dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.”
-- Pramoedya Ananta Toer
Yang akan kita baca dan dengarkan berikut ini adalah cerita, suara-suara, ratapan dari adik-adik kecil kita, yang sampai hari ini masih coba bertahan untuk terus hidup dan tinggal di sekitar Desa Besuki, Porong, Sidoarjo, salah satu lingkungan terdampak dimana tragedi keluar dan meluapnya lumpur sulfur panas akibat kelalaian aktivitas operasi pengeboran oleh perusahaan Lapindo Brantas terjadi dan kemudian berdampak sangat serius terhadap lingkungan tinggal serta kehidupan harian mereka. Adik-adik kecil kita ini, rata-rata berusia 7-12 tahun, segelintir dari sekian ribu anak-anak korban semburan lumpur panas lapindo, masih terlalu belia untuk harus turut merasakan dan mencerna derita yang diakibatkan oleh peradaban hari ini. Tangisan mereka, teriakan mereka, umpatan mereka, bahkan kutukan mereka adalah kejujuran atas kenyataan yang terjadi di depan mata dan lingkungan mereka.
“Anak-anak itu korban yang justru posisinya sangat lemah dan lebih membutuhkan perhatian dan perlindungan,” tutur Muhammad Irsyad, pendiri Sanggar Anak Al Faz di Desa Besuki. Lebih lanjut Cak Irsyad menyatakan bahwa hal ini disebabkan selain menjadi korban dari semburan lumpur lapindo, anak-anak juga secara tidak sadar “dikorbankan” lagi oleh kondisi masyarakat, dimana perhatian orangtua terhadap anak menjadi jauh berkurang dan terabaikan hak-haknya sebagai akibat dari usaha lapindo untuk memfokuskan persoalan tertuju hanya pada ganti rugi aset tanah dan bangunan. “Kenyataan riil di lapangan, anak-anak sangat terabaikan ditengah pusaran dan carut marut kasus lapindo,” kata warga desa Besuki ini.
Persoalan akan hak anak sebenarnya bukanlah kasus spesifik untuk korban Lapindo saja. “Semua anak di manapun di seluruh dunia pasti membutuhkan kasih sayang, perhatian, ruang belajar dan pengembangan diri yang sama. Namun, pada persoalan krusial, di mana hak-hak anak menjadi semakin terkurangi seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo ini, kebutuhan untuk bisa membuat ruang bermain, belajar dan berekspresi bagi anak adalah kebutuhan yang mendesak,” jelas Rere Christanto, salah satu pendamping anak untuk kasus semburan lumpur Lapindo. Ruang bermain dan belajar anak di sekitar semburan Lapindo telah hilang terkubur lumpur, kenyamanan dan keriangan yang harusnya bisa didapat anak-anak pun turut terkubur di dalamnya.
Setelah lima tahun lebih, hampir enam tahun bahkan, suara-suara serta ratapan mereka tak nampak akan reda, derita dan kenyatan itu masih ada. Celoteh-celoteh ini yang akan selalu mengingatkan kita bahwa ada sebuah generasi yang tengah ditumbalkan dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo. Celotehan-celotehan, dan umpatan-umpatan mereka, memang seharusnya tidak berhenti, tak boleh berhenti, apalagi coba dibungkam. Mereka harus terus bersuara, terus melawan!
Jangan lupakan mereka. Bangun solidaritas untuk terus menyuarakan kenyataan!!
Lumpur Lapindo Jahat Sekali
Diwaktu aku kecil tidak ada yang namanya lumpur lapindo. Sekarang ada, aku sedih sekali kalau rakyat sengsara. Diwaktu kakakku mengaji ada di Besuki Barat, ada yang berbicara ada lumpur lapindo jebol, tolong...tolong. Semua orang berlari-lari mau kemana kita.. Aku menangis melihat keponakan berlari-lari lalu ibuku dan kakakku menolongnya aku menangis. Terus pakaianku aku bawa ke ruang tamu, lalu ibu mengajak keponakanku untuk tinggal di rumahku. Dan ada yang mengungsi di jembatan layang. Lalu keesokan harinya ibu dan kakakku ke sana mengambil barang keponakanku. Terus pada siang harinya sumbangan makanan. Aku mau minum dan airnya bau sekali karena terkena air lapindo. Keesokan harinya aku sekolah dan aku kaget karena sekolahku terkena lumpur juga. Aku menangis karena sekolahku tidak layak dipakai. Sudah 3 minggu lumpur tidak ada lagi karena sudah mampet. Ibu dan kakakku turut membantu untuk membersihkan rumahnya. Terus sudah lima minggu lumpur datang lagi. Aku menangis melihat keponakanku lagi. Kini sudah tinggal cerita karena gara-gara lumpur lapindo pengeboran. Aku ingin lumpur lapindo hilang dan semua rakyat tidak sengsara lagi. Lapindo jahat sekali karena sudah merusak dan mengusir rumah rakyat lagi. Cukup sekian terima kasih.
- - Cerita: Firdausi Nuzula
Dulu di desaku hidupnya tenang dan damai. Pada suatu hari ada lumpur lapindo di desaku. Semua orang menjadi sakit karna menghirup udara yang tidak segar. Dan lumpur juga menghancurkan pabrik, sawah, rumah, dan juga sekolahan kita. Hidup kita menjadi sengsara, orang-orangpun pada jadi pengangguran, dan makan pun kita kekurangan, karena sejak ada lumpur kita hidup serba kekurangan. Kini pemerintah tidak bertanggung-jawab dengan kerugian kita yang kita alami.
- - Cerita: Eka Mauluddia
Dulu sawah ini itu indah dan padi pun sangat bagus. Sekarang sawah itu pun tidak indah karena lumpur. Sawahku pun sudah kena, sekarang aku tidak bisa lagi ke sawah. Aku harap lumpur itu tuntas dan aku mau ganti rugi. Sekarang orang mencari padi pun susah, orang pun jika dapat beras itu pun jelek. Karena Lumpur, setiap orang menanam tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan itu jadi layu, karena lumpur sangat merusak tumbuhan dan karena lumpur baunya sangat menyengat, orang pun jadi sakit. Saya berharap (mereka yang menyebabkan) lumpur itu mau membayar.
- - Cerita: M. Haris Hidayatullah
Air minum desa Besuki sebelum kena lumpur airnya bersih dan bisa diminum dan bisa dijual, akan tetapi (sekarang) wadahnya air minum yang ada di desa besuki (jadi jelek), air (untuk) masak, (ada) kuman penyakit. Pengolahan air kualitasnya (jelek). Air minum yang sehat bisa diminum dan bisa dimasak (tidak seperti air yang ada sekarang).
- - Cerita : Dwi Yuliana
Pohon-Pohon Mati
Dulu pohon-pohon hijau dan subur, lalu suatu hari ada orang yang bekerja mengebor tanah untuk mencari sumber gas. Akhirnya kedalam pipa pun bocor dan gas meluber kemana-mana dan akhirnya ditanggul, dan pohon-pohon pun mati. Dan di desa (besuki) telah ada (banyak) pohon-pohon dimana-mana tinggal batang dan rantingnya saja.
- - Cerita: Mauludin
Dulu aku dan teman-temanku damai. Petani pun bekerja dengan ramai. Semua orang juga tidak sakit-sakitan. Tapi sejak ada lumpur semua orang seperti disiksa oleh lumpur. Sekolahan sekarang tidak ada. Pabrikpun hancur, rumah-rumah sekarang pun tinggal sedikit. Orang-orang saja ada yang mati atau sakit, mandi airnya tidak bersih. Kalau sekolah tidak nyaman. Hidup semua orang sekarang susah. Dan tidak bahagia seperti dulu. Karena lumpur sekarang saya susah tidak ada bahagia. Lumpur itu memang kejam. Saya tidak suka lumpur. Saya ingin lumpur dihilangkan oleh bakrie. Sekarang banyak teman-temanku sahabat-sahabatku juga pindah rumah. Saya hidup kekurangan teman. Saya ingin hidup saya seperti dulu lagi hidup damai dan tentram. Terima kasih.
- - Cerita: Binti Musfiqoh
Di kali Porong, ada lumpur Lapindo yang merusak. Gara-gara lumpur, semuanya rusak, gara-gara lumpurnya Bakrie. Sungai itu tempat memancing orang-orang yang ada disitu. Sungai itu adalah sungai yang sangat bagus sekali, kini sungai menjadi jelek karena lumpur Lapindo. Lapindo merusak sungai kali Porong yang di (desa) Besuki. Lapindo yang merusak alam yang ada di Jawa Timur, semuanya gara-gara lumpurnya Bakrie yang sangat panas. Semuanya ikan pada mati karena lumpur Lapindo panas. Pencari ikan semua pada resah, karena lumpur yang panas. Ikan-ikan mati karena lumpur itu merusak sungai.
- - Cerita: Oki Dwi Prasetya
Pada hari itu aku pengen mencapai tujuan. Aku pada masih kecil tanggal 29 Mei 2006. Aku tidak mengerti apa-apa tentang lumpur. Kalau sekarang aku sudah besar dan sekolah kelas V (lima) sudah mengerti apa itu lumpur lapindo. Lumpur adalah bencana yang ingin merusak impian orang-orang yang ada di desa Besuki. Dan rumahku ada di desa Besuki. Aku dulu sekolah di MI Darul Ulum mulai kelas 1. Pada hari itu pas ada lumpur jebol di sekolahku dan di desa semua pada khawatir dan dia bingung mau tinggal dimana karena lumpur yang begitu cepat jebol dan menenggelamkan rumahku dan rumah orang-orang dan sekolahku yang aku cintai, karena kalau aku tidak sekolah pasti aku tidak akan bisa mencapai tujuanku dan cita-citaku. Cita-citaku adalah menjadi dokter dan kalau tidak tercapai aku mau motret dan pada hari itu orang tuaku yang lagi susah untuk mencari uang untuk biaya sekolahku dan orang tuaku mencari pekerjaan untuk biaya sekolahku dan untuk makan sehari-hari. Dan pada hari itu aku ada di sekolah aku mau pinjem buku untuk belajar dan pada hari itu sebelum ada lumpur semua orang bahagia di desa Besuki. Dan teman-temanku yang ada di sekolahan senang dan ceria dan tidak ada yang sakit. Dan sesudah ada lumpur desa Besuki bingung dan teman-temankupun juga bingung mau sekilah di mana. Semua orang pun susah makan, pekerjaan, dan orang tuaku pun juga susah mencari pekerjaan dan akupun susah untuk belajar, dan aku belajarpun dan pinjam buku ke perpustakaan di sekolahanpun juga susah-susah, tapi setelah itu aku sudah besar dan aku kelas 3. Kata guruku sekolah kita akan numpang di SMP Darul Ulum. Kita numpang dan aku rasanya kalau belajar di sekolahan numpang itu tidak nyaman. Dan aku punya harapan, dan harapanku adalah pemerintah tolong kasihlah warga desa Besuki dikasih sumbangan untuk sehari-hari, dan aku mau sekolah yang milik sekolahku sendiri, biar aku tidak numpang di sekolahan lain dan lumpur harus dihentikan biar tidak menghentikan impian dan cita-cita orang-orang desa Besuki dan penderitaan semua orang harus dihapus, dan biar diganti dengan keceriaan dan semangat.
- - Cerita: Zulfika Rokhmah
Sudah 5 tahun kita tidak makan karena bakri jancok tidak pernah mengaku kesalahannya karena sumber lumpur merusak rumah kami desa yang indah menjadi kayak tempat sampah yang bauk. Bauk sekali. Bakri sudah pergi dari desa yang jauh tapi orang-orang mencari bakri. Bakri membuat sumber lumpur lapindo menyerang rumah-rumah yang indah tapi rumah itu menjadi berantakan. Bakri yang jancok balas dendam.
- - Cerita: Sarif