Mengapa kita tidak pernah merasa puas walaupun hidup kita sebenarnya telah cukup makmur? Apakah ini kebahagiaan yang tengah kita cari?

Berawal dari Seattle, Praha, Genoa dan kota-kota besar lainnya, masyarakat dunia terhenyak ketika menyaksikan begitu banyak orang turun ke jalan kemudian menghancurkan kaca-kaca jendela dan membakar bank-bank serta ratusan gerai toko-toko besar. Bahkan para demonstran tersebut tak gentar ketika harus bertempur dengan aparat-aparat bersenjata.

Bukankah semua ini menuntun kita semua menuju satu pertanyaan yang tidak bisa lagi menunggu: sebenarnya apa yang tidak beres dengan dunia ini?


The New Rulers of the World

Sutradara : John Pilger & Alan Lowery
Produksi : Carlton International Media Ltd.
Tahun : 2002
Durasi : 53 menit
Bahasa : Inggris
Subtitle : Indonesia

Para penganjur dan pendukung globalisasi meyakini bahwa proses integrasi yang sengaja dikreasikan secara mengglobal ini akan mampu menciptakan kesejahteraan merata. Sebab aliran modal, teknologi, tenaga kerja maupun komoditas akan bebas bergerak melampaui batas-batas negara dan dipercaya dapat mengangkat setiap wilayah menuju derajat ekonomi yang mapan.

Benarkah seperti itu?

Film dokumenter ini menggambarkan begitu jelas tentang dampak-dampak globalisasi terhadap Indonesia (sebagai negara Dunia Ketiga) melalui berbagai kisah dan tayangan yang memperlihatkan bagaimana kondisi buruh yang setiap hari harus memeras keringat di pabrik-pabrik perusahaan multinasional milik negara Dunia Pertama.

John Pilger, sang pembuat film, menyusup ke dalam pabrik-pabrik seperti Nike, Reebok, Adidas dan GAP dengan cara menyamar sebagai pembeli. Berbekal kamera tersembunyi, ia merekam bagaimana hiruk pikuk situasi di dalam pabrik. Jelas terlihat bahwa disana nasib buruh sangat mengenaskan, dengan jam kerja yang gila ditambah kondisi pabrik yang sama sekali tidak manusiawi. Selain terdapat wawancara dengan beberapa buruh, film ini juga mengisahkan tentang bagaimana kondisi tempat tinggal buruh-buruh tersebut di suatu pemukiman kumuh yang jauh dari layak huni.

Pada sesi lainnya, John Pilger mendatangi Nicholas Stern, pimpinan dari Bank Dunia. Disana ia mewawancarai Stern tentang bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank Dunia dan hubungannya dengan pembantaian oleh rezim Orde Baru demi terealisasinya proses globalisasi di Indonesia. Selanjutnya, John Pilger juga melakukan wawancara dengan Stanley Fischer, wakil direktur International Monetary Fund (IMF), ia juga sempat mengutarakan pada Fischer bagaimana kemungkinan penghapusan utang bagi Indonesia. Namun hal ini tidak disepakati oleh Fischer dengan alasan dapat mengancam kelangsungan pembangunan ekonomi.

Kita dapat langsung melihat bahwa kesejahteraan yang digadang-gadangkan oleh para penganut globalisasi ini terbukti salah besar. Akan selalu terungkap bahwa globalisasi yang didanai oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta didukung oleh rezim penguasa ini banyak menciptakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, alih-alih membawa nasib baik namun justru mempercepat proses pemiskinan massal.

Film ini diakhiri dengan liputan aksi demonstrasi di Seattle pada tahun 1999 yang bertujuan menggagalkan konferensi World Trade Organization (WTO), dan juga aksi Mayday di London. Sekilas contoh gelombang protes menentang globalisasi yang pernah diinisiasikan di berbagai negara dan takkan pernah diberitakan oleh media massa.


On Modern Servitude

Sutradara : Jean-Francois Brient
Narator : Carolina Cajiao
Produksi : Avanti Productions
Tahun : 2010
Durasi : 52 menit
Bahasa : Inggris
Subtitle : Indonesia

Film ini adalah sebuah kegelisahan, atau lebih tepatnya kemuakan dari Jean-Francois Brient terhadap peradaban modern yang menancapkan pondasinya di atas keringat dan darah para budak di seluruh dunia.

Dipaparkan dalam 20 bagian, On Modern Servitude menyuarakan narasi yang disajikan melalui kolase dari berbagai film dokumenter seperti Baraka, Bowling for Columbine, Sicko, Super Size Me, The Take hingga film-film box office semacam 1984, Battle in Seattle, Fight Club, Full Metal Jacket, Gladiator, Terminator III, The Day After Tomorrow, V for Vendetta, dan banyak lainnya. Dalam setiap bagian dibeberkan beragam persoalan dalam perbudakan modern dan sistem perdagangan totaliter yang menjajah segala sektor kehidupan, beberapa di antaranya menyangkut degradasi ekologis, penyembahan terhadap uang, ketertundukan dan ketakutan terhadap dominasi otoritas serta ilusi komoditas/hiburan.

Menurut Brient, perbudakan modern bersifat sukarela, sebab didukung oleh budak-budak di seluruh dunia. Ironisnya, alih-alih terbebaskan dan mampu mengkreasikan kerja-kerja kreatif sesuai potensi yang dimiliki, para budak modern justru menghabiskan hidup serta uangnya untuk membeli komoditas yang sehari-hari memperbudaknya. Para budak memilih sendiri tuan-tuan yang akan mereka patuhi, bersikap apatis dan pasrah atas kehidupan menyedihkan yang dibuat atas nama mereka.

Demi tujuan komersial serta “kemajuan” peradaban maka setiap inci tanah di dunia ini telah diberi pagar pembatas. Kemudian para budak membangun dunia serupa penjara, sebuah tempat yang mengasingkan diri mereka sendiri terhadap kehidupan sosialnya. Hingga perlahan-lahan dunia ini menjadi kotor dan ribut serupa pabrik raksasa. Namun berbeda dengan tahanan, para budak modern justru rela membayar untuk menempati kandangnya sendiri.

Kerelaan ini semakin diperparah dengan keinginan para budak untuk menumpuk komoditas yang mereka percaya bahwa benda-benda tersebut dapat memberikan kebahagiaan hidup. Tetapi para budak luput menyadari bahwa semakin banyak benda-benda yang mereka kumpulkan maka akan semakin absurd untuk memahami sesungguhnya kebahagiaan apa yang sedang mereka kejar.

Komoditas tersebut diproduksi secara besar-besaran hingga tercipta keberlimpahan, kelihatannya bukan suatu masalah, namun hal ini justru masalah besar bagi umat manusia. Keberlimpahan komoditas adalah bukti dari eksploitasi, degradasi dan pemalsuan. Salah satu contoh kecil adalah makanan, di sepanjang jalan, kita menemui gerai-gerai makanan cepat saji, tempat makan favorit bagi mereka yang tidak memiliki banyak waktu luang untuk mempersiapkan makanan sendiri akibat terhisap oleh jam-jam kerja. Belum lagi ancaman bahaya dari rekayasa industri-industri agrokimia seperti bahan pengawet, pestisida, dan racun-racun lainnya.

Lalu dengan adanya keberlimpahan di satu tempat, bagaimana mungkin masih ada kelaparan dan kekurangan fasilitas di tempat lain?

Inilah jawaban dari esensi perbudakan modern, di dalam sebuah sistem dimana ketimpangan berarti kemajuan, maka kelaparan tidak boleh melenyap. Sebab hanya mereka yang memiliki uang yang boleh membeli. Dan untuk itulah kita harus rela menjadi bagian dari perbudakan modern. Kita harus menjual diri kita sendiri.

Pada akhirnya, tubuh kita tidak lagi menjadi milik kita. Segala sesuatu yang kita miliki akan berbalik menjadi penguasa atas diri kita.

Menghadapi penindasan ini, Brient menyerukan sebuah pemberontakan sosial dalam perang yang harus kita lancarkan secara terus menerus dalam hidup keseharian. Sebab ini bukanlah sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mutlak untuk menghancurkan kekuasaan.

Sabtu, 23 April 2011

Proyek Pemutaran Film Anti Globalisasi


Globalisasi adalah suatu proses dimana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait dan mempengaruhi satu sama lain melampaui batas-batas negara. Proses ini kemudian ditandai dengan munculnya globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional dengan dukungan lembaga-lembaga finansial internasional yang diatur melalui organisasi perdagangan global bernama WTO.

Bagi para pendukungnya, globalisasi dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Tetapi pada kenyataannya globalisasi justru melahirkan persoalan-persoalan mengenai keadilan sosial, lingkungan hidup dan HAM, terutama di negara-negara Dunia Ketiga yang secara ekonomi maupun sosial masih jauh terbelakang dibandingkan dengan negara-negara maju yang jauh lebih modern dan mapan. Namun pada kenyataannya Globalisasi memunculkan permasalahan-permasalahan mengenai keadilan sosial dan Hak asasi manusia.

Bagi kami, globalisasi adalah penyeragaman atas nama akumulasi modal. Banyak hal yang dulu bisa dinikmati secara gratis dan menjadi hak setiap manusia, kini dianggap sebagai sebuah komoditas yang harus dibeli. Air, pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan berbagai kebutuhan dasar manusia lainnya kini menjadi barang dagangan yang hanya ditujukan untuk meningkatkan nilai kapital. Kini manusia tak ubahnya mesin-mesin yang perputaran hidupnya hanya untuk bekerja dan mengkonsumsi. Manusia kini hidup di dunia yang didominasi oleh sebuah sistem perdagangan totaliter. Dunia semakin menunjukkan ketidakberesan yang berujung pada keresahan dan kebosanan.

Selain itu, kita sudah menjadi terbiasa melihat, mendengar dan membaca permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh persekongkolan negara dan korporasi dalam mengeruk profit. Alam kita telah menjadi rusak dan tidak seimbang. Sebut saja kasus yang terjadi di Sumatra Utara seperti Indorayon (1996), Teluk Buyat (1998), Petani Persil IV dengan PTPN II di Deli Serdang (2006). Kita bisa melihat juga apa yang terjadi di wilayah Jawa seperti Jakarta dengan pengusurannya yang tiada henti atas nama pembangunan, Garut dengan Serikat petani Pasundan (1999), Kulon Progo (2010), Pati (2008) dan Rembang dengan Semen Gersik (2010), Porong dengan Lumpur Lapindo (2006). Hingga wilayah Timur yaitu Wera (Bima–Nusa Tenggara Barat) dalam menentang masuknya tambang pasir besi dan Papua dengan Freeport, BP Migas, dan kini mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estated) yang melibatkan puluhan investor asing, lokal, investasi triliunan dan lahan yang sangat luas.

Permasalahan di atas dihasilkan melalui persekongkolan antara Perusahan (Korporasi) dan Pemerintah (Negara) dengan mengatasnamakan keuntungan (profit). Sadar atau tidak permasalahan ini akan menimpa kita yang berada disini nantinya. Sadar atau tidak kita menjadi bagian yang terkait dekat dalam sistem ini. Kenyataan-kenyataan di ataslah yang menjadi alasan kami untuk menggalang solidaritas dan menggiatkan kampanye untuk melawan dominasi modal yang terus mengalienasi kehidupan manusia dari kemanusiaannya ke tataran yang lebih luas lagi. Mereka disana berjuang untuk keberlangsungan hidup keluarganya, sedangkan kita disini juga menikmati apa yang dihasilkan oleh mereka, maka sudah selayaknya pula kita mendukung dan melakukan sesuatu untuk perjuangan yang mereka lakukan.

Kegiatan pemutaran film anti globalisasi ini adalah salah satu bentuk solidaritas kami terhadap perlawanan-perlawanan lokal yang terus bermunculan melawan dominasi sistem globalisasi. Kami hanya ingin berbagi keresahan, bahwa ada yang tak beres dengan dunia ini. Mengenai apa yang kemudian kalian pilih untuk melakukan resistensi, itu tergantung persepsi kalian sendiri mengenai kehidupan yang kalian jalani.

Solidaritas dan Perlawanan, sekarang atau tidak sama sekali!!!

Senin, 18 April 2011

Untuk Menjadikan Marx Suci Mereka Harus Menghapus Orang Yang Sebenarnya

Laki-laki dengan kacamata rabunnya yang besar tersenyum, “Kita naik kereta api supaya bisa melihat bagaimana rakyat hidup. Apakah kau membawa serta makanan kaleng?”

Laki-laki kecil bertubuh gemuk tertawa ramah, “Perutku ini payah. Makanan rakyat kita termasuk yang paling tidak higienis di planet ini. Di Barat, air yang mengalir jauh lebih bersih dibandingkan air mineral dalam botol di negara kita.”

“Jadi sekarang ada kontradiksi,” yang mengenakan kacamata rabun besar dengan tajam mengolok-olok. “Kau ingin menikmati semua kesenangan yang diberikan oleh peradaban tanpa mau mengangkat jarimu untuk membangunnya!”

“Membangun peradaban sangatlah sulit. Tetapi tidak begitu dengan memberi jaminan kepada sejumlah kecil orang suatu kehidupan yang beradab. Mengapa? Karena tidak ada yang lebih mudah dari itu. Seperti kukatakan sebelumnya, peradaban adalah perjalanan panjang yang berat. Bagi orang yang seprimitif kita, menggunakan agama untuk menuntun mereka melewati jalan-jalan pintas menuju kemuliaan adalah ratusan kali lebih mudah daripada berusaha membuat mereka beradab.”

Laki-laki berkacamata rabun mengedipkan matanya, “Bukankah itu agak sedikit sinis? Apa yang ingin kau katakan?”

Laki-laki kecil tertawa terpekik-pekik. “Kebenaran mana yang tidak sinis? Anggap dirimu seorang raja, kau lebih memilih memamerkan pakaian bagusmu di podium pada acara parade militer daripada memeras otak berusaha memahami bagaimana caranya menciptakan alat penapis beras baru atau pengolahan manufaktur baru. Di sanalah semua itu akan mengarah, peradaban yang kau impikan.

Hal itu memaksa raja-raja untuk ikut mencari-cari, menjilat kaum intelektual yang arogan dan berubah-ubah. Tidakkah kau lihat? Yang perlu kau lakukan adalah menaiki podium yang bertengger di atas lautan spanduk yang berdesir. Bayonet berkilau di sekelilingmu. Meriam meledak. Itu baru yang dinamakan kesenangan penghabisan. Kepuasan akan kekuasaan. Uang. Cinta. Mengapa, setelah kekuasaan, semua itu tidak ada apa-apanya. Jadi kita memerlukan agama.”

“Tetapi selama bertahun-tahun kudengar kau mengutip Marx, ‘Agama adalah candu bagi masyarakat’.”

Laki-laki kecil bertubuh gemuk bahkan lebih menggelikan lagi, “Kau lucu. Aku ini profesor. Ketika aku menaiki podium, aku memberikan kuliah yang sebelumnya sudah diminta untuk diajarkan kepada mahasiswa. Para pelajar memerlukan makanan ini sama seperti mereka menghapal kata ‘cita-cita’ di luar kepala. Kita bukanlah pengikut. Kau tidak perlu menjadi fanatik. Jika agama adalah racun memabukkan, maka tak seorang pun memerlukan racun itu sebanyak kebutuhan kita padanya!”

Kawan seperjalanannya hanya menganggukkan kepalanya. “Jadi, inilah kesimpulanmu.”

Laki-laki kecil itu memandang kawannya dengan mulut menganga, bingung. “Ternyata kau masih seperti anak sekolahan. Itu yang aku suka darimu. Jadi kau pikir kita ini ateis? Tentu saja bukan! Kita menghancurkan kuil dan mengosongkan pagoda supaya kita bisa menggantungkan foto Marx, menobatkan suatu bentuk ketuhanan baru bagi rakyat. Ingatkah kau akan kampanye pembenaran ideologi angkatan bersenjata? Dengan kader dari tahun 1952 sampai 1953? Apakah kampanye itu memiliki perbedaan dengan pengakuan dosa di gereja? Kita menciptakan dosa. Kita menyiksa diri kita sendiri. Kita bertobat sebagai ganti untuk mendapatkan jiwa yang suci, berharap hal itu akan membawa kita lebih dekat kepada Yang Mahakuasa. Sekarang, ceritanya sama saja.”

Laki-laki kecil itu berhenti, batuk dan mendesah. Kawannya tidak berkata apa-apa. Mereka berdua mulai merokok lagi. Yang kecil menghembuskan beberapa kepulan asap, mengedipkan mata, dan memandang ke arah kawannya, “Pernahkah kau membaca biografi Marx?”

“Ya, hanya kata pengantar dalam buku The Holy Family.”

“Tentu saja! Untuk menjadikan Marx suci mereka harus menghapus orang yang sebenarnya. Kalau aku, aku sudah mengunjungi rumah tempatnya dilahirkan. Aku sudah menandatangani begitu banyak buku tamu di museum yang dipersembahkan baginya. Aku bahkan menaruh rangkaian bunga di atas batu nisannya di Inggris.”

Ia berhenti sejenak dan bersandar ke kawannya, matanya mengerlip, mengejek. Gagang kacamatanya yang berpinggiran emas berkilat di bawah alis matanya yang tipis, “Jelas, orang hebat tidak bisa dinilai berdasarkan kehidupan pribadinya. Tapi, ini sekadar lelucon, tahukah kau seperti apa sebenarnya kehidupan nyata Karl Marx itu? Ia orang dengan moral bejat. Ketika masih menjadi mahasiswa, ia keluyuran ke tempat pelacuran. Ia paling suka gadis gipsi. Pada masa dewasanya, semua orang tahu ia menghamili pembantunya sendiri. Baru ketika ia meninggal istrinya, Jenny, memaafkannya dan mengadopsi anak haram itu. Ha ha ha! Ha ha!” Mereka berdua tertawa berbarengan. Mereka menyeka mata mereka dengan sapu tangan dan mengeluarkan rokok mereka lagi.

- Secuil adegan satir dari buku Novel Tanpa Nama (Novel Without A Name), Duong Thu Huong, Alih Bahasa oleh Sapardi Djoko Damono, IndonesiaTera, 2003, hal. 157-160.