If there’s you wanna create that does not exist, do it yourself.”
-- Brian Baker, ex-Minor Threat
“Make your own culture and stop consuming
that which is made for you”
-- The Essence of Do-It-Yourself
D.I.Y atau Do-It-Yourself adalah etos/sikap yang muncul pada kisaran tahun 1970-an, dan kemudian menjadi semakin populer seiring dengan semakin berkembangnya kultur hardcore/punk. Berawal dari gumpalan keresahan dan kebosanan generasi muda pada saat itu terhadap dominasi budaya mainstream yang dianggap membatasi kebebasan untuk berekspresi, etos D.I.Y bergerak menjadi sebuah kultur tandingan (counter culture) guna mendobrak kemapanan budaya. Berawal dari musik kemudian berkembang menjadi sebuah gaya hidup, kultur tandingan ini makin merasuk dalam jiwa anak-anak muda yang muak terhadap stagnansi dan keseragaman dunia yang memaksa mereka untuk menjadi individu sempurna seperti apa yang diidealkan oleh masyarakat.
Keresahan tentang apakah hidup hanya akan menjadi sekadar rutinitas. Lahir, sekolah, kerja, hidup mapan lalu berkeluarga, dan pada akhirnya menunggu mati. Apakah itu yang dinamakan hidup dengan penuh makna? Apakah itu hidup dengan menggelorakan semangat? Jadi, apakah hidup hanya untuk disia-siakan?
Ribuan anak-anak muda membuat musiknya sendiri, merekamnya dan kemudian mempublikasikannya secara gratis, membuat gig (acara-acara musik) gratis yang sederhana dengan memanfaatkan berbagai ruang kosong (rumah tak berpenghuni, basement apartemen, gudang, garasi bahkan jalanan umum). Mereka hidup dengan apa yang mereka yakini dan menolak tunduk terhadap aturan maupun norma-norma yang jamak berlaku di masyarakat. Mereka merasa bahwa apa yang tersaji di hadapan mereka seringkali hanyalah sekumpulan imaji absurd yang pada akhirnya menciptakan keterasingan (alienasi) antar manusia. Sedangkan yang mereka inginkan adalah untuk merebut kehidupannya, dengan cara mereka sendiri. Inilah etos Do-It-Yourself, lakukan sesuatu dengan segala kemampuanmu sendiri, ambil keputusan oleh dirimu sendiri, tidak menunggu orang atau pihak lain untuk memerintah dan mengontrol dirimu, berkreasilah semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri dan orang-orang yang kamu sayangi!
Pada titik itulah, D.I.Y menjelma sebagai sebuah prinsip serta praktek hidup keseharian. Etos D.I.Y mulai berevolusi lebih dari sekadar membuat musik kemudian mempublikasikannya secara gratis. D.I.Y menjelma ke dalam berbagai praktek seperti penerbitan media alternatif, menciptakan ruang-ruang belajar gratis, perpustakaan bersama, membangun pusat kegiatan untuk tempat berkumpul, bermain, bersenang-senang, dan sebagainya. D.I.Y bukan lagi sekadar alternatif budaya (atau budaya alternatif), tetapi lebih menjadi etos tandingan untuk menjalani hidup. Bukan sekadar Budaya Perlawanan (Counter-Culture), tetapi telah menjadi Perlawanan Budaya (Contra-Culture). Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah meskipun D.I.Y berangkat dari pilihan-pilihan individual namun tetap membutuhkan kerjasama dengan orang-orang lain yang sepaham untuk mewujudkannya menjadi aksi nyata.
D.I.Y mengacu pada etos kemandirian yang mendasarkan diri pada pemahaman bahwa manusia hidup untuk saling melengkapi, dimana setiap individu yang memiliki kapasitas maupun kemampuan yang berbeda dalam berbagai bidang saling berbagi keahlian. Etika dasar ini mengembangkan sebuah pemikiran dan keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil untuk dilakukan apabila kita mau saling belajar, menjaga dan melengkapi satu sama lain. Sebab D.I.Y menekankan pada prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan (mutual aid), kebersamaan, solidaritas dan kebebasan.
D.I.Y adalah kontra kultur terhadap kultur dominan. Realisasi nyata D.I.Y secara sadar bergerak menuju aksi perlawanan terhadap sistem kapitalis yang kini memenuhi ruang hidup kita. Sebagai sebuah bentuk perlawanan, kultur D.I.Y jelas bertolak belakang dengan kultur kapital. Apabila kapitalisme kini semakin mengglobal dan mendasarkan dirinya pada kebebasan individu untuk berproduksi maupun mengonsumsi demi akumulasi kapital (tentu saja dengan cara membuat orang lain menjadi budak dan melakukan pencurian terhadap nilai lebih yang dihasilkan oleh budaknya) maka D.I.Y menjauhkan diri dari praktek-praktek untuk mengeruk profit sebanyak-banyaknya. D.I.Y lebih mempercayai kesetaraan dalam memproduksi dan mengonsumsi dimana setiap individu berhak untuk mengakses alat-alat dan proses produksi serta selalu bebas dalam menentukan apa yang benar-benar ia butuhkan untuk dikonsumsi. D.I.Y berusaha mengembalikan proses produksi dan konsumsi menuju akar yang sebenarnya, yaitu sebagai aktivitas untuk bertahan hidup.
Bagi kami makna D.I.Y lebih luas dari sekadar kultur perlawanan. D.I.Y adalah aksi otonom untuk menentukan apa yang paling sesuai dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dalam artian setiap manusia membutuhkan manusia lainnya agar tetap eksis sebagai manusia. D.I.Y membiasakan kami untuk saling berkomunikasi, melakukan aktivitas secara bersama sekaigus berusaha menghilangkan ketergantungan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menciptakan degradasi dan alienasi terhadap hidup keseharian kami. D.I.Y adalah bagaimana menjalankan hidup yang kami pilih dengan usaha sendiri tanpa disetir oleh kepentingan pihak-pihak luar.
D.I.Y adalah sebuah etos untuk tetap menjadi manusia. Ketika sistem dominasi menawarkan segala hal yang instan dan serba cepat, D.I.Y menawarkan tandingan dalam berpikir maupun bertindak, sebab D.I.Y lebih mementingkan proses dan hasil sebagai komposisi yang seimbang, bukan sebagai ukuran untuk menentukan standar manusia.
Memang tak mudah untuk menghidupi diri sendiri berbekal etos D.I.Y mengingat semakin derasnya tekanan sistem kapital yang teru dipaksakan dalam hidup keseharian kita. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. D.I.Y harus dimulai dengan menguatkan rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan jika kita telah meyakini bahwa hidup harus direbut melalui aksi diri sendiri. Dan tentu saja tidak ada yang mustahil jika kita melakukannya bersama-sama.
D.I.Y hanyalah sebuah nama, hanyalah istilah, kita dapat menyebutnya dengan istilah apa saja. Dan kita perlu waspada, seringkali nama atau pelabelan justru menciptakan aturan maupun jebakan yang sesungguhnya tidak perlu ada karena dapat membatasi gerak kita. Sedangkan yang sebenarnya sangat dibutuhkan adalah kontinuitas dalam bergerak dan berkarya. Tiada guna mengusung D.I.Y jika kita malah terjebak dan tidak dapat melepaskan diri dari rutinitas maupun konsep-konsep yang membosankan. Kita seharusnya mengembangkan konsep, bukan sekadar menghidupi konsep. Mempercantiknya dengan hiasan-hiasan yang tidak berguna sama saja dengan mematikannya secara perlahan.
Kita seringkali juga mengabaikan unsur terpenting dalam mempraktekkan D.I.Y, yaitu bersenang-senang. D.I.Y harus lepas dari batasan, bukan membatasi diri dengan norma-norma yang mengekang. Tiada guna jika kita membuat sebuah proyek D.I.Y karena keterpaksaan, atau sekadar mengikuti tren dan mengejar eksistensi belaka. D.I.Y harus muncul melalui inisiatif individual kemudian menyelaraskannya dengan kondisi yang ada. Jika pilihan telah jatuh, konsekwensi seberat apapun harus siap ditanggung. Jika kita telah sadar dengan pilihan tersebut, lakukanlah dengan riang gembira dan bangga sebab kamu telah mengambil alih hidup ke dalam genggaman tanganmu sendiri!
Mengapa? Karena pada dasarnya manusia tidak perlu melakukan sesuatu yang tidak membuatnya bahagia. Namun, akibat tirani kapitalisme kita justru melakukan aktivitas keseharian dengan keterpaksaan. Dan itu sama sekali tidak membuat kita bahagia!
Satu hal yang juga perlu kita pahami, etos D.I.Y sangat rentan untuk digelincirkan dari prinsip-prinsip utamanya. D.I.Y juga banyak dijadikan kedok atau pembenaran demi kepentingan pribadi maupun akumulasi kapital. Jika seperti itu, etos D.I.Y telah terjengkang menjauh dari akarnya. Kamu dapat menemukan bentuk nyatanya di sekitarmu, seperti menjamurnya distro-distro (padahal butik!!) komersial, gigs yang disponsori korporasi, musik yang diproduseri label rekaman besar, publikasi media alternatif yang ternyata dipenuhi iklan-iklan produk namun tak berisi sesuatu yang esensial dan bermanfaat. Apakah itu kemandirian dan kesenangan? Bukan, itu adalah kepalsuan.. D.I.Y akan kehilangan esensinya sebagai etos dan kultur yang sesungguhnya adalah oposisi terhadap budaya mainstream. D.I.Y hanya menjadi sebuah slogan kosong, unsur pemanis agar rasa tawar dan asin lebih mudah dicerna. Hingga akhirnya hanya akan menjerumuskan kita kembali pada keresahan, kebosanan dan jebakan ketertundukan.
D.I.Y adalah aksi yang esensial bagi hidupmu. Jadi mengapa kamu ragu untuk mempraktekkan D.I.Y? Tidak inginkah kamu untuk mampu hidup mandiri? Masihkah kamu tidak percaya bahwa aksi langsung melalui ide dan tenagamu sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan?
Organisir dirimu sendiri, temukan kawan-kawan yang berpandangan sama denganmu. Kreasikan proyek-proyek kecil nan berarti. Temukan sendiri kunci untuk membuka lebar-lebar pintu kebebasanmu.
Rebut kehidupanmu.
Jadilah manusia.
Selamat bersenang-senang.
Dan sampai jumpa di perang peradaban!
Liberate and be a human being!
Just do-it-yourself or do-it-with-your-friends!
Keresahan tentang apakah hidup hanya akan menjadi sekadar rutinitas. Lahir, sekolah, kerja, hidup mapan lalu berkeluarga, dan pada akhirnya menunggu mati. Apakah itu yang dinamakan hidup dengan penuh makna? Apakah itu hidup dengan menggelorakan semangat? Jadi, apakah hidup hanya untuk disia-siakan?
Ribuan anak-anak muda membuat musiknya sendiri, merekamnya dan kemudian mempublikasikannya secara gratis, membuat gig (acara-acara musik) gratis yang sederhana dengan memanfaatkan berbagai ruang kosong (rumah tak berpenghuni, basement apartemen, gudang, garasi bahkan jalanan umum). Mereka hidup dengan apa yang mereka yakini dan menolak tunduk terhadap aturan maupun norma-norma yang jamak berlaku di masyarakat. Mereka merasa bahwa apa yang tersaji di hadapan mereka seringkali hanyalah sekumpulan imaji absurd yang pada akhirnya menciptakan keterasingan (alienasi) antar manusia. Sedangkan yang mereka inginkan adalah untuk merebut kehidupannya, dengan cara mereka sendiri. Inilah etos Do-It-Yourself, lakukan sesuatu dengan segala kemampuanmu sendiri, ambil keputusan oleh dirimu sendiri, tidak menunggu orang atau pihak lain untuk memerintah dan mengontrol dirimu, berkreasilah semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri dan orang-orang yang kamu sayangi!
Pada titik itulah, D.I.Y menjelma sebagai sebuah prinsip serta praktek hidup keseharian. Etos D.I.Y mulai berevolusi lebih dari sekadar membuat musik kemudian mempublikasikannya secara gratis. D.I.Y menjelma ke dalam berbagai praktek seperti penerbitan media alternatif, menciptakan ruang-ruang belajar gratis, perpustakaan bersama, membangun pusat kegiatan untuk tempat berkumpul, bermain, bersenang-senang, dan sebagainya. D.I.Y bukan lagi sekadar alternatif budaya (atau budaya alternatif), tetapi lebih menjadi etos tandingan untuk menjalani hidup. Bukan sekadar Budaya Perlawanan (Counter-Culture), tetapi telah menjadi Perlawanan Budaya (Contra-Culture). Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah meskipun D.I.Y berangkat dari pilihan-pilihan individual namun tetap membutuhkan kerjasama dengan orang-orang lain yang sepaham untuk mewujudkannya menjadi aksi nyata.
D.I.Y mengacu pada etos kemandirian yang mendasarkan diri pada pemahaman bahwa manusia hidup untuk saling melengkapi, dimana setiap individu yang memiliki kapasitas maupun kemampuan yang berbeda dalam berbagai bidang saling berbagi keahlian. Etika dasar ini mengembangkan sebuah pemikiran dan keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil untuk dilakukan apabila kita mau saling belajar, menjaga dan melengkapi satu sama lain. Sebab D.I.Y menekankan pada prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan (mutual aid), kebersamaan, solidaritas dan kebebasan.
D.I.Y adalah kontra kultur terhadap kultur dominan. Realisasi nyata D.I.Y secara sadar bergerak menuju aksi perlawanan terhadap sistem kapitalis yang kini memenuhi ruang hidup kita. Sebagai sebuah bentuk perlawanan, kultur D.I.Y jelas bertolak belakang dengan kultur kapital. Apabila kapitalisme kini semakin mengglobal dan mendasarkan dirinya pada kebebasan individu untuk berproduksi maupun mengonsumsi demi akumulasi kapital (tentu saja dengan cara membuat orang lain menjadi budak dan melakukan pencurian terhadap nilai lebih yang dihasilkan oleh budaknya) maka D.I.Y menjauhkan diri dari praktek-praktek untuk mengeruk profit sebanyak-banyaknya. D.I.Y lebih mempercayai kesetaraan dalam memproduksi dan mengonsumsi dimana setiap individu berhak untuk mengakses alat-alat dan proses produksi serta selalu bebas dalam menentukan apa yang benar-benar ia butuhkan untuk dikonsumsi. D.I.Y berusaha mengembalikan proses produksi dan konsumsi menuju akar yang sebenarnya, yaitu sebagai aktivitas untuk bertahan hidup.
Bagi kami makna D.I.Y lebih luas dari sekadar kultur perlawanan. D.I.Y adalah aksi otonom untuk menentukan apa yang paling sesuai dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dalam artian setiap manusia membutuhkan manusia lainnya agar tetap eksis sebagai manusia. D.I.Y membiasakan kami untuk saling berkomunikasi, melakukan aktivitas secara bersama sekaigus berusaha menghilangkan ketergantungan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menciptakan degradasi dan alienasi terhadap hidup keseharian kami. D.I.Y adalah bagaimana menjalankan hidup yang kami pilih dengan usaha sendiri tanpa disetir oleh kepentingan pihak-pihak luar.
D.I.Y adalah sebuah etos untuk tetap menjadi manusia. Ketika sistem dominasi menawarkan segala hal yang instan dan serba cepat, D.I.Y menawarkan tandingan dalam berpikir maupun bertindak, sebab D.I.Y lebih mementingkan proses dan hasil sebagai komposisi yang seimbang, bukan sebagai ukuran untuk menentukan standar manusia.
Memang tak mudah untuk menghidupi diri sendiri berbekal etos D.I.Y mengingat semakin derasnya tekanan sistem kapital yang teru dipaksakan dalam hidup keseharian kita. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. D.I.Y harus dimulai dengan menguatkan rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan jika kita telah meyakini bahwa hidup harus direbut melalui aksi diri sendiri. Dan tentu saja tidak ada yang mustahil jika kita melakukannya bersama-sama.
D.I.Y hanyalah sebuah nama, hanyalah istilah, kita dapat menyebutnya dengan istilah apa saja. Dan kita perlu waspada, seringkali nama atau pelabelan justru menciptakan aturan maupun jebakan yang sesungguhnya tidak perlu ada karena dapat membatasi gerak kita. Sedangkan yang sebenarnya sangat dibutuhkan adalah kontinuitas dalam bergerak dan berkarya. Tiada guna mengusung D.I.Y jika kita malah terjebak dan tidak dapat melepaskan diri dari rutinitas maupun konsep-konsep yang membosankan. Kita seharusnya mengembangkan konsep, bukan sekadar menghidupi konsep. Mempercantiknya dengan hiasan-hiasan yang tidak berguna sama saja dengan mematikannya secara perlahan.
Kita seringkali juga mengabaikan unsur terpenting dalam mempraktekkan D.I.Y, yaitu bersenang-senang. D.I.Y harus lepas dari batasan, bukan membatasi diri dengan norma-norma yang mengekang. Tiada guna jika kita membuat sebuah proyek D.I.Y karena keterpaksaan, atau sekadar mengikuti tren dan mengejar eksistensi belaka. D.I.Y harus muncul melalui inisiatif individual kemudian menyelaraskannya dengan kondisi yang ada. Jika pilihan telah jatuh, konsekwensi seberat apapun harus siap ditanggung. Jika kita telah sadar dengan pilihan tersebut, lakukanlah dengan riang gembira dan bangga sebab kamu telah mengambil alih hidup ke dalam genggaman tanganmu sendiri!
Mengapa? Karena pada dasarnya manusia tidak perlu melakukan sesuatu yang tidak membuatnya bahagia. Namun, akibat tirani kapitalisme kita justru melakukan aktivitas keseharian dengan keterpaksaan. Dan itu sama sekali tidak membuat kita bahagia!
Satu hal yang juga perlu kita pahami, etos D.I.Y sangat rentan untuk digelincirkan dari prinsip-prinsip utamanya. D.I.Y juga banyak dijadikan kedok atau pembenaran demi kepentingan pribadi maupun akumulasi kapital. Jika seperti itu, etos D.I.Y telah terjengkang menjauh dari akarnya. Kamu dapat menemukan bentuk nyatanya di sekitarmu, seperti menjamurnya distro-distro (padahal butik!!) komersial, gigs yang disponsori korporasi, musik yang diproduseri label rekaman besar, publikasi media alternatif yang ternyata dipenuhi iklan-iklan produk namun tak berisi sesuatu yang esensial dan bermanfaat. Apakah itu kemandirian dan kesenangan? Bukan, itu adalah kepalsuan.. D.I.Y akan kehilangan esensinya sebagai etos dan kultur yang sesungguhnya adalah oposisi terhadap budaya mainstream. D.I.Y hanya menjadi sebuah slogan kosong, unsur pemanis agar rasa tawar dan asin lebih mudah dicerna. Hingga akhirnya hanya akan menjerumuskan kita kembali pada keresahan, kebosanan dan jebakan ketertundukan.
D.I.Y adalah aksi yang esensial bagi hidupmu. Jadi mengapa kamu ragu untuk mempraktekkan D.I.Y? Tidak inginkah kamu untuk mampu hidup mandiri? Masihkah kamu tidak percaya bahwa aksi langsung melalui ide dan tenagamu sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan?
Organisir dirimu sendiri, temukan kawan-kawan yang berpandangan sama denganmu. Kreasikan proyek-proyek kecil nan berarti. Temukan sendiri kunci untuk membuka lebar-lebar pintu kebebasanmu.
Rebut kehidupanmu.
Jadilah manusia.
Selamat bersenang-senang.
Dan sampai jumpa di perang peradaban!
Liberate and be a human being!
Just do-it-yourself or do-it-with-your-friends!
0 komentar:
Posting Komentar