Korporasi adalah perusahaan atau badan usaha yang sangat besar, atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai sebuah perusahaan besar. Korporasi merupakan subjek hukum buatan yang memiliki beberapa ciri khusus antara lain:
- Memiliki kedudukan hukum khusus.
- Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas.
- Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
- Dimiliki oleh pemegang saham, dimana tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Berdasarkan terminologi di atas, nampak bahwa korporasi didirikan hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan kapital semata.
Seiring dengan berkembangnya sistem globalisasi saat ini, korporasi tak hanya bergerak di dalam negara tapi sudah bergerak lintas negara, melewati batas-batas negara. Negara-negara yang terikat dalam pakta-pakta perjanjian perdagangan bebas (free trade) haruslah membuka selebar-lebarnya pintu perekonomiannya bagi masuknya investasi asing. Inilah peluang bagi korporasi-korporasi besar untuk menanamkan modal dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui pendirian perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak sebagai anak perusahaan, bekerja sebagai kaki-tangan berdasarkan komando dari korporasi tersebut.
Menguatnya peran korporasi dalam perekonomian dunia saat ini merupakan bentuk liberalisme gaya baru atau lebih dikenal dengan istilah Neo-Liberalisme. Menurut Noam Chomsky, neoliberalisme ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi (stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi), pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan. Bagi para penganut neoliberal, peran serta negara dan pemerintah dalam mengontrol sumber daya alam maupun ekonomi haruslah dikurangi seminimal mungkin agar pasar bebas dan persaingan bebaslah yang dapat leluasa mengaturnya. Negara juga dituntut untuk melakukan privatisasi dengan menjual semua perusahaan-perusahaan negara yang mengatur hajat hidup seluruh rakyat, kepada investor asing. Alih-alih mengembangkan pola kehidupan sosial yamg mengedepankan kerjasama, paham ini mengedepankan tanggung jawab invidualisme, dimana setiap individu dituntut untuk selalu berlari dalam suasana berkompetisi untuk memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha dan caranya sendiri.
Kebijakan neoliberal merupakan prasyarat untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga finansial internasional seperti IMF dan World Bank. Agar sebuah negara mulus mendapatkan bantuan keuangan untuk meningkatkan kekuatan ekonominya, maka negara tersebut mau tidak mau harus memberlakukan kebijakan neoliberal. Indonesia kini merupakan salah satu penganutnya. Hal tersebut nampak dari kebijakan-kebijakan yang kini berlaku di negara ini seperti: pemotongan subsidi BBM, privatisasi bank negara, privatisasi PLN, pemotongan subsidi pendidikan, pengurangan tunjangan kesehatan, privatisasi perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu merupakan hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno.
Pada masa pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat. Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya, dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun 1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk kembali melirik Indonesia sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber daya manusianya yang murah.
Korporasi mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. UU itu telah membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan tambang. UU tersebut merupakan sebuah legitimasi bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal dan mendirikan usahanya di Indonesia. Sektor pertambangan tercatat menjadi sektor industri pertama yang paling menarik investasi asing pada masa awal Orba tersebut. Salah satu perusahaan tambang asing paling tua yang beroperasi di Indonesia adalah Freeport.
Pada bulan juni 1966, tim Freeport terlebih dahulu berkunjung ke Jakarta untuk memprakarsai pembicaraan mengenai kontrak eksplorasi pertambangan di Timika, Papua Barat. Pada tanggal 7 April 1967 dikeluarkanlah Kontrak Karya I No. 82/EK/KEP/4 /1967 bagi Freeport agar bisa melakukan operasi pertambangan di Papua. Ada keanehan dalam terbitnya kontrak karya untuk Freeport tersebut yang muncul selang 3 bulan dari keluarnya UU PMA dan 7 bulan lebih awal dari terbitnya UU No. 11 tahun 1967 mengenai pertambangan. Ditengarai hal tersebut adalah bentuk keterlibatan pihak-pihak asing dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyusun UU PMA. Keterlibatan tersebut adalah bentuk persengkongkolan Negara dengan Korporasi, di sinilah "KORPORATOKRASI" berjalan.
"Korporatokrasi" merupakan bentuk perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat negara penegak kedaulatan dan keamanan sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol pemerintah.
Kesuksesan Freeport, yang mulai beroperasi sejak tahun 1971, memicu masuknya perusahaan-perusahaan asing lainnya. Hingga kini ada empat perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia antara lain: Freeport Indonesia, Newmont Indonesia, International Nickel Indonesia, dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini setiap jengkal tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi, baik dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Kontrak Karya Pertambangan, Kuasa Pertambangan, Kontrak Bagi Hasil Minyak & Gas, Kontrak Bagi Hasil Batubara, dan sebagainya.
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing.
Tak hanya di bidang pertambangan, Indonesia juga lahan subur bagi bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya seperti: General Motors dan Ford (otomotif), Esso, Shell, British Petroleum (minyak), McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T dan International News Corporation (komunikasi), dan bank-bank utama milik Jepang. Kini Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya alam yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri, sementara sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus adalah pasar yang sangat konsumtif dan patuh.
1 komentar:
terimakasih kami terkonsumsi.. suplemen untuk melawan.. salam juang..
(by: kru sLik underground)
kaimana - jayapura, papua
Posting Komentar