“Lihatlah!
Betapa banyak barang yang diperlukan
orang Athena untuk hidup!”
— Socrates
Perkembangan dunia yang dinamis saat ini justru menuju sebuah kondisi yang kian menyempit. Dunia tak ubahnya sebuah desa global dimana segala macam informasi, teknologi, kebudayaan dan modal bergerak begitu cepat melewati batas-batas negara. Segala hal kini semakin mudah diakses, tak lagi membutuhkan waktu yang lama. Para pendukung globalisasi beranggapan bahwa sistem ini merupakan pemicu meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga dunia. Namun, pada kenyataannya globalisasi tidak hanya membawa kemajuan tetapi juga memunculkan ekses-ekses yang tidak menguntungkan. Globalisasi ternyata membawa dunia ke dalam kondisi yang tidak pasti, penuh dengan ketimpangan dan bersifat hegemonik. Salah satu dampak dari globalisasi adalah munculnya budaya konsumtif dan masyarakat konsumen yang eksistensinya dapat diukur dari seberapa banyak barang yang dikonsumsi secara terus menerus hanya berdasarkan tanda maupun status sosial yang tersimpan didalamnya.
Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dapat dilihat dari diferensiasi komoditi yang dikonsumsi. Mereka, dengan budaya konsumtif yang dipegangnya, hanya melihat tujuan dan totalitas hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi. Masyarakat konsumen tak lagi membeli komoditi untuk kebutuhan bertahan hidup melainkan berdasarkan citra yang digambarkan dalam iklan-iklan demi peningkatan status sosialnya ketika membeli sebuah produk. Mereka terjebak dalam arus konsumerisme yang kemudian meningkat semakin parah menjadi pola konsumtivisme.
Konsumerisme adalah tatanan sosial dan ekonomi yang secara sistematis memacu keinginan masyarakat untuk terus menerus membeli barang dan jasa dalam jumlah yang semakin besar. Sedangkan konsumtivisme adalah kondisi yang secara sadar dipilih oleh masyarakat konsumen untuk terus menerus mengkonsumsi. Ketika masyarakat konsumen semakin berlebihan dalam mengonsumsi maka pada taraf itulah mereka cenderung berubah menjadi lebih konsumtif. Ketika masyarakat konsumen semakin konsumtif maka cenderung teralienasi dari realitas kehidupan yang sesungguhnya hanya mengenai masalah bertahan hidup.
Bagi kami, peradaban modern yang berbasis pada pembangunan masyarakat konsumen ibarat sesosok “Monster Leviathan[1]”, yaitu kekuatan raksasa yang hegemonik dan berpotensi menghancurkan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Masyarakat konsumen tak lagi hidup dengan bahagia tetapi jatuh dalam kesemuan sekaligus kesuraman, karena semakin jauh dari makna relasi sosial yang egaliter. Mereka terus menerus diteror untuk membeli dan terus membeli. Dan untuk itu mereka harus bekerja keras sepanjang hari. Tak ubahnya seperti budak yang bekerja mati-matian kemudian menghabiskan uang hasil jerih payahnya untuk membeli berbagai macam barang. Apabila budak-budak jaman dahulu bekerja karena terpaksa, budak-budak modern justru bekerja dengan sukarela demi melahap produk-produk yang diciptakan lewat imaji-imaji semu. Mereka bekerja, mengonsumsi kemudian mati.
Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang sakit. Dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme global). Masyarakat konsumen dibentuk untuk terus menerus mengonsumsi tanpa batas. Manusia konsumen adalah manusia pemangsa. Menghancurkan alam, lingkungan dan tatanan sosial budaya. Semua hanya berkisar dalam arus berproduksi dan mengonsumsi. Manusia modern adalah manusia budak, yang bekerja keras untuk menjalankan sistem demi keuntungan segelintir manusia yang serakah.
Kami menolak menjadi budak yang bekerja keras demi memuaskan hasrat untuk mengonsumsi tanpa batas. Kami menolak kecenderungan untuk menjadi masyarakat konsumen. Kami memilih untuk mengonsumsi secara minimalis, yaitu sebatas pada komoditi yang benar-benar kami butuhkan. Kami memilih untuk menentukan sendiri apa yang kami butuhkan, tanpa terdistorsi dari imaji-imaji yang diciptakan untuk membuat manusia tunduk dan menyerah pada nasibnya. Kami menolak menjadi budak yang dengan sukarela menyerahkan hidupnya untuk diperas sampai kisut dan kemudian tercampakkan bagai sampah oleh sistem dominan yang hanya mementingkan keuntungan segelintir manusia yang memiliki kelebihan modal daripada manusia lainnya.
Proyek pemutaran film anti masyarakat konsumen ini adalah bentuk keengganan kami untuk menjadi bagian dari masyarakat modern yang konsumtif. Kami ingin berbagi keresahan dengan banyak orang bahwa di sekitar kita terdapat “Monster Leviathan” yang akan merampas kehidupan manusia. Sistem dominasi hari ini bukanlah sistem yang muncul tiba-tiba tetapi merupakan sistem yang terus menerus berkembang menjadi lebih kuat.
Perlawanan tak bisa direalisasikan hanya dengan menggerutu, mengkritik, berdiskusi sambil menguliti teori-teori revolusioner. Tetapi butuh aksi yang terus menerus dan makin meluas. Bagaimana melawan raksasa yang besar, sedangkan kita adalah individu-individu kecil yang tersebar dimana-mana. Butuh ledakan-ledakan kecil untuk menciptakan retakan dimana-mana dan secara perlahan mampu membakar sang “Monster Leviathan”. Hanya dengan api yang besar ia dapat dikalahkan. Ia bukan hanya harus ditaklukkan, tapi untuk dihancurkan.
Mari kita nyalakan api dimana-mana!
[1] Di dalam Alkitab (Injil), terdapat sebuah istilah yaitu “Leviathan”, digambarkan sebagai sesosok monster laut raksasa. Thomas Hobbes juga pernah mengilustrasikan Leviathan sebagai fenomena dimana negara menjadi ekspresi terluhur dari kekuatan yang demikian agung. Keduanya menyajikan interpretasi yang begitu menakutkan. Di lain pihak, istilah Leviathan juga dipakai oleh Fredy Perlman untuk menggambarkan “peradaban” (dalam bukunya “Against His-story, Against Leviathan”), dalam artian sesuatu yang memiliki kekuatan dahsyat dan cenderung destruktif.
0 komentar:
Posting Komentar