Siapa tak mengenal Wiji Tukul. Penyair cadel dengan wajah yang sengsara itu begitu terkenal dengan puisi2 realisnya. Wajah Wiji Tukul nampak sengsara, ahhhh, itu mungkin cuman imajinasiku ketika melihat potretnya yang kudonlot di internet, mungkin dia gak sesengsara yang kubayangkan. Aku memang tak pernah bertatap muka dengannya. Bahkan hingga kini kuburnyapun tak jelas dimana. Desas desus mengatakan, dia diculik dan dibunuh oleh Militer Indonesia karena aktifitas politiknya yang membahayakan kekuasaan negara. Bagiku, puisi2nya begitu hidup sehingga mampu menyadarkanku betapa kekuasaan hanyalah alat untuk menindas, hanyalah alat untuk mendominasi manusia agar tunduk dan menjadi budak. Coba baca puisi yang ini :
'Puisi Sikap'
Maunya mulutmu bicara terus Tapi tuli telingamu tak mendengar
Maumu aku ini jadi pendengar terus, bisu
Kamu memang punya tank, tapi salah besar kamu kalau karena itu aku lantas manut
Andai benar ada kehidupan lagi nanti setelah kehidupan ini
Maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk
Bahwa sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim
Tapi aku tak ingin membicarakan puisi2nya yang perih dan penuh perlawanan. Aku bukan kritikus sastra yang menganalisa sebuah karya dengan kupasan2 yang tajam dan intelektual. Untuk apa sebuah karya dianalisa dengan koridor2 yang hanya akan membatasi maknanya. Bukankah sebuah karya haruslah bebas sehingga maknanya bisa meluas laksana alam raya.
Aku hanya membayangkan wajah getirnya. wajah seorang manusia yang tertindas. Wajah seorang yang manusia yang melawan dengan kelemahannya. Wajahnya sering membuatku berpikir.Apakah melawan kekuasaan harus sengsara. Apakah melawan tidak bisa dilakukan dengan gembira, dengan suka cita, dengan rasa cinta akan hidup yang lebih berarti daripada sekedar jalan2 dan belanja di mall atau hidup di sebuah rumah idaman seperti yang dipertontonkan di TV. Taek !!! Bukan itu hidup yang sebenarnya.
Hidup memang tak semudah yang kita bayangkan, sebuah perlawananpun bukan sebuah jalan singkat yang bisa kita beli karena kita banyak uang. Perlawanan adalah sebuah jalan panjang yang penuh liku dan terjal. Ada dinamika, ada dialektika. Aku teringat kisah Sisifus, yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Albert Camus bilang "Bayangkan Sisifus bahagia". Buset, bagaimana bisa seorang yang dihukum dengan pekerjaan yang membosankan bisa berbahagia. Bukankan sudah pasti dia akan menderita dan sengsara karena terjerembab dalam kebosanan yang tak berujung. Tapi Camus ada benarnya juga, kenapa kita bersedih dengan kebosanan yang menimpa kita, mengapa kita tidak melawannya. ya, hanya dengan melawan kita bisa menjadi bahagia atas kebosanan yang mendera kita. hohohoho...Itu dia poinnya, kita melawan dengan bahagia. Dengan bersenang2 kita bisa menikmati perlawanan itu. Emma Goldman pernah bilang : Itu bukan revolusiku, jika aku tak bisa berdansa !!!!
Akhirnya, aku mulai bisa membayangkan wajah Wiji Tukul yang berbahagia dengan perlawanannya. Aku membayangkan Wiji Tukul tersenyum riang, ketika puisi2nya terus dibaca dan mampu membakar jiwa2 yang lelah tertindas. Jiwa2 yang bosan akan hidup yang menderanya. Bayangkan Wiji Tukul bahagia !!!
Eh, mungkin juga Wiji Tukul tersenyum masam, melihat kawan2 aktivisnya yang kini duduk di lingkar kekuasaan ternyata tak membawa perubahan apa2. Mereka asik dengan empuknya kursi kekuasaan, mewahnya puja puji, glamornya kehidupan politikus laksana artis2 sinetron yang tebar pesona di Televisi. Ternyata kekuasaan bisa membuat orang menjadi lupa pada banyak hal, bahkan pada nasib seorang kawan seperjuangan yang hilang karena melawan kekuasaan. Hahahaha, serigala tetaplah serigala, walaupun mereka menyamar sebagai domba. Huh, mereka memang menyebalkan.
Sudahlah, persetan dengan mereka, yang penting aku kini bisa membayangkan Wiji Tukul bahagia. Dimanapun dia kini berada, Bayangkan Wiji Tukul Bahagia !!! Dan hingga mati dia akan tetap melawan.
...sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim !!!
Tidar, 25 November 2010
1 komentar:
terbukti semua salah...soeharto tetap yang terbaik di jaman2 ini :) semoga wiji tukul mati merana..disiksa..karena menggerakkan masa buat njatuhin pemimpin yang siiiiiippp smpe sekarang rakyat jadi gini..
wiji tukul...sengsara dunia akerat..ameen
Posting Komentar