"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Rabu, 29 April 2009

REVIEW BUKU: In Defense Of Anarchism

REVIEW BUKU

Judul: In Defense Of Anarchism (Menuju Dunia Tanpa Negara)
Penulis: Robert Paul Wolff
Download PDF nya: disini


Otoritas adalah hak untuk memberi perintah, atau juga berarti hak untuk dipatuhi. Istilah ini harus dibedakan dengan ‘kekuasaan’, yang berarti kemampuan untuk memaksakan ketertundukan, baik dengan kekuatan (kekerasan) ataupun berupa ancaman. Mengklaim otoritas sama dengan mengklaim hak untuk dipatuhi. Sedangkan asumsi mendasar dari filsafat moral adalah bahwa manusia bertanggung jawab terhadap segala tindakannya sendiri, maka secara metafisika manusia berada dalam kondisi bebas. Artinya dalam sejumlah hal manusia mampu menentukan bagaimana seharusnya dirinya bertindak, atau dengan kata lain dia akan mencanangkan hukum-hukum untuk mengatur dirinya sendiri. Singkatnya dia memiliki otonomi.

Penanda yang menegaskan keberadaan negara, dimanapun, adalah otoritas: hak untuk mengatur/memerintah. Sedangkan karakter utama manusia adalah otonomi: penolakan untuk dikuasai. Dengan dua hal yang bertentangan ini, dalam hubungan antara negara dengan rakyat, maka tampaknya tidak akan ada cara untuk menyelesaikan pertentangan antara otonomi individual dengan negara sebagai lembaga yang selalu bersifat otoritatif.

Dan buku ini menggambarkan analisis klasik RPW (baca: Robert Paul Wolff), seorang profesor pada studi filsafat dan afro-amerika di univ. massachusetts, terhadap landasan otoritas negara serta persoalan antara otoritas pollitik dan otonomi moral. Intinya, bagaimana otonomi moral individu dapat bersesuaian dengan otoritas negara secara sah.

Dimulai dengan sebuah prolog/kata pengantar cukup panjang tentang sejarah penulisan buku ini yang telah dimulai sejak lebih dari seperempat abad yang lalu (tahun 70-an), RPW mengajak kita untuk berangkat dari premis yang sulit dibantahkan: setiap orang memiliki keharusan yang mutlak untuk untuk menjadi otonom secara moral, dan berakhir dengan kesimpulan yang menyenangkan: sebuah negara yang memiliki keabsahan secara moral adalah sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.

Menjawab persoalan pertentangan mendasar di atas, RPW mengajukan argumen bahwa satu-satunya cara untuk melindungi otonomi dalam upaya mencapai pemerintahan kolektif yang mandiri adalah melalui demokrasi langsung dengan suara bulat. Dengan kata lain, otonomi dapat benar-benar dilindungi dalam proses legislatif hanya jika setiap orang yang terikat oleh hukum dapat berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan undang-undang, dan lebih jauh lagi, jika setiap orang hanya terikat oleh undang-undang yang mereka setujui. Betapa anarkisnya!

Bagi RPW hanya ada satu bentuk komunitas politik yang menawarkan harapan bagi penyelesaian pertentangan antara otoritas dan otonomi, yakni demokrasi. Namun jangan dibayangkan demokrasi seperti demokrasi yang digembar-gemborkan oleh partai-partai yang mengklaim demokrasi dengan embel-embel parlementariat, terpimpin, perwakilan, liberal, mayoritarian, kontraktual, ato pancasila, dan lain-lain embel-embel simplifikasi, yang penuh dilema, pembodohan-pembodohan, dan paradoks, yang malah makin mereduksi hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang ditawarkan RPW adalah demokrasi yang total, mensyaratkan partisipasi langsung tanpa perantara dalam proses legislasi/pengambilan kebijakan dan keputusan, dengan suara bulat. Ketika seseorang yang benar-benar bertanggung jawab menerapkan hukum bagi dirinya sendiri, dan dengan cara tersebut berarti dia mengikatkan dirinya pada apa yang menurut pendapatnya benar, maka suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab dapat mengikatkan diri mereka secara kolektif pada undang-undang yang telah mereka susun secara kolektif pula, dan dengan cara tersebut berarti mereka telah mengikatkan diri pada sesuatu yang secara bersama-sama mereka anggap benar.

Dengan demikian, dalam pengertiannya yang ketat, pemerintahan dari suatu negara demokratis sebenarnya tidak lebih dari pelayan bagi seluruh rakyat, yang diserahi tugas untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui bersama. Dalam kata-kata Rousseau, "setiap orang yang menyatukan dirinya dengan semua orang... hanya taat pada dirinya sendiri dan tetap saja bebas seperti sebelumnya". Pemerintahan untuk rakyat hanya merupakan perbudakan semu, sedangkan pemerintahan oleh rakyat merupakan kebebasan yang sesungguhnya. Selama seseorang berpartisipasi dalam urusan-urusan negara, maka dirinya merupakan si pemberi perintah sekaligus yang diperintah. Kewajibannya untuk tunduk pada undang-undang bukanlah berasal dari hak ilahiah yang terdapat dalam diri seorang raja, bukan pula dari otoritas turun-temurun dalam suatu kelas bangsawan, melainkan berdasarkan fakta bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber dari undang-undang yang mengatur dirinya. Ini berarti pengembalian kedaulatan pada individu.

Dan hari ini, menjelang pemilu 2009, walaupun ketidakpercayaan serta kecurigaan terhadap otoritas (negara) memang telah mewabah, namun pemahaman terhadap dasar-dasar teori serta praksis demokrasi dan masalah mendasar dalam pemerintahan perwakilan masih sama terbatasnya dengan saat pertama kali buku ini ditulis. Menjadi jelas bahwa hanya sedikit sekali individu yang benar-benar memahami pemerintahan oleh rakyat

Kegagalan kita dalam menemukan suatu bentuk asosiasi politik yang dapat mengkombinasikan otonomi moral dengan otoritas yang absah bukanlah akibat dari ketidaksempurnaan rasionalitas manusia, juga bukan karena nafsu dan kepentingan pribadi yang membelokkan manusia dari upayanya mencapai keadilan dan kebaikan bersama.

Mungkin akan banyak yang akan menganggap ini utopis, lebih karena alasan-alasan bersifat teknis. Tapi ini kan jaman modern. Ruang dan waktu seakan tak berjarak, iya kan?! Ada contoh-contoh solusi yang bisa diambil di buku ini. Bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi dan perangkat-perangkat komputer, televisi, perekam sidik jari, sampai internet untuk memperbesar kemungkinan kita untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut kolektifitas. Bab II & III ditujukan khusus untuk mencoba memecahkan hambatan teknis ini dan mengajukan kombinasi-kombinasi yang ideal tentang bentuk-bentuk asosiasi politik.

Semua itu jelas masih jauh sekali dari suatu proyeksi yang koheren mengenai masyarakat anarkis, tetapi mungkin dapat membuat yang ideal tidak begitu tampak seperti khayalan filsafat politik yang bersifat utopis. Daripada teriak-teriak anarki gak jelas…

Buku ini memang bukan tentang bagaimana aplikasi praktis dari anarki/anarkisme dalam keseharian, tapi lebih kepada sebuah paparan mendasar tentang politik sehingga kita akan tiba pada cara berpikir anarki/anarkisme itu sendiri, khususnya dalam kaitannya dengan apa yang selama ini sering kita sebut sebagai negara dan demokrasi. Dengan bahasa dan cara tutur dan nalar yang sangat mendasar (dengan kalimat panjang) memang tidak disarankan untuk sekali baca, apalagi baca sekali-sekali dan tak runtut.

Dan walaupun isinya bukan isu-isu yang menarik seperti halnya isu-isu tentang gitar merek apa yang digunakan kangen band untuk menghasilkan kocokan-kocokan mautnya dalam sebuah tembang berjudul d.o.y, tapi paling tidak bisa diterapkan untuk mereview kembali cara atau sistem kerja bersama yang selama ini coba kita terapkan dalam scene/kolektif.

Buku ini bagus buat yang tergila-gila dengan nasionalisme buta ala paskibraka atau patriotisme ala menwa. Dan sangat direkomendasikan bagi yang percaya dan kecanduan pemilu dengan sistem yang kita sendiri sebenarnya juga tak pernah paham, apalagi untuk mengajukan sejumlah alternatif sistem pemilihan yang lebih beradab dan mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk mengelola hidupnya sendiri.

Ah, seandainya orang-orang partai yang hobi kampanye, yang membual dan berdebat tentang program-program dan segala mitosnya, mau mencoba untuk memahami buku seperti ini.


planetmungil@hotmail.com